Mohon tunggu...
Nicko Kharisma Gunawan
Nicko Kharisma Gunawan Mohon Tunggu... Penerjemah - -

Membaca itu seperti menyaksikan kisah dalam setiap dunia yang berputar, melainkan menulis adalah bagian teristimewa dari setiap dunia itu diciptakan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Seperti Tiada Arti

26 Januari 2023   19:57 Diperbarui: 26 Januari 2023   19:58 165
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Tidak perlu diragukan lagi, gadis desa itu, yang kini entah dimana keberadaannya, akan memilih salah satu dari mereka, setidak nya bukan aku. Sebelumnya, beberapa dari pejantan itu telah memamerkan mobil bmw, motor gede dengan berbagai merk yang membuat nyaliku menciut, dan bualan-bualan setinggi langit yang terus dikumandangan padanya. Sedangkan aku, aku hanya bermodal niat, dan aku tahu persis konsekuensinya.

Sebenarnya, tak ada yang memaksaku menjabarkan semua itu pada Pak Sardi, terkecuali persaingan yang terlalu sadis. Tidak mungkin aku melimpahkan isi otakku atau curahan hati ini kepada seorang di antara mereka. Tak seorang pun bisa dipercaya! Seakan-akan perebutan itu telah menjadi dasar penilaian akhir. Tidak. Aku hanya merasa rendah dengan segala keadaanku. Kendati demikian, sebelum bibir mungil itu memuntahkan sumpah serapah, lebih baik aku ditelan ganasnya badai penyesalanku sendiri. Pak Sardi kemudian tertawa-tawa, setelah hampir air mataku pecah, karena garis nasibku tak kunjung berubah. Aku pun berpesan, cerita ini cukup berhenti di telinga Pak Sardi saja, dan dia mengiyakan. Katanya, aku tidak perlu berlarut-larut dalam penyesalan, terlebih keadaan yang kita terima. Syukuri saja, dan kemudian menuangkan segelas kopi dari teko ke dalam gelas yang lain, lalu menyodorkannya padaku.

Aku menunjuk ke arah lapangan yang berjarak sekitar delapan meter dari warung, mengalihkan pembicaraan, meyakinkan kembali daratan berumput itu masih digunakan warga. Entah mengapa gundukan-gundukan kasar itu menciptakan tanda tanya di kepalaku, merusak pemandangan.

"Baru beberapa hari, Nak. Sesuai permintaan Bapak sebelum pergi", ujar si Ibu, ternyata pertanyaanku kembali membuatnya terseduh-seduh.

Pak Sardi berpesan agar Suryo si anak bungsu menikah dan melanjutkan pekerjaan di sawah, mengingat Pak Sardi yang mulai sakit-sakitan hingga sawah tidak terawat seperti sedia kala. Sementara saudara yang lain sudah tersebar kemana-mana.

"Acara sederhana saja, Nak. Orang kecil seperti kami dapat biaya dari mana?" Kembali si ibu menjelaskan sebab rerumputan yang kandas itu. Aku mengangguk kecil.

Teras rumah terlalu sempit, tidak muat. Jadi kami bikin acara di situ", lanjutnya.

Aku termenung, mengalihkan pandangan ke arah langit yang mulai kelabu.

Warga sekitar tampak berlarian kesana kemari, tergesa menyelamatkan padi yang tersebar di teras rumah, dan beberapa mengangkat pakaian yang kembali basah. Aku terperanjat, sesaat setelah sepeda motor melesat secepat kilat membawa sepasang manusia ke halaman rumah ibu. Sekonyong-konyong pasangan itu melepas pelukan eratnya, mendaratkan kaki di bawah atap rumah.

Di tengah air hujan yang semakin tebal, dengan cermat aku mengamati. Sepertinya Suryo yang baru saja tiba, dengan istri barunya. Mataku semakin membelalak, kini berusaha menuntaskan sosok wanita itu. Ciri yang sama sekali aku kenali, meski tidak sepenuhnya yakin. Seketika aku bangkit, meraih jendela di depan meja ala kasir Ibu. Aku mengusap-usap mataku yang sama sekali tidak bermasalah. Tidak salah lagi, keyakinanku sudah di puncak teratas. Septi. Iya, itu Septi. Seketika perasaanku menjelma kelabu, seraya beringasnya semburan dari langit yang mengaburkan sorotanku. Cukuplah sampai di sini hatiku merancu. Kini kubiarkan rasa itu membubung di antara tangisan awan-awan. Rupanya si ibu benar-benar tak ingat bahwa kami berkunjung bersama kala itu, sebab tak ada sepotong pun cerita tentangnya. Sempat pula aku menyimpulkan, rupanya Pak Sardi benar-benar menjaga semua curahan hatiku. Aku pun kembali menyesali takdir ini, jika aku ditunjuk sebagai pembina KKN di desa itu, yang terhitung beberapa hari lagi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun