Walaupun tidak dapat dipastikan dengan tepat dan presisi, namun kebanyakan ahli berpendapat bahwa kebudayaan Hindu-Buddha pertama kali berhasil melakukan penetrasi ke Nusantara pada abad ke-5 masehi atau tahun 500 setelah masehi. Terdapat sejumlah teori yang berbeda mengenai proses Hinduisasi atau penetrasi kebudayaan bercorak Hindu-Buddha ke Nusantara, namun belum ada satu teori yang bisa dipastikan benar menjadi sebuah fakta (Gunawan, 2020).Â
Pertama, teori Ksatria, menerangkan bahwa kebudayaan Hindu-Buddha diperkenalkan oleh ekspansi kaum Ksatria dari India kepada Nusantara. Kedua, teori Waisya, menjelaskan bahwa kebudayaan Hindu-Buddha dapat hadir di Nusantara oleh karena kaum pedagang. Ketiga, teori Brahmana, menerangkan bahwa kebudayaan Hindu-Buddha dibawa oleh kaum Brahmana atau pemuka agama dari India ke Indonesia. Keempat, teori Arus Balik, menjelaskan bahwa kebudayaan Hindu-Buddha diperkenalkan oleh orang Indonesia yang bepergian ke India, lalu kembali dan memperkenalkan ajaran tersebut.Â
Kebudayaan bercorak Hindu-Buddha mempengaruhi peradaban masyarakat di Nusantara/Indonesia pada berbagai aspek, seperti sistem kepercayaan, kebahasaan dan sastra, sistem pemerintahan, seni bangunan, dan lainnya.Â
Sistem kepercayaan yang dulunya terbatas pada dinamisme dan animisme sebagai produk dari proses-proses kognitif yang memampukan manusia untuk memiliki kecerdasan sosial dan kepercayaan akan roh atau makhluk supranatural, kini mengenal sistem kepercayaan Hindu dan Buddha (Tylor, 1871; Bird-David, 1999; Charlton, 2007; Klingensmith, 1953; Piaget, 1929).Â
Dalam kebahasaan, masuknya kebudayaan Hindu-Buddha juga menyebabkan normalisasi dalam penggunaan bahasa Sansekerta yang disertai huruf Pallawa (Kelas Pintar, 2020). Tak hanya itu, peradaban di Nusantara juga turut mengimplementasikan struktur monarki dengan tingkatan/kasta yang jelas ketika masuknya kebudayaan Hindu-Buddha, misalnya kasta Brahmana, kasta Ksatria, kasta Waisya, dan kasta Sudra (Rohman, 2023; Kelas Pintar, 2020).
Terlepas dari banyaknya teori yang ada, awal masuknya kebudayaan Hindu-Buddha ditandai oleh munculnya Kerajaan Kutai sebagai kerajaan bercorak Hindu-Buddha pertama di Nusantara. Setelah itu, ada lebih banyak lagi kerajaan-kerajaan bercorak Hindu-Buddha yang berdiri, seperti Kerajaan Tarumanegara, Kerajaan Kediri, Kerajaan Singasari, dan lain-lain (Jateng Prov, 2014). Walaupun Kerajaan Sriwijaya dan Kerajaan Majapahit memiliki kesan yang paling megah, namun pengaruh yang ditimbulkan oleh Kerajaan Mataram Kuno bisa jadi lebih signifikan bila dikaji dalam seni bangunannya.Â
Kerajaan Mataram Kuno, atau Kerajaan Medang, membina pembangunan dua candi besar di Nusantara, yaitu Candi Borobudur dan Candi Prambanan. Candi Borobudur merupakan candi bercorak Buddha yang dibangun pada zaman dinasti Syailendra dalam rentang waktu abad ke-8 sampai 9 masehi (UNESCO World Heritage Centre, 1991). Sama seperti Candi Borobudur, Candi Prambanan juga merupakan hasil pembinaan Kerajaan Mataram Kuno, namun dibangun pada zaman dinasti Sanjaya yang bercorak Hindu, beberapa puluh tahun setelah pembangunan Candi Borobudur (UNESCO World Heritage Centre, 1991). Fitur bangunan paling berkesan dari Candi Borobudur ialah bentuknya yang menyerupai piramida punden berundak atau tangga.Â
Keseluruhan seni bangunan pada Candi Borobudur sebagai tempat ibadah umat Buddha tersebut merefleksikan konsep-konsep dasar mengenai pemujaan leluhur, dan pencapaian Nirvana dalam sistem kepercayaan Buddha (UNESCO World Heritage Centre, 1991). Sedangkan, Candi Prambanan dibangun sebagai bentuk pemujaan dan dedikasi terhadap Trimurti, 3 dewa besar dalam sistem kepercayaan Hindu, yang terdiri dari Brahma, Wisnu, dan Siva.Â
Relief bangunan pada Kompleks Candi Prambanan secara keseluruhan mengilustrasikan kisah Ramayana dalam versi Nusantara  (UNESCO World Heritage Centre, 1991). Kompleks Candi Prambanan memiliki pola konsentris dengan total 16 candi, 3 candi utama bagi 3 dewa besar, 3 candi wahana bagi hewan-hewan yang melayani mereka, dan 10 candi lainnya (Balai Pelestarian Cagar Budaya Provinsi D. I. Yogyakarta, 2020).Â
Melalui pemaparan ini, kita bisa mengamati perbedaan yang ada sebagai hasil dari pengaruh kebudayaan Hindu-Buddha terhadap seni bangunan di Indonesia. Walau megalit dan bangunan bersejarah dengan corak kebudayaan Hindu-Buddha umumnya memiliki fungsi yang serupa, dalam konteks ini untuk keperluan keagamaan, namun kita dapat melihat perkembangan kompleksitas dari segi arsitekturnya.Â
Megalit umumnya hanya berupa seonggok batuan yang digunakan untuk keperluan tertentu. Sedangkan, bangunan bersejarah bercorak Hindu-Buddha memiliki relief dan pahatan indah yang mencerminkan suatu hal, disertai dengan aksen dan detail yang menambah nilai estetika.Â