Kilau di mataku tak beralih pula. Sepi. Murung. Namun menawan tak berujung. Pemandangan itu seperti perawan, yang tak seorang pun pernah menjamahnya. Sekalipun tersentuh, siapa pun tak akan pernah melaluinya jauh lebih dalam, seakan dusta telah memperingatkan pada siapa saja yang berusaha mencobanya. Rumah klasik itu, mungkin tak berpenghuni. Atau ia memang sedang bersembunyi, atau telah dicampakkannya oleh si penghuni. Terlalu megah untuk berdiri sia-sia di atas sana. Di atas tanah yang lebih tinggi dari sekitarnya.
Aku menenggelamkan koperku dalam bagasi. Namun begitu, sorot mataku tak mampu menerima isyarat dari kepala untuk sedetik saja berpaling. Aku masih melihatnya kokoh di atas sana. Seakan melambaikan tangan, berseru terang ingin menyambutku. Kilaunya terang dari atas sana. Di seberang jalan dari tempatku berdiri sekarang.
Segitiga atap itu seakan wajah yang memendam rasa. Namun aku tak tahu apa yang dirasa. Murung. Kubayangkan jika ia adalah istriku yang telah lama menantiku pulang. Hingga aku bergegas mempersiapkan diri terbang menembus awan, datang untuk menyapu kilau air mata rindu yang menggenangi wajahnya. Aku masih saja terperanga. Aku banting pintu bagasi akibat ketidaksabaranku untuk menghampirinya. Dan benar saja aku datang mendekatinya.
Detik demi detik telah berlalu, sejak kutinggalkan mobil di depan rumah kayu yang kusinggahi beberapa hari itu. Rumah seorang nenek yang rentah dengan cucu lelaki, mungkin sebayaku. Kini tepat kedua kakiku berdiri di seberang jalan, di depan pintu pagar besi tua itu. Pintu yang menjuntai tinggi bak pintu surga yang tak akan mampu dilalui kaum sepertiku. Bedanya, pintu itu terbuka luas tanpa tersekat oleh apapun jika seseorang melewatinya.
Sampai di sini pun wajah itu tak kunjung berubah. Kian murung. Atau setidaknya meradang jika keperawanannya kali ini tak akan terhadang. Percayalah jika memang tak seorang pun lewat di depan sana. Lima hari sejak tinggal di sini cukuplah bagiku menelaah. Jika tak ada dari warga yang menapaki jalan berhiaskan bebatuan yang elok di depan rumah ini. Tapi di seberang sana. Mereka layaknya menghindari laju bus yang pesat saat tiba langkahnya berpijak di depan sana. Spontan menyeberang dan melanjutkan perjalanan. Namun tetap saja aku tak tahu pasti. Seketika kepalaku berputar. Menawan di segala sudut, dan kedua mataku menangkap segalanya begitu takut. Bagaimana jika perkakas-perkakas antik itu rusak olehku. Aku tak akan mampu membayarnya. Seperti halnya papan yang telah roboh di belakangku, tepat di samping pagar itu. Mungkin sebab tiupan angin yang tak mampu ditahannya.
Aku jadi teringat ayah. Dia akan jingkrak-jingkrak kegirangan jika hari ini aku membawanya menyusur tiap ruang di dalam sana. Barang antik adalah separuh hidupnya, setelah setengahnya lagi terisi kami sekeluarga. Aku hendak berseru permisi, meski percuma juga berbisik di antara angin dan sepi. Tapi aku tahu pasti, penjaga kebun di sebelah kanan sana tak akan menyahut karena itu hanya anganku sendiri. Tak seorang pun terlihat di kanan-kiri. Aku lewat saja di depan pintu utama. Dua daun pintu kayu bercat putih yang tertutup rapat. Hidungku seakan tersengat, sejak pintu itu tersentuh oleh usapan jemariku. Debu tebal yang entah berapa lama hinggap tak terusik. Perlahan tulang jariku mengetuknya, dan masih angin dingin yang menyapaku bercampur desiran debu.
Aku tak berharap bertemu dengan siapa pun sebenarnya, terkecuali si tuan rumah. Barangkali, jalan setapak di samping kiri akan membawaku ke sudut yang sedikit menyebar kesegaran. Aku tahu itu. Terlihat dari depan sana beberapa pohon yang rimbun menaungi genting rumah bagian belakang dan sekitarnya. Dan kembali angin dingin menerpa tubuh yang seakan mendorong langkahku, seperti peringatan untuk tak mensia-siakan waktu. Mempersilahkanku masuk tanpa rasa ragu. Hebatnya peringatan itu, karena yang ada di balik rumah ternyata tak kalah menakjubkan.
Pemandangan gunung dari belakang sana, namun tertutup rimbunnya pepohonan di sekitar rumah. Masih saja mataku disuguhi dengan barang-barang antik dan kuno. Bahkan, kendaraan-kendaraan masa lampau tanpa mesin berjejer rapi di sekitaran. Kini mataku merujuk pada kolam renang. Airnya begitu tenang. Hanya digenangi dedaunan kering yang satu-persatu gugur saling bergantian.
Banyak sekali terpasang topeng kayu di dinding, disertai juga beberapa lukisan abstrak berbingkai kecil, dan beberapa di antaranya terpasang beragam kepala hewan buas yang diawetkan. Dan masih banyak lagi barang antik yang terkesan mewah di luar sini, hingga aku tak mengerti apa saja yang sedang mataku nikmati ini. Namun aku tak kaget dengan semua keunikan ini, ayahku tak jarang mengajakku ke tempat pameran barang antik dan hiasan rumah semacam ini. Aku sempat berkeliling kecil, banyak tersebar hampir di seluruh teras luas itu kursi terbuat dari kayu yang dipasangkan dengan meja berbahan marmer. Barangkali, penghuni menyiapkannya untuk keperluan keluarga besar saat berkunjung, atau teman untuk sekedar berkumpul.
Aku suka sekali kursi kayu bergaya kuno dengan dudukan terbuat dari anyaman rotan. Seperti yang disusun tak jauh dari kolam itu. Mungkin diniatkan sebagai titik untuk menikmati waktu dan bersantai. Aku rasa akan seperti berada di rumah orang tuaku dulu jika diijinkan untuk duduk di sana sesaat. Sepertinya tak perlu ijin karena aku tahu tak ada seorang pun di sini. Tapi kali ini aku salah. Belum sampai kujamah kursi itu, kudengar langkah kaki setengah menyeret kian mendekat dari arah jalan setapak itu. Aku berbalik, perlahan kembali mendekat ke jalan itu. Seorang pria berkepala plontos dengan senyum hambar menghampiriku. Kemudian menyalamiku.
"Mau pesan apa?" Tanyanya lirih dengan senyum getir itu.