"Rumah Belanda itu?"
"Iya Mas, kenapa?"
Mas Bakir, cucu nenek pemilik rumah itu kemudian mendekat dan berbisik.
"Jangan kesitu lagi, Mas. Sejarahnya, banyak yang malingin barang-barang antik di sana. Kan mahal semua itu Mas".
"Terus?" Tanyaku.
"Banyak yang ndak kembali Mas".
"Barang antiknya?"
"Bukan, pencurinya. Wong itu rumah yang nunggu banyak. Ngeri. Sampai tua gini saja saya ndak mau kesana, dari kecil Ibu sudah memperingatkan".
Aku menghela nafas berat, yang seakan tertahan dalam-dalam tatkala cerita Mas Bakir berdengung memenuhi lubang telingaku.
"Tapi saya disuguhi kopi panas secangkir Mas".
"Saya percaya, Mas. Tapi di situ ndak ada orang sama sekali. Seperti yang saya bilang tadi, wong ndak ada yang berani kesitu".