Ternyata dia masih mengenaliku, tapi tidak dengan tahun berapa aku berkunjung. Perasaanku begitu lega dibuatnya, karena bisa saja si ibu telah lupa dan merasa tidak enak untuk menjawab tidak, hanya demi menjaga hati seorang pelanggan warung.
Langkahnya terhenti tepat di sampingku sesaat setelah menyajikan makanan, semangkuk soto ayam yang potongan dagingnya hanya nampak beberapa buah, mengambang di antara kuah bening yang mengisi penuh batok kelapa, dipisahkan dengan sepiring nasi yang ditaburi bawang goreng. Si ibu duduk di samping kiri. Wajah itu seketika muram, menatapku dalam-dalam. Aku belum siap menanggapi apa yang hendak dia katakan, apa yang tiba-tiba membuatnya membisu. Aku paham sekali si ibu gemar bercerita, sekali bercerita tidak ada ujungnya.
"Apa kabarmu, nak? Kamu sehat kan?" Tanyanya, sembari menghapus air mata yang mulai berderai-derai.
"Baik, Bu", kataku cemas. Kemudian memandang sekeliling, dalam hati aku menanyakan Pak Sardi yang jam segini biasa pulang dari sawah.
Kabar duka dari mulut si ibu akhirnya terkuak, Pak Sardi telah meninggal terserang penyakit jantung. Seorang RT di desa tersebut, suami si ibu. Baru minggu lalu, acara kenduri 40 harian diadakan. Pilu mendengarnya, Pak Sardi orang yang sangat rendah hati, begitu ramah kepada kami para tamu yang sering kali bertingkah seperti hewan liar, tidak tahu sopan santun. Si ibu turut mengingat kedekatanku dengan Pak Sardi.
Tak jarang pada siang hari, aku mendapati nya duduk di bawah pohon randu di dekat sawah miliknya. Minum segelas kopi dan menghisap sebatang rokok dari pipa kayu buatan sendiri. Pak Sardi selalu mempersilahkanku untuk singgah, duduk di atas tikar anyaman yang sebenarnya tidak muat untuk berdua. Dia kerap menceritakan kehidupan di desa, termasuk cerita pembagian sawah orang tuanya.
Siang itu, lima tahun yang lalu, aku turut menceritakan kepada Pak Sardi sebuah budaya cinta lokasi. Aku tidak tahu betul, Pak Sardi begitu sudi mendengarku layaknya seorang sahabat. Baru satu minggu aku bertamu, hingga aku begitu lantang menceritakan tentang perasaanku terhadap Septi. Pak Sardi menggut-manggut seraya tersenyum, mendengar tak satu pun usahaku terbalaskan.
Maka ku ceritakan pula jika perlahan aku menjauh, kembali dengan perhatian yang berjarak, tanpa komunikasi, atau tawaran-tawaran hambar lainnya. Sering kali saat waktu makan tiba, kedatangan ku yang kerap terlambat memaksaku melihat Septi dikerubungi para pejantan itu. Dengan gombalan-gombalan di antara kunyahan yang terdengar menjijikkan bagiku, saling bersahutan. Aku memilih untuk keluar dari ruangan yang penat itu, makan siang seorang diri di teras rumah.
Senin hingga Sabtu, kami bergantian untuk datang ke sekolah setiap pagi, membantu guru mengajar di kelas-kelas. Septi sangat mahir membuat puisi sekaligus membacanya, aku yakin, siapa saja yang mendengarnya akan luluh, karena beberapa kali aku membuktikannya. Namun, kegelisahanku kembali mencuat saat pergantian pelajaran. Aku tahu beberapa di antara pejantan itu dari jurusan Matematika dan Bahasa Inggris. Kembali mereka saling unjuk gigi di depan Septi, memamerkan pengetahuan dari bidang masing-masing di depan kelas. Septi tampak antusias, dengan ulas senyum dari deret bangku paling belakang, memperhatikan setiap orang yang sedang mengajar. Aku hanya duduk terdiam di deret bangku belakang yang lain, berharap jam pelajaran usai sesegera mungkin.
Ada kalanya, saat akhir pekan, kelompok kami rehat. Beberapa tinggal di rumah, beberapa pergi ke kebun memetik apa saja yang bisa dilahap, dan sisanya memilih pergi ke pantai, mengingat desa tersebut berjarak hanya sekitar tiga kilometer dari bibir pantai. Suatu ketika saat sore hari, aku mencoba untuk berkelana menjauh dari pemukiman, menikmati ketenangan yang mungkin bisa kudapatkan. Aku pergi ke pantai terdekat.
Sampai di tempat, aku melihat salah seorang lelaki dari kelompokku sedang bertransaksi untuk dua buah kelapa muda. Dia berlalu dan mengarah ke dua kursi kayu yang menghadap lautan dimana seorang perempuan duduk di baliknya. Aku mengamati dari belakang, tidak jauh dari penjual kelapa muda. Perempuan itu berpaling, wajahnya menghalau sinar matahari yang berangsur redup. Cukup di situ aku mengetahui itu Septi. Hatiku runtuh. Lagi dan lagi, di seluruh penjuru mata angin. Tidak pernah aku melihatnya seorang diri, atau setidaknya dengan teman-teman perempuannya. Aku mundur beberapa langkah dan kembali ke jalan pulang.