Jurnalisme online dapat dikatakan juga sebagai jurnalisme multimedia. Hal tersebut tercermin karena dalam satu media itu, telah berisi atau mewakili dari berbagai media massa yang ada, atau memuat unsur dari media massa sebelumnya. Sama halnya seperti New Media, jurnalisme online mengusung dengan adanya teks, gambar, video dalam satu lingkup media online. Dalam buku berjudul “Online Journalism: The Essential Guide” karangan Steve Hill & Paul Lashmar dikatakan bahwa pola pikir dari multimedia adalah sebagai berikut (Hill&Lashmar, 2014: 9):
- It understands that in our careers as journalists we will face yet more constant, rapid change in our working practices caused by new technologies.
- We understand that we can learn a lot from those with expertise in computing
- We understand that we need to be flexible in how we work
- We must learn about the media business and how content can be monotized (how it generates revenue)
- We must be numerate and understand statistics
- We must understand the traditions and importance of journalism
Inti dari enam mindset multimedia tadi adalah bahwa jurnalis atau wartawan pada dasarnya membutuhkan perubahan teknologi, tidak melulu hanya menulis dengan pena lalu diterbitkan lewat cetak (Koran, suratkabar). Wartawan juga harus melek teknologi, literasi media, dapat pula menggunakan komputer. Dalam pekerjaannya wartawan membutuhkan fleksibilitas ketika bekerja. Wartawan juga harus belajar mengenai bisnis media, dan bagaimana konten-konten bisnis tersebut dapat diketahui secara umum. Wartawan juga harus mengerti tentang statistika, dan angka-angka, misalnya ketika membaca statistik, dan menginformasikan kepada masyarakat lewat tulisan. Dan yang terpenting adalah bagaimana wartawan harus mengerti terhadap tradisi dan pentingnya etika atau kaidah jurnalisme yang ada. Dalam artian, wartawan harus mematuhi KEJ yang berlaku dan mengikat mereka dalam bekerja melaporkan berita kepada masyarakat.
Para ahli mengatakan bahwa kunci keberhasilan pada jurnalisme online adalah sama dengan berita-berita tradisional, yaitu akurasi, penulisan yang baik dan dorongan untuk berinovasi (Ishwara, 2005: 51). Dengan pernyataan tadi sebenarnya ingin mengatakan bahwa jurnalisme online ini akan lebih baik dan sukses lagi apabila tetap mengandalkan akurasi di dalamnya. Sebab karya jurnalistik yang terpenting adalah kebenaran yang terverifikasi oleh sang narasumber sebagai objek berita, dan wartawan online harus lah menggunakan prinsip-prinsip tersebut.
Kesimpulan
Sejak dibebaskan Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUP) oleh pemerintahan Habibie, maka puluhan bahkan ratusan pers timbul seperti jamur di musim hujan (Tahrun, Houtman, Nasir, 2016: 65). Dari pernyataan tersebut kita kini mengenal jurnalisme online yang juga bertebaran seperti media massa lainnya. Adanya kebebasan pers yang dijamin di negara ini setelah runtuhnya Orde Baru pada Mei 1998, menjadikan media-media tumbuh subur berkembang. Namun sayang, kesempatan ini malah menjadikan pers yang kebablasan, saking bebasnya. Hal ini pula yang kita dapat lihat dari adanya berita-berita hoax (palsu) yang muncul entah dari mana. Di sinilah profesionalisme dari seorang jurnalis dipertanyakan, dan sayangnya lagi, berita-berita hoax itu rata-rata muncul dari jurnalisme online atau media online.
Kita sebagai masyarakat rasa-rasanya perlu mengkritisi kemajuan dari bidang apapun termasuk jurnalistik. Pemberitaan yang dimaksud dan kita terima sehari-hari, belum tentu semuanya tepat. Dalam ranah jurnalisme online, karena informasi yang beredar begitu banyak tanpa diketahui informasi awal berita tersebut, kita tetap waspada, jangan langsung percaya. Pilihlah portal berita yang terpercaya, aktual, namun juga akurat. Jangan sampai kita sebagai masyarakat yang seharusnya mendapat informasi malah terbohongi akan informasi. Hal yang terjadi setelahnya akan sangat menakutkan, bisa-bisa masyarakat kita salah bertindak oleh karena satu isu yang juga salah atau palsu.
Wartawan online sebagai pencari berita di ranah online, juga memiliki peran penting terhadap tegaknya etika jurnalistik. Bagaimana bisa orang yang bekerja tanpa mematuhi kode etik yang ada, hasilnya akan baik, pasti yang akan terjadi adalah kepalsuan dan kebohongan. Saya berharap, kelak ketika saya bekerja entah sebagai wartawan atau pekerjaan apapun (yang pasti halal) kejujuran lah yang dijunjung, karena kejujuran akan menghasilkan kebenaran. Sama halnya dengan kaidah jurnalistik yang mengutamakan pada kebenaran. Sekali lagi, jurnalisme online, cepat belum tentu tepat. .
Daftar pustaka
Iskandar, D & Lestari, R. 2016. Mitos jurnalisme. Indonesia, Yogyakarta: CV. Andi Offset Anggota IKAPI.
Tahrun, Houtman, Nasir, M. 2016. Keterampilan pers dan jurnalistik berwawasan jender. Indonesia, Yogyakarta: Deepublish.
Ishwara, L. 2005. Catatan-catatan jurnalisme dasar. Indonesia, Jakarta: Penerbit Buku Kompas.