Mohon tunggu...
Nicko Kharisma Gunawan
Nicko Kharisma Gunawan Mohon Tunggu... Penerjemah - -

Membaca itu seperti menyaksikan kisah dalam setiap dunia yang berputar, melainkan menulis adalah bagian teristimewa dari setiap dunia itu diciptakan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Musirot Wanadhirot

15 Februari 2023   18:53 Diperbarui: 15 Februari 2023   19:02 139
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Aku ingat, jika aku sempat menceritakan sedikit tentang penyakit ibuku, kanker payudara. Aku juga tak lupa, uang terakhir yang dia berikan adalah hasil menjual sepeda. Sepeda onthel yang biasa dipakainya menjemput dan mengantarku saat sekolah. Kupikir, sampai dewasa ini, menjual sepeda adalah upayanya untuk tak lanjut bersekolah. Dia orang baik, aku harus membalasnya, pesan Ibu kepadaku. Sejak saat itu, aku tak pernah lagi mendengar seruan seraknya dari ambang pintu ruang tamu, menjemputku sekolah seperti sedia kala. 

Hingga tiga puluh lima tahun kemudian, di tahun ini, usia kami telah menginjak lima puluh dua tahun. Tepatnya minggu lalu, aku benar-benar kembali menyaksikan kehadirannya yang begitu singkat namun berarti. Sekali lagi dia berjasa pada keluargaku. Malam itu, desa kami sedang berduka karena Munah, sang Ibu, telah meregang nyawa, menyusul sang ayah yang mendahuluinya belum lama. Upacara pemakaman besar-besaran digelar dengan pasukan cokelat belang-bonteng tersebar di seluruh desa. Aku menyimpulkan jika Musirot kembali karena kewajiban penguburan jenazah sang Ibu.

Malamnya, sepulang dari kebun kopi aku mendapati rumahku dipadati penduduk yang tanpa aku ketahui sebabnya. Aku menyusup di antara warga dan kutemui Ibu terkulai lemah, aku membawanya masuk ke dalam rumah. Mata Ibu perlahan terbuka, hingga aku tanyakan apa yang terjadi.

"Uang kita dicuri, Musirot yang menolongku. Hampir pisau itu menghujam perutku".

Uang hasil menjual lahan sepeninggal bapak yang jumlahnya tak seberapa nyaris melayang. Musirot yang tak pernah kubayangkan datangnya dari mana, merampasnya kembali dari pencuri. Uang itu biaya berobat Ibu, dan sudah dibagi dengan uang hidup sehari-hari kami.

Nampak dari teras, Musirot tengah beradu mulut dengan tiga orang warga, warga yang lain hanya menyaksikan saja. Rupanya, Musirot telah meloloskan pencuri itu, dengan alasan uang telah berhasil direbutnya. Tak ada yang perlu dipermasalahkan lagi. Namun, warga tak bisa menerima begitu saja. Menurut mereka, tak ada bedanya Musirot dengan sang ayah. Dengan mudahnya membebaskan pelaku kriminal seperti yang selalu dilakukan padanya. Lantas telingaku menangkap bahwa lelaki itu adalah buronan di desa kami, pencuri dari desa sebelah, yang telah keluar-masuk penjara namun tak menemui titik jera. Beberapa saat kemudian, perselisihan kian memanas. Beberapa warga meneriaki Deskor yang tengah patroli keliling desa, lalu berhamburan pergi tatkala dua anggota Deskor itu menepi. 

"Tangkap saja pencuri itu!", seru seorang pria sembari berlari menjauh, diikuti sebagian besar warga yang lain. Kerumunan seketika buyar, tersisa Musirot dan aku yang berdiri kaku di tempat yang sama. Warga tak ingin terlibat masalah dengan dua pria kekar itu. Namun kemudian, keduanya seakan menelan mentah-mentah seruan tadi. Melihat Musirot, seakan tak perlu lagi diragukan, karena Musirot telah dikenal banyak berurusan dengan para anggota penumpas kejahatan ini.

Orang tua Musirot lenyap tak tersisa, lalu siapa lagi yang akan menjaminnya? Musirot telah binasa, jika sedari dulu seperti ini keadaannya. Aku sempat menjelaskan dengan segala elakkan yang aku bisa, begitu juga Musirot yang tak tinggal diam. Namun, siapa sangka jika kedua perangkat negara ini tak ingin mendengarnya, lantas kami digelandang ke dalam mobil anggota yang kemudian menjemput paksa. Kami melawan. Dipukulnya kepala Musirot keras-keras sampai terjungkal, begitu juga denganku. Dia bangkit, mencabik wajah pria besar itu dengan sebilah pisau milik pencuri yang disimpannya dalam saku celana. Aku bergegas dengan satu tusukan gunting kebun yang menancap tepat di dada. Keduanya, mengalami pendarahan yang parah. Keduanya, dijemput ajal yang sama.

Hari yang tak pernah dinanti akhirnya tiba. Musirot telah kenyang oleh satu ayam utuh yang dibakar sedemikian rupa, keinginan terakhir sebelum lehernya ditebas sang algojo. Pagi itu, pasukan Deskor telah memenuhi perintah. Lapang pembantaian telah pula disediakannya, dengan sebuah lubang yang digali setengah miring kemarin hari. Aku telah terikat di sana sedari pagi. Kedua lenganku saling berhimpitan, menyatu dengan sebuah tiang besi berkarat, dengan ikatan yang amat sangat rekat. Tak lama, aku melihat Musirot berjalan dengan langkah yang gontai, dipandu dua orang anggota Deskor yang cenderung menyeretnya. Dihempaskannya Musirot ke tiang tersebut hingga terpental kokohnya besi itu. Aku menatapnya hingga kedua lengannya tersangkut sama halnya denganku. Kini dia balas menatapku, yang tepat tersekat sepuluh meter di depannya. Terbesit senyum tipis di ujung bibir yang pecah bekas pukulan telak. Aku tak membalasnya, karena memang aku tak pantas melakukannya. 

Bukan lagi berita di televisi, mataku sedang diperlihatkan adegan eksekusi mati. Sedang peralatan telah dilengkapi. Semua ini karena mereka tak lagi kenyang oleh suapan ke dalam mulut mereka sendiri. Musirot telah tenggelam menyisakan sebongkah kepala di permukaan. Sang algojo berjubah hitam yang menyisakan lubang mata sedang berdiri di sampingnya. Diberikan padanya sebuah kapak yang seakan menyeringai di bagian ujungnya. Keadaan khidmat, rasa dingin kini mengguyur tubuhku. Rasanya, jiwaku telah pergi mendahului takdir. Aku tak sanggup melihat cara kerja takdir. Mataku terpejam, saat kapak diayun setengah jalan. Sepersekian detik, aku seperti mendengar suara khas pohon pisang yang ditebas begitu keras. Sayup-sayup mataku terbuka. Hatiku hancur, pikiranku hilang, tulang-tulang tak lagi bersarang. Kepala itu tengah menggelinding, menjauh dari tempat semestinya. Air mataku berderai, namun tak kuasa kulepaskan lengking dalam teriak penyesalan. 

Kini, benar-benar tamat siaran tentang Musirot di televisi, yang berbuah cibiran warga desa kami. Tentunya, bukan itu yang aku sesali. Penantianku tak juga berujung pada pelukan, atau sekedar pertanyaan tentang uraian kabar. Terlebih, dengung pesan Ibu yang selalu melintas di ingatan sampai usia yang menyambut senja ini. Nyatanya, aku tak pernah bisa membalas budi baik sahabatku sendiri. Hidup hanya sekali, namun tak sedikitpun manisnya kudapati. Sekelumit pertanyaan kian menghantui. Apakah semua karena keadaanku, atau kejamnya kehidupan di negeri ini?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun