Sinar nemplok di lapang kersang, meski pagi masih murung diburu awan keruh. Rintik hujan lamat-lamat beralih, tak peduli, mungkin langit terlalu lelah merintih. Namun dengan lantang hewan-hewan bercengkrama, bersahutan rengek anak mereka meminta makan. Sama halnya dengan Musirot, sedari kemarin perut kembungnya belum tersuap nasi. Kepalanya limbung, kulit disergap dingin, bercampur-aduk rasa memar sekujur tubuh yang menyerbu. Siapa peduli. Alih-alih disodori sesuap nasi, mulut Musirot malah dijejali tungkai kaki. Tak ada perlawanan yang dikehendaki, kedua kakinya tak mampu lagi menopang diri.
Kini Musirot berada di sebuah ruang gelap seluas satu meter. Amat sempit, lembab, begitu pengap. Untuk bernafas pun dia kewalahan, sesak menerpa dadanya yang terlanjur bonyok babak-bundas. Pintu besi telah terkunci, seperti pikirannya yang tak mampu lagi berlari hendak kabur kemana lagi. Hanya tersedia lubang sejengkal di pintu itu untuk celah keluar masuk makanan seperlunya, yang ditumpahkan sesempatnya.
Sesekali seorang, terkadang dua orang menggedor atau menendang pintu besi. Dilanjutkan gemericik rangkaian kunci yang berkelahi dengan gembok yang tertancap kuat, saat pintu berusaha dibuka. Kehadiran mereka, disambut igau Musirot yang tengah menyandar bersila karena selonjoran pun tak muat. Mana peduli sadar atau tidak, mereka menyeret Musirot keluar menuju ruangan lain yang tampak lebih layak huni. Namun mungkin tak layak huni, karena Musirot sedang dihadapkan pada seorang ketua pasukan yang begitu diagungkan. Pasukan bernamakan Deskor, aparat penegak hukum negeri ini. Pertanyaan telah dilayangkan entah berapa banyak jumlahnya, dan betapa ngawur jawaban yang dilantunkan bibir Musirot. Di ruangan itu pula para pasukan penjaga turut mengeroyok tubuh Musirot. Menendang, meninju, juga membanting badan yang kini telah kering-kerontang bak mayat hidup itu.
Musirot tak juga mempelajari, atau setidaknya mengingat apa yang telah diucapkannya beberapa kali tatkala masuk dalam ruangan itu telah membuat tubuhnya hancur lebam. Dia dianggap mempermainkan pimpinan Deskor dengan jawaban yang arti dan tujuannya mengembara entah kemana. Sama sekali tidak nyambung. Musirot dituding berpura-pura gila, pun ada yang menuduh sengaja ingin mengacaukan laporan yang tengah disusun untuk diberitakan kepada orang-orang di luar sana, tentang perbuatan keji yang dilakukan Musirot.
Musirot sama sekali tak mempercayai edaran berita, lebih-lebih yang menyangkut nama Deskor yang sedang dihadapi. Semua berita yang disebar tak lebih baik dari dusta, mungkin lebih buruk. Dia memilih mati ketimbang menyuarakan rentetan kejadian yang dialaminya seminggu lalu, menghindarkan pemutar-balikan fakta tersebar ke seluruh negeri.
Sebenarnya, hari ini Musirot tak perlu menjadi seonggok daging lusuh yang hampir busuk dalam kurungan bata berjeruji itu. Tapi aku, cukup aku saja. Karena semua ini tentang keluargaku. Entah, firasatku mengatakan jika dia hanya melakukan apa yang harus dilakukan, hanya saja terlalu berani dan kebablasan.
Musirot Wanadhirot. Sejak kecil adalah teman satu-satunya yang kumiliki. Berbeda dengan yang lain, mereka enggan berteman denganku, karena keadaanku yang berbeda. Mata kiri picek, betapa tebalnya selaput putih yang menyelimuti. Ditambah lengan kananku yang pengkor, bak boneka jelangkung yang begitu ditakuti. Dengan begitu, mereka hanya menganggapku seekor makhluk janggal yang bergelagat layaknya seorang manusia normal, hingga aku tak pernah dianggapnya sama.
Bertahun-tahun lalu, aku menanti kabar Musirot yang tak kunjung menuai jawaban. Kemana perginya anak ini? Telah lama hilang seperti ditelan ganasnya lautan. Tak seperti banyaknya kabar yang kerap dilayangkan televisi sebelumnya. Musirot sering diberitakan sebab puluhan tindak kejahatan telah dia amalkan. Perihal pembunuhan, transaksi obat-obatan, hingga penggelapan dana telah tamat aku saksikan. Namun, televisi hanya menyiarkan berita soal kejadian-kejadian seolah tanggung jawab Deskor selalu dipenuhi. Tak ada yang menyangka, mulut warga desa kami lebih absah kebenarannya. Nyatanya, Musirot memang tak pernah sekalipun dijebloskan dalam penjara akibat semua perbuatannya. Tak perlu dianggap luar biasa. Ayah Musirot pejabat tinggi negeri ini.
Kemudian dalam sekejap, pikiranku menyusur cerita yang lebih jauh ke belakang dalam memoriku. Bahwa, Musirot pernah mengutarakan kekecewaannya terhadap sang ayah. Sebuah tunjuk paksa untuk menjadikannya penerus sosok berpengaruh bangsa. Mungkin terlalu muda, atau memang tak harap bisa, meski berbagai mantra telah disemburkan padanya. Hampir Musirot ditembak sang ayah, nyaris pula dikubur hidup-hidup penuh nista. Hingga akhirnya, Musirot pergi dari rumah, tenggelam dalam jurang amarah remajanya yang gelap. Perilakunya kemudian jauh menyimpang, menjadi bulan-bulanan Deskor yang selalu mengintai. Semua dilakukan Musirot serta-merta untuk menghancurkan nama baik sang ayah, jika perlu sampai lengser pula. Namun, selalu berakhir sia-sia. Sang ayah tak pernah lewat menabur bunga pada para Deskor yang serakah untuk menghentikan segala perkara.
Pertemuan terakhir kami adalah saat sekolah menengah atas. Kami berdua putus sekolah, aku tak mampu membayar, Musirot minggat tak berkabar. Yang aku ingat hanyalah wujud ketulusan hati, hati yang buta akan istilah pandang bulu. Kala itu, sebagai anak seorang yang terpandang, Musirot tak pernah membatasi diri, meski jelas kenyataan yang tergambar pada nasib kami. Dia kerap bermain di rumahku, menemui orang tuaku, mengobrol layaknya seorang jelata. Hampir setiap hari dia membawa makanan untuk kami yang kelaparan.Â
Tak hanya perkara perut, Musirot telah berkali-kali meminta uang sekolah lebih. Lebih-lebih dari jumlah yang biasa diterimanya. Entah alasan apa yang dikarangnya kala itu, aku tak berani bertanya. Uang tersebut, selalu dia selipkan dalam lubang-lubang tas sekolahku yang terus menganga sepanjang hari. Sampai di rumah, aku baru menyadari. Uang tersebut dilipatnya dalam selembar kertas, bertuliskan "tambahan uang sekolah", terkadang "untuk berobat ibu". Dengan gagap aku ceritakan pada ibu, membuat pipinya selalu diguyur air mata yang tak mampu dibendungnya.
Aku ingat, jika aku sempat menceritakan sedikit tentang penyakit ibuku, kanker payudara. Aku juga tak lupa, uang terakhir yang dia berikan adalah hasil menjual sepeda. Sepeda onthel yang biasa dipakainya menjemput dan mengantarku saat sekolah. Kupikir, sampai dewasa ini, menjual sepeda adalah upayanya untuk tak lanjut bersekolah. Dia orang baik, aku harus membalasnya, pesan Ibu kepadaku. Sejak saat itu, aku tak pernah lagi mendengar seruan seraknya dari ambang pintu ruang tamu, menjemputku sekolah seperti sedia kala.Â
Hingga tiga puluh lima tahun kemudian, di tahun ini, usia kami telah menginjak lima puluh dua tahun. Tepatnya minggu lalu, aku benar-benar kembali menyaksikan kehadirannya yang begitu singkat namun berarti. Sekali lagi dia berjasa pada keluargaku. Malam itu, desa kami sedang berduka karena Munah, sang Ibu, telah meregang nyawa, menyusul sang ayah yang mendahuluinya belum lama. Upacara pemakaman besar-besaran digelar dengan pasukan cokelat belang-bonteng tersebar di seluruh desa. Aku menyimpulkan jika Musirot kembali karena kewajiban penguburan jenazah sang Ibu.
Malamnya, sepulang dari kebun kopi aku mendapati rumahku dipadati penduduk yang tanpa aku ketahui sebabnya. Aku menyusup di antara warga dan kutemui Ibu terkulai lemah, aku membawanya masuk ke dalam rumah. Mata Ibu perlahan terbuka, hingga aku tanyakan apa yang terjadi.
"Uang kita dicuri, Musirot yang menolongku. Hampir pisau itu menghujam perutku".
Uang hasil menjual lahan sepeninggal bapak yang jumlahnya tak seberapa nyaris melayang. Musirot yang tak pernah kubayangkan datangnya dari mana, merampasnya kembali dari pencuri. Uang itu biaya berobat Ibu, dan sudah dibagi dengan uang hidup sehari-hari kami.
Nampak dari teras, Musirot tengah beradu mulut dengan tiga orang warga, warga yang lain hanya menyaksikan saja. Rupanya, Musirot telah meloloskan pencuri itu, dengan alasan uang telah berhasil direbutnya. Tak ada yang perlu dipermasalahkan lagi. Namun, warga tak bisa menerima begitu saja. Menurut mereka, tak ada bedanya Musirot dengan sang ayah. Dengan mudahnya membebaskan pelaku kriminal seperti yang selalu dilakukan padanya. Lantas telingaku menangkap bahwa lelaki itu adalah buronan di desa kami, pencuri dari desa sebelah, yang telah keluar-masuk penjara namun tak menemui titik jera. Beberapa saat kemudian, perselisihan kian memanas. Beberapa warga meneriaki Deskor yang tengah patroli keliling desa, lalu berhamburan pergi tatkala dua anggota Deskor itu menepi.Â
"Tangkap saja pencuri itu!", seru seorang pria sembari berlari menjauh, diikuti sebagian besar warga yang lain. Kerumunan seketika buyar, tersisa Musirot dan aku yang berdiri kaku di tempat yang sama. Warga tak ingin terlibat masalah dengan dua pria kekar itu. Namun kemudian, keduanya seakan menelan mentah-mentah seruan tadi. Melihat Musirot, seakan tak perlu lagi diragukan, karena Musirot telah dikenal banyak berurusan dengan para anggota penumpas kejahatan ini.
Orang tua Musirot lenyap tak tersisa, lalu siapa lagi yang akan menjaminnya? Musirot telah binasa, jika sedari dulu seperti ini keadaannya. Aku sempat menjelaskan dengan segala elakkan yang aku bisa, begitu juga Musirot yang tak tinggal diam. Namun, siapa sangka jika kedua perangkat negara ini tak ingin mendengarnya, lantas kami digelandang ke dalam mobil anggota yang kemudian menjemput paksa. Kami melawan. Dipukulnya kepala Musirot keras-keras sampai terjungkal, begitu juga denganku. Dia bangkit, mencabik wajah pria besar itu dengan sebilah pisau milik pencuri yang disimpannya dalam saku celana. Aku bergegas dengan satu tusukan gunting kebun yang menancap tepat di dada. Keduanya, mengalami pendarahan yang parah. Keduanya, dijemput ajal yang sama.
Hari yang tak pernah dinanti akhirnya tiba. Musirot telah kenyang oleh satu ayam utuh yang dibakar sedemikian rupa, keinginan terakhir sebelum lehernya ditebas sang algojo. Pagi itu, pasukan Deskor telah memenuhi perintah. Lapang pembantaian telah pula disediakannya, dengan sebuah lubang yang digali setengah miring kemarin hari. Aku telah terikat di sana sedari pagi. Kedua lenganku saling berhimpitan, menyatu dengan sebuah tiang besi berkarat, dengan ikatan yang amat sangat rekat. Tak lama, aku melihat Musirot berjalan dengan langkah yang gontai, dipandu dua orang anggota Deskor yang cenderung menyeretnya. Dihempaskannya Musirot ke tiang tersebut hingga terpental kokohnya besi itu. Aku menatapnya hingga kedua lengannya tersangkut sama halnya denganku. Kini dia balas menatapku, yang tepat tersekat sepuluh meter di depannya. Terbesit senyum tipis di ujung bibir yang pecah bekas pukulan telak. Aku tak membalasnya, karena memang aku tak pantas melakukannya.Â
Bukan lagi berita di televisi, mataku sedang diperlihatkan adegan eksekusi mati. Sedang peralatan telah dilengkapi. Semua ini karena mereka tak lagi kenyang oleh suapan ke dalam mulut mereka sendiri. Musirot telah tenggelam menyisakan sebongkah kepala di permukaan. Sang algojo berjubah hitam yang menyisakan lubang mata sedang berdiri di sampingnya. Diberikan padanya sebuah kapak yang seakan menyeringai di bagian ujungnya. Keadaan khidmat, rasa dingin kini mengguyur tubuhku. Rasanya, jiwaku telah pergi mendahului takdir. Aku tak sanggup melihat cara kerja takdir. Mataku terpejam, saat kapak diayun setengah jalan. Sepersekian detik, aku seperti mendengar suara khas pohon pisang yang ditebas begitu keras. Sayup-sayup mataku terbuka. Hatiku hancur, pikiranku hilang, tulang-tulang tak lagi bersarang. Kepala itu tengah menggelinding, menjauh dari tempat semestinya. Air mataku berderai, namun tak kuasa kulepaskan lengking dalam teriak penyesalan.Â
Kini, benar-benar tamat siaran tentang Musirot di televisi, yang berbuah cibiran warga desa kami. Tentunya, bukan itu yang aku sesali. Penantianku tak juga berujung pada pelukan, atau sekedar pertanyaan tentang uraian kabar. Terlebih, dengung pesan Ibu yang selalu melintas di ingatan sampai usia yang menyambut senja ini. Nyatanya, aku tak pernah bisa membalas budi baik sahabatku sendiri. Hidup hanya sekali, namun tak sedikitpun manisnya kudapati. Sekelumit pertanyaan kian menghantui. Apakah semua karena keadaanku, atau kejamnya kehidupan di negeri ini?
Catatan penulis:
- Deskor: Bedes Korep.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI