Teguh Patrio. Nama itu masih asing bagi penunggang becak yang lain, juga para pedagang pasar area depan, tengah, dan belakang. Terhitung enam hari becaknya bergelut dengan aspal hingga lumpur gang setapak pelosok kampung, dengan garis start yang bermula dari pangkalan di tepian sungai, di samping pasar Mulyo Agung. Dalam enam hari itu, tidak semua hari becak dihampiri penumpang, hanya sesekali, atau setelah dapat giliran narik dari para senior pangkalan. Mereka mencanangkan sistem giliran, dengan nomor antrian yang melekat di setiap potongan kardus. Mengingat pasar adalah sumber penghasilan dengan antrian-antrian yang seringkali membeludak, mulai dari pedagang sampai pembeli akan sangat bergantung padanya. Meski seringkali mendapat giliran terakhir, Teguh tak bisa mengelak. Salah seorang di pangkalan itu sosok pentolan preman pasar. Siapa yang tahu, siapa yang berani, jika melawan, dia juga yang jadi korban. Tak apa, dari pada menganggur, apa saja asal tau syukur. Atas nama junior, turuti saja kata senior, dari pada ribut kalah pamor. Itu yang dipendam Teguh.Â
Teguh baru saja hijrah dari suatu kawasan industri di pinggir kota ke kawasan perdagangan ini. Dia kerap berpindah-pindah ke beberapa daerah yang lain sebelumnya, mengikuti profesi yang sedang ditekuninya. Kata ditekuni mungkin sedikit kurang cocok, karena masa terlama Teguh dalam bekerja hanya tiga bulan, dan selepas itu, dia hengkang, begitu seterusnya hingga tak terhitung lagi berapa macam profesi yang sudah dilakoninya. Suatu saat menjadi peternak lele, kuli bangunan di hari menjelang lebaran, buruh tani di musim panen, menjarah terminal sebagai tukang semir keliling, buruh pabrik, dan lain-lain, dan lain-lain.Â
Mengapa demikian, hanya Tuhan yang tahu. Saat sepotong pertanyaan melesat di kupingnya, jawaban tak lekang dalam bosan, tak menguntungkan, atau kurang menjanjikan masa depan. Cemoohan demi ejekan datang bergantian, dari mulut pemberi kerja hingga rekan-rekan seperjuangan. Konyol, tanggap yang sering didapati, tapi dia terlalu percaya diri dengan segenap kejujuran hati membeberkan satu-persatu alasan itu, seolah tak akan ditemuinya jembatan penyambung masa depan. Lalu, bagaimana jika hati telah layu sebelum terbit tekad yang mendayu-dayu.Â
Profesi terakhir sebelum minggat ke Pasar Mulyo Agung adalah buruh pabrik. Teguh bekerja di sebuah pabrik penghasil pupuk dari bahan kotoran manusia, atau feses. Tak lama, sebulan setengah Teguh menimba upah di sana. Menurut beberapa rekan kerja, Teguh tertangkap basah mencuri pupuk siap jual kualitas terbaik di kelasnya, lalu dihempaskannya Teguh dari rentetan nama terdaftar. Kepepet, katanya. Rumah kontrakan belum dibayar tiga bulan. Oleh karena nya, dia memutuskan lenyap dari kabar yang tengah menguap, berharap gunjingan-gunjingan tak lagi menusuk gendang telinganya.
Salah seorang teman lama, sobat saat sekolah tepatnya, sedikit menggambarkan maksud dari balik alasan Teguh sebelumnya. Saat ditanya, kemudian dia mengingat beberapa ungkapan masa silam tentang impian Teguh saat dewasa kelak. Salah satunya, Teguh ingin mengabdi kepada negara, dengan menjadi apa saja asal terlaksana. Entah aparat, menteri, atau minimal pegawai negeri, semua tergantung mood Tuhan saat memberi, begitu ungkapnya. Harapan yang bagus, untuk celotehan anak usia sekolah, atau jawaban dari sebuah pertanyaan tentang cita-cita. Tapi kenyataannya, saat dewasa, segalanya menjadi tidak mudah. Orang tua Teguh bukan pasangan yang berada, yang satu tukang rongsok besi tua, yang lain penjual gorengan. Tapi, takdir itu juga bukan penentu segala harapan. Tidak. Yang ada, persaingan di luar terlalu sadis untuk merenggut kursi yang diharapkan, tentunya dibarengi persaingan modal. Jika dikatakan jenius, tentu tidak, namun jauh dari kata bodoh, dungu, atau semacamnya. Saat sekolah, nilai Teguh tegolong lumayan, sedikit di atas rata-rata. Setidaknya, kedua orang tua tidak kecewa karena biaya sekolah kala itu begitu berat baginya. Begitu kata teman sejawatnya.Â
Suatu kali, saat menanti penumpang yang datang, Teguh sedang mengamati lalu-lalang manusia di hadapannya, dengan pasang kain yang terbalut rapi bermacam corak, warna, juga model yang dibentuknya. Manusia-manusia ini, entah bagaimana sejarahnya, atau bentuk garis nasibnya, atau lafadz doa yang dimuntahkan oleh mulutnya, sehingga mereka mendapati profesi masing-masing. Hatinya terus bertanya-tanya, apakah Tuhan pilih-pilih dalam menabur nasib umatnya? Dia menenggelamkan asa, pasar semakin ramai oleh manusia-manusia berseragam itu, yang berangsur padat-merayap ke setiap sudut.Â
Di seberang jalan raya berdiri sekolah dasar, tepat dimana becaknya menatap. Matanya yang kabur sebab kerap menelan debu pabrikan, menilik beberapa orang berseragam batik warna biru dengan corak bunga kehitam-hitaman. Ada yang bertopi, berpeci, atau telanjang kepala. Beberapa di antaranya masuk ke dalam ruangan yang berbeda, menenteng serangkaian lembar yang dibungkus map plastik, juga tas jinjing yang digenggam apik. Pikirannya mulai berandai-andai. Andai saja dia satu di antara guru-guru itu. Sumpahnya dalam kepala mudah diterka. Dia akan mengajar setulus hati, tidak pilih kasih, juga penuh wibawa yang siap ditebar ke setiap penjuru sekolah. Mencerdaskan bangsa adalah harapan setiap manusia. Betapa manis dirinya jika hal demikian adanya. Ibunya pasti bangga jika Teguh menjadi buah bibir para tetangga. Teguh tertawa kecil membayangkannya, yang kemudian angannya dipecah oleh salah seorang tukang becak yang tersisa.
"Woi, sadar! Buruan anter. Kalo enggak, kita yang ambil". Beberapa pasang mata merujuk padanya, yang baru disadari telah berdiri seorang wanita di hadapannya, dengan bawaan belanja dalam beberapa kantong plastik.Â
"... ambil saja, saya setelahnya", kata Teguh dengan ambang senyum yang belum sirna.Â
Sampai mana tadi? Guru? Tapi angan-angan Teguh sudah berlalu.Â
Tak lama kemudian, terdengar pijakan kaki yang berderap-derap dari arah belakang, entah berapa jumlahnya, tapi sungguh hentakan sepatu boots tebal itu seperti menyingkirkan bisingnya kendaraan, begitu juga keramaian pasar. Teguh berpaling ke belakang, mengamati langkah demi langkah yang bertebaran. Rupanya, barisan para anggota tentara, yang entah hendak mengarah kemana. Dengan seragam lengkap, hijau matang berpadu hitam, bermotif doreng yang khas. Langkah yang gagah itu mengalihkan khayalannya sekali lagi dan mulai berandai-andai. Andai saja dia salah satu di antaranya, pasti bapaknya yang di alam baka sangat bangga. Tak hanya gagah, Teguh berhasil mengangkat derajat keluarga. Mendiang bapaknya pernah berpesan, jadilah pejuang. Jangan suka ngutang, yang kiranya hanya bersandar punggung pada mereka yang beruntung. Namun kini Teguh telah buntung, batang otaknya telah rampung oleh keputus-asaan yang terus mengepung.Â