Mohon tunggu...
Nicko Kharisma Gunawan
Nicko Kharisma Gunawan Mohon Tunggu... Penerjemah - -

Membaca itu seperti menyaksikan kisah dalam setiap dunia yang berputar, melainkan menulis adalah bagian teristimewa dari setiap dunia itu diciptakan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Lamunan Seorang Tukang Becak

29 November 2022   12:26 Diperbarui: 29 November 2022   14:19 272
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Teguh Patrio. Nama itu masih asing bagi penunggang becak yang lain, juga para pedagang pasar area depan, tengah, dan belakang. Terhitung enam hari becaknya bergelut dengan aspal hingga lumpur gang setapak pelosok kampung, dengan garis start yang bermula dari pangkalan di tepian sungai, di samping pasar Mulyo Agung. Dalam enam hari itu, tidak semua hari becak dihampiri penumpang, hanya sesekali, atau setelah dapat giliran narik dari para senior pangkalan. Mereka mencanangkan sistem giliran, dengan nomor antrian yang melekat di setiap potongan kardus. Mengingat pasar adalah sumber penghasilan dengan antrian-antrian yang seringkali membeludak, mulai dari pedagang sampai pembeli akan sangat bergantung padanya. Meski seringkali mendapat giliran terakhir, Teguh tak bisa mengelak. Salah seorang di pangkalan itu sosok pentolan preman pasar. Siapa yang tahu, siapa yang berani, jika melawan, dia juga yang jadi korban. Tak apa, dari pada menganggur, apa saja asal tau syukur. Atas nama junior, turuti saja kata senior, dari pada ribut kalah pamor. Itu yang dipendam Teguh. 

Teguh baru saja hijrah dari suatu kawasan industri di pinggir kota ke kawasan perdagangan ini. Dia kerap berpindah-pindah ke beberapa daerah yang lain sebelumnya, mengikuti profesi yang sedang ditekuninya. Kata ditekuni mungkin sedikit kurang cocok, karena masa terlama Teguh dalam bekerja hanya tiga bulan, dan selepas itu, dia hengkang, begitu seterusnya hingga tak terhitung lagi berapa macam profesi yang sudah dilakoninya. Suatu saat menjadi peternak lele, kuli bangunan di hari menjelang lebaran, buruh tani di musim panen, menjarah terminal sebagai tukang semir keliling, buruh pabrik, dan lain-lain, dan lain-lain. 

Mengapa demikian, hanya Tuhan yang tahu. Saat sepotong pertanyaan melesat di kupingnya, jawaban tak lekang dalam bosan, tak menguntungkan, atau kurang menjanjikan masa depan. Cemoohan demi ejekan datang bergantian, dari mulut pemberi kerja hingga rekan-rekan seperjuangan. Konyol, tanggap yang sering didapati, tapi dia terlalu percaya diri dengan segenap kejujuran hati membeberkan satu-persatu alasan itu, seolah tak akan ditemuinya jembatan penyambung masa depan. Lalu, bagaimana jika hati telah layu sebelum terbit tekad yang mendayu-dayu. 

Profesi terakhir sebelum minggat ke Pasar Mulyo Agung adalah buruh pabrik. Teguh bekerja di sebuah pabrik penghasil pupuk dari bahan kotoran manusia, atau feses. Tak lama, sebulan setengah Teguh menimba upah di sana. Menurut beberapa rekan kerja, Teguh tertangkap basah mencuri pupuk siap jual kualitas terbaik di kelasnya, lalu dihempaskannya Teguh dari rentetan nama terdaftar. Kepepet, katanya. Rumah kontrakan belum dibayar tiga bulan. Oleh karena nya, dia memutuskan lenyap dari kabar yang tengah menguap, berharap gunjingan-gunjingan tak lagi menusuk gendang telinganya.

Salah seorang teman lama, sobat saat sekolah tepatnya, sedikit menggambarkan maksud dari balik alasan Teguh sebelumnya. Saat ditanya, kemudian dia mengingat beberapa ungkapan masa silam tentang impian Teguh saat dewasa kelak. Salah satunya, Teguh ingin mengabdi kepada negara, dengan menjadi apa saja asal terlaksana. Entah aparat, menteri, atau minimal pegawai negeri, semua tergantung mood Tuhan saat memberi, begitu ungkapnya. Harapan yang bagus, untuk celotehan anak usia sekolah, atau jawaban dari sebuah pertanyaan tentang cita-cita. Tapi kenyataannya, saat dewasa, segalanya menjadi tidak mudah. Orang tua Teguh bukan pasangan yang berada, yang satu tukang rongsok besi tua, yang lain penjual gorengan. Tapi, takdir itu juga bukan penentu segala harapan. Tidak. Yang ada, persaingan di luar terlalu sadis untuk merenggut kursi yang diharapkan, tentunya dibarengi persaingan modal. Jika dikatakan jenius, tentu tidak, namun jauh dari kata bodoh, dungu, atau semacamnya. Saat sekolah, nilai Teguh tegolong lumayan, sedikit di atas rata-rata. Setidaknya, kedua orang tua tidak kecewa karena biaya sekolah kala itu begitu berat baginya. Begitu kata teman sejawatnya. 

Suatu kali, saat menanti penumpang yang datang, Teguh sedang mengamati lalu-lalang manusia di hadapannya, dengan pasang kain yang terbalut rapi bermacam corak, warna, juga model yang dibentuknya. Manusia-manusia ini, entah bagaimana sejarahnya, atau bentuk garis nasibnya, atau lafadz doa yang dimuntahkan oleh mulutnya, sehingga mereka mendapati profesi masing-masing. Hatinya terus bertanya-tanya, apakah Tuhan pilih-pilih dalam menabur nasib umatnya? Dia menenggelamkan asa, pasar semakin ramai oleh manusia-manusia berseragam itu, yang berangsur padat-merayap ke setiap sudut. 

Di seberang jalan raya berdiri sekolah dasar, tepat dimana becaknya menatap. Matanya yang kabur sebab kerap menelan debu pabrikan, menilik beberapa orang berseragam batik warna biru dengan corak bunga kehitam-hitaman. Ada yang bertopi, berpeci, atau telanjang kepala. Beberapa di antaranya masuk ke dalam ruangan yang berbeda, menenteng serangkaian lembar yang dibungkus map plastik, juga tas jinjing yang digenggam apik. Pikirannya mulai berandai-andai. Andai saja dia satu di antara guru-guru itu. Sumpahnya dalam kepala mudah diterka. Dia akan mengajar setulus hati, tidak pilih kasih, juga penuh wibawa yang siap ditebar ke setiap penjuru sekolah. Mencerdaskan bangsa adalah harapan setiap manusia. Betapa manis dirinya jika hal demikian adanya. Ibunya pasti bangga jika Teguh menjadi buah bibir para tetangga. Teguh tertawa kecil membayangkannya, yang kemudian angannya dipecah oleh salah seorang tukang becak yang tersisa.

"Woi, sadar! Buruan anter. Kalo enggak, kita yang ambil". Beberapa pasang mata merujuk padanya, yang baru disadari telah berdiri seorang wanita di hadapannya, dengan bawaan belanja dalam beberapa kantong plastik. 

"... ambil saja, saya setelahnya", kata Teguh dengan ambang senyum yang belum sirna. 

Sampai mana tadi? Guru? Tapi angan-angan Teguh sudah berlalu. 

Tak lama kemudian, terdengar pijakan kaki yang berderap-derap dari arah belakang, entah berapa jumlahnya, tapi sungguh hentakan sepatu boots tebal itu seperti menyingkirkan bisingnya kendaraan, begitu juga keramaian pasar. Teguh berpaling ke belakang, mengamati langkah demi langkah yang bertebaran. Rupanya, barisan para anggota tentara, yang entah hendak mengarah kemana. Dengan seragam lengkap, hijau matang berpadu hitam, bermotif doreng yang khas. Langkah yang gagah itu mengalihkan khayalannya sekali lagi dan mulai berandai-andai. Andai saja dia salah satu di antaranya, pasti bapaknya yang di alam baka sangat bangga. Tak hanya gagah, Teguh berhasil mengangkat derajat keluarga. Mendiang bapaknya pernah berpesan, jadilah pejuang. Jangan suka ngutang, yang kiranya hanya bersandar punggung pada mereka yang beruntung. Namun kini Teguh telah buntung, batang otaknya telah rampung oleh keputus-asaan yang terus mengepung. 

Umat berseragam ini tak kunjung reda, Teguh bertanya-tanya ada apa. Dari warna seragam Teguh paham, pejabat pemerintahan. Kemudian tertangkap olehnya beberapa pedagang yang sedang bersua. Rupanya, hari ini adalah peringatan satu tahun kerja seorang Bupati pelipur lara. Bagaimana tidak, pasar Mulyo Agung telah dibangkitkannya, yang semula sepi merana, amburadul, mendekati musnah, kini menjadi pusat dagang yang menguntungkan, dengan segenap harapan. Kala itu perekonomian warga mati, namun kini melonjak kembali. Seperti orang mati yang lalu bangkit di peradaban bumi. 

Faizul Supriyadi, kerap disapa Izul, nama terpilih itu. Teguh baru saja mengetahuinya, sesaat setelah pedagang-pedagang mengurai bahasan yang masih mengalir tentangnya. Sosoknya tampan, tinggi, gagah, sopan, dan masih tergolong muda. Tentunya, digemari para wanita. Hati Teguh merintih, apakah Tuhan benar pilih-pilih? 

Teguh mulai bosan, tapi tak seorang pun pedagang atau pelanggan pasar melipir ke pinggiran sana. Tak seperti biasanya. Mereka tengah menanti kedatangan sang idola, Bupati terpilih itu hendak mampir memberikan salam, pesan atau kesan selama menjabat, serta mendatangi satu-persatu kios menyapa masyarakat. Tampaknya, para penghuni juga pengunjung pasar begitu sudi menanti kedatangan Izul. Wajah mereka seketika bersinar, sejak gerombolan manusia berseragam itu menyebar, tanda Izul yang segera singgah. Teguh masih mengamati, manusia-manusia itu tampak mempersiapkan diri. Sebuah Jeep mewah berwarna hitam pekat yang menembakkan pantulan cahaya ke segala arah tiba, dengan arak-arakan aparat keamanan di depan dan belakang, disertai ocehan melalui toak tanda sambutan. Serempak orang-orang pasar bertepuk tangan. Pak Izul membuka jendela kaca. Lekuk mata warga mulai berkaca-kaca. Tangan kanannya melambai, mulai menyapa. Senyum lebarnya memancar menembus tatapan mereka yang tertambat hebat. Para orang pasar masih menganga, tersekat oleh pesona juga wibawa. Izul mengatungkan kaki kiri lewat pintu yang sedetik lalu dibuka, hingga kini dia berdiri tegak memandangi bangunan pasar hasil dedikasinya. Teguh turut tertegun dibuatnya. Tak bisa disangkal, pria yang diperkiraan seusianya itu begitu mempesona. Catatan nasib mungkin terlalu mengada-ada, seakan tak ada kekurangan setitik pun yang menerpa, dia tampak begitu sempurna. Kemudian perlahan Izul melangkah, dengan aroma wangi bak surga kembang yang mengudara, menelusup ke setiap rongga hidung massa. 

Sambil melambai-lambai, Izul masuk ke dalam pasar, beriringan dengan petugas keamanan yang sibuk membela tubuh Izul dari setiap sentuhan. Para penghuni kios bagian depan turut membuntuti, termasuk para pedagang sandal, tukang servis jam, hingga tukang becak yang tak ingin ketinggalan. Teguh menggerutu, hati dan pikirannya menuntut untuk menyelinap ke dalam sana. Bukan karena sosok yang terpaksa dikagumi, melainkan apa saja yang bisa dipetik dari sang Bupati. Siapa tahu, suatu saat nanti, saat dirinya menjadi abdi, tak perlu susah-susah mencari materi. Banyangan itu terus menghantui. Sejenak hati kecilnya menancap sedih, perlahan Teguh meredam diri. Sampai akhirnya, seorang tukang becak yang baru tiba, menggaet lengan Teguh dan membimbingnya. "Siapa tahu ada pembagian duit. Atau minimal sembako lah". Ujarnya melalui wajah yang memancar penuh keyakinan. "Kan lumayan". Teguh mengangguk. 

Sampai di pusat pasar, kerumunan dipandu melingkar. Microphone diberikan, dan bibirnya mulai berkecap-kecap. Satu-dua kata dilontarkan, dari ucapan salam hingga maksud kedatangan. Keadaan hening, seakan pasar berubah menjadi tempat peribadatan, dengan tamu undangan seorang pemuka agama bernama besar. Masih tentang ungkapan terima kasih yang diucap ribuan kali, juga perihal bangunan yang sempat mati suri. Para warga kian memasang wajah yang berseri-seri. Di tengah sana pula, Teguh telah menyatukan diri, dalam hati yang terbesit rasa iri. Sampai di puncak pidato, Izul mulai memutuskan kunjungan satu-persatu kios. Para pedagang dan pengunjung pasar tampak kegirangan, seperti menyambut aktor Hollywood yang mereka damba sampai ujung maut. Petugas keamanan kembali sibuk, menyapu jemari-jemari yang mengulur di sela-sela barisan.

Meski hanya terhitung detik, Izul berlabuh sama rata. Sesuai janji, satu persatu kios dia hampiri. Kehadirannya disambut meriah terlebih oleh para pedagang yang seakan nasib kiosnya melambung seusai dihinggapinya, siap menerima pelanggan-pelanggan dengan uraian cerita tentang Izul. Tak lama, kini kakinya tengah menapaki area belakang dimana pembangunan masih dilakukan. Ubin baru setengah dari nya terpasang, sisanya masih berupa rangkaian tali-temali berpola segi empat bakal ubin yang siap ditancap, sebagian lainnya masih terburai tanah lumpur berkat hujan. Pasar area belakang cenderung diisi pedagang hewan ternak, tanaman, dan segalanya tentang makhluk hidup. Seketika, gelaran sabung ayam warga dan permainan gaplek para tukang ojek berhenti, sesaat setelah sosok Izul muncul. Tak kalah girang, warga kampung rupanya telah mengepung area tersebut. Pemukiman belakang pasar terjangkit kabar yang melayang begitu piawainya, soal kedatangan Izul. 

Masih seperti sebelumnya, Izul mendapati para pedagang, pelanggan, dan kini ditambah para ibu warga kampung yang menyerbu dengan dekap kemayu demi berfoto, ada yang memberikan jajanan pasar, atau sekedar salam-salaman. Aparat keamanan mulai kuwalahan, reaksi warga berantakan. Begitu juga Izul, sikap tubuhnya yang gagah berangsur terayap-rayap berdesakan. Massa membeludak. Pasar telah pepak. Hewan-hewan ternak mulai terusik dengan protes bunyian ala mereka. Hingga akhirnya, para ayam sabung dalam sangkar bambu mulai tersungkur, berusaha menghindar, namun berterbangan ke tengah massa menapaki kepala hingga wajah mereka. Warga dibuatnya kocar-kacir, terutama ibu-ibu yang berteriak histeris bersahutan. Wajah mereka dihinggapi ceker dengan kuku lancip, senjata utama menghabisi lawan. Para ayam semakin berserakan oleh tepakan dan gempuran tangan, lalu hinggap tepat di rambut Izul yang menawan. Para warga lelaki serentak menghempaskannya dari sana, namun berujung Izul yang jatuh telangkup di antara tanah berlumpur. 

Seketika, kehebohan itu terbenam. Para warga mematung serupa manekin di dalam toko sandang. Mereka masih menganga layaknya saat tertambat kedatangan Izul pertama kali. Sunyi, semua orang terbelengguh simpati. Izul bergelimang lumpur, di wajah, dan seluruh bagian depan tubuh. Beberapa saat kemudian, dia bangkit oleh uluran tangan warga. Dari kejauhan, Teguh menilik. Hatinya terasa hanyut, seperti tak ada lagi sampah yang tersangkut. Teguh terdiam sesaat, membayangkan apa yang tadi dibayangkan. Secuil rasa sesal hinggap di hati, tak perlu lagi dia menyumpahi diri. Kini Teguh kembali menuju becak, membelah kerumunan dengan gagah, menanti giliran narik kemana pun penumpang pergi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun