Mohon tunggu...
Nicholas RyanAditya
Nicholas RyanAditya Mohon Tunggu... -

Seorang anak rantau yg bercita-cita menjadi jurnalis

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Jurnalisme Online: Cepat Belum Tentu Tepat

1 April 2017   08:08 Diperbarui: 1 April 2017   16:00 542
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: Kompasiana.com

Latar Belakang

Selamat Pagi, Siang, Sore, Malam, Dini hari, kompasianers! Di mana pun, kapan pun, dan siapa pun yang membaca tulisan ini, diharapkan ada sesuatu yang bermanfaat yang didapat. Minggu-minggu sebelumnya, saya telah banyak membahas mengenai jurnalisme online. Selain jurnalisme online, saya juga membahas mengenai “New Media” atau media baru yang mana menjadi pembicaraan banyak orang pada masa ini.

Semua yang telah saya bahas sebelumnya memang tak terlepas dari satu teknologi yang bernama internet. Internet memiliki kecanggihan berupa jaringan cepat yang dapat menghubungkan kehidupan di masyarakat modern. Internet digadang-gadang menjadi penemuan canggih yang mengawali penemuan-penemuan canggih berikutnya. Bisa kita ambil contoh yaitu sosial media, google, blog, media online, dan yang kita pakai saat ini, kompasiana.com. Tanpa ditemukannya internet, mungkin kita saat ini masih kesulitan untuk mendapat informasi dalam bentuk yang cepat, mudah, dan murah. Orang-orang dari berbagai kalangan pun dapat menikmati fasilitas internet gratis di kafe-kafe atau pun ruang publik lainnya. Biasanya kalangan yang sering menggunakan internet adalah kalangan mahasiswa. Mahasiswa memanfaatkan internet atau tempat-tempat yang ada wifinya guna keperluan membuat tugas di internet, atau sekedar browsing, berselancar di internet.

Terlepas dari bahasan internet, kali ini saya akan membahas isu-isu yang lagi-lagi akan ada kaitannya juga dengan jurnalisme online. Sesuai judul yang saya angkat yaitu “Jurnalisme Online: Cepat Belum Tentu Tepat” rasa-rasanya sudah dapat merepresentasikan apa yang akan saya gali pada tulisan ini. Mendengar judul di atas, apa yang terbersit di pikiran kompasianers? Apa membahas Kode Etik Jurnalisme (KEJ)? Atau ada dari kita yang beranggapan senada dengan judul tersebut bahwa jurnalisme online kurang tepat? Kurang tepat dalam hal apa? Jurnalistik kah? Masih kah ia dapat disebut sebagai praktik jurnalistik? Bagaimana sebenarnya eksistensi jurnalisme online dalam memegang teguh prinsip jurnalistik? Ya benar, semua pikiran-pikiran yang terbersit itu akan dibahas pada tulisan ini. Maka dari itu, mari kita bahas bersama

Ketika akan menulis artikel ini, sontak saya teringat kala kuliah jurnalisme online. Kala itu, dosen menanyakan kepada kami mahasiswa Jur-On (singkatan dari Jurnalisme Online) perihal beberapa artikel di kompasiana yang sebenarnya mengarah ke jurnalistik tetapi bukan jurnalistik. Pertama, kami bingung ketika ditanyakan seperti ini “Apakah ini termasuk bagian dari jurnalistik?,” kami diam seribu bahasa, kami bingung, sebab unsur-unsur berita jurnalistik sekilas ada pada berita tersebut. Ada yang menjawab sebagai karya jurnalistik, namun ada pula yang menjawab tidak. Lelah kami berpikir dan berdiskusi yang mengundang tanya, akhirnya kami pun menyerah.

Titik terang pun didapat, dosen menerangkan kepada kami bahwa berita tersebut tidak termasuk ke dalam karya jurnalistik. Artikel tersebut adalah murni artikel kompasiana, yang memang berbau opini, meski ada fakta di dalamnya. Perlu diingat kembali bahwa berita tidak boleh mengandung opini dari sang penulis. Akhirnya kami menyadari kesalahan tersebut, kini kami tahu bahwa tidak semua artikel yang nampak membawa unsur jurnalistik seperti 5W+1H namun ada opini sedikit pun, tetap tidak bisa disebut berita jurnalistik.

Pembahasan

Beralih ke kasus yang akan saya angkat di sini adalah sifat dari jurnalisme online. Jurnalisme online yang digadang-gadang menjadi jurnalisme masa kini yang juga menimbulkan atau melahirkan adanya citizen journalism di dunia jurnalistik, nyatanya memiliki kekurangan yang cukup fatal apabila masih membawa embel-embel jurnalistik di dalamnya. Media massa yang terhitung baru ini rasa-rasanya memiliki kekurangan di bagian ketepatan. Maka dari itu, yang akan saya angkat di sini adalah soal ketepatan pada jurnalisme online. Akurasi nampaknya kerap kali terlupa dalam kasus pemberitaan di jurnalisme online. Mereka (wartawan) media online lebih mementingkan sisi kecepatan atau aktualisasi ketimbang akurasi. Padahal keduanya harus berimbang satu sama lain, agar tidak menimbulkan pertanyaan di bidang jurnalistik.

Jauh sebelum melanjutkan pembahasan, sebaiknya kita lihat lagi karakteristik-karakteristik yang dibangun dari jurnalisme online atau media online ini. Berikut gambarannya (Iskandar&Lestari, 2016: 29-30):

  • Unlimited Space. Jurnalistik online memungkinkan halaman tak terbatas. Ruang bukan masalah. Artikel dan berita bisa sepanjang dan selengkap mungkin, tanpa batas
  • Audience Control. Jurnalistik online memungkinkan pembaca lebih leluasa memilih berita/informasi
  • Non-Lienarity. Dalam jurnalistik online masing-masing berita berdiri sendiri, sehingga pembaca tidak harus membaca secara berurutan
  • Storage and Retrieval. Jurnalistik online memungkinkan berita “abadi”, tersimpan, dan bisa diakses kembali dengan mudah kapan dan di mana saja
  • Immediacy. Jurnalistik online menjadikan informasi bisa disampaikan secara sangat cepat dan langsung
  • Multimedia Capability. Jurnalistik online memungkinkan sajian berita berupa teks, suara, gambar, video, dan komponen lainnya sekaligus
  • Interactivity. Jurnalistik online memungkinkan interaksi antara redaksi dengan pembaca, seperti melalui kolom komentar dan social media sharing

Setelah melihat unsur atau karakteristik dari jurnalistik online, memang tak terlihat sedikit pun membahas akurasi. Jurnalisme online lebih banyak berbicara tentang kecepatan dan kecanggihan yang dimilikinya. Cepat belum tentu tepat, begitulah yang kira-kira bisa saya gambarkan perihal jurnalisme online. Keberadaan media online yang mengalahkan keberadaan media cetak dan penyiaran, rasa-rasanya juga patut dikritisi. Media cetak dan penyiaran dapat memanfaatkan kesempatan ini untuk tetap bangkit karena jurnalisme online masih belajar dalam tahap akurasi atau ketepatan. Media cetak yang lebih menekankan pada isi kedalaman suatu berita, tidak dimiliki oleh jurnalisme online.

Kecepatan dan percepatan telah menyeret jurnalisme ke dalam pusaran kompetisi global, dan di sinilah lidah api kapitalisme menyambar dan membakar jurnalisme, berita sebagai unsur atau pilar pokok atau inti dari jurnalisme menjadi komoditas (Iskandar&Lestari, 2016: 29). Sebuah kalimat yang begitu mengena dan menyerang jurnalisme online dari segala lini. Mulai dari wartawan sebagai pilar utama dari lahirnya sebuah berita, lalu ke media tempat ia bekerja, serta siapa pemilik perusahaan media tersebut. Semua pihak dapat dilibatkan dan dipertanyakan. Lagi-lagi kita harus merasa sedih sebagai masyarakat yang seharusnya mendapatkan berita atau informasi yang benar, jujur, malahan mendapat berita-berita yang entah benar atau tidak. Ini semua karena unsur ketepatan yang dikesampingkan. Kaidah jurnalistik yang luhur itu rasa-rasanya dilupakan dan kalah oleh adanya kapitalisme.

Jurnalisme online dapat dikatakan juga sebagai jurnalisme multimedia. Hal tersebut tercermin karena dalam satu media itu, telah berisi atau mewakili dari berbagai media massa yang ada, atau memuat unsur dari media massa sebelumnya. Sama halnya seperti New Media, jurnalisme online mengusung dengan adanya teks, gambar, video dalam satu lingkup media online. Dalam buku berjudul “Online Journalism: The Essential Guide” karangan Steve Hill & Paul Lashmar dikatakan bahwa pola pikir dari multimedia adalah sebagai berikut (Hill&Lashmar, 2014: 9):

  • It understands that in our careers as journalists we will face yet more constant, rapid change in our working practices caused by new technologies.
  • We understand that we can learn a lot from those with expertise in computing
  • We understand that we need to be flexible in how we work
  • We must learn about the media business and how content can be monotized (how it generates revenue)
  • We must be numerate and understand statistics
  • We must understand the traditions and importance of journalism

        Inti dari enam mindset multimedia tadi adalah bahwa jurnalis atau wartawan pada dasarnya membutuhkan perubahan teknologi, tidak melulu hanya menulis dengan pena lalu diterbitkan lewat cetak (Koran, suratkabar). Wartawan juga harus melek teknologi, literasi media, dapat pula menggunakan komputer. Dalam pekerjaannya wartawan membutuhkan fleksibilitas ketika bekerja. Wartawan juga harus belajar mengenai bisnis media, dan bagaimana konten-konten bisnis tersebut dapat diketahui secara umum. Wartawan juga harus mengerti tentang statistika, dan angka-angka, misalnya ketika membaca statistik, dan menginformasikan kepada masyarakat lewat tulisan. Dan yang terpenting adalah bagaimana wartawan harus mengerti terhadap tradisi dan pentingnya etika atau kaidah jurnalisme yang ada. Dalam artian, wartawan harus mematuhi KEJ yang berlaku dan mengikat mereka dalam bekerja melaporkan berita kepada masyarakat.

            Para ahli mengatakan bahwa kunci keberhasilan pada jurnalisme online adalah sama dengan berita-berita tradisional, yaitu akurasi, penulisan yang baik dan dorongan untuk berinovasi (Ishwara, 2005: 51). Dengan pernyataan tadi sebenarnya ingin mengatakan bahwa jurnalisme online ini akan lebih baik dan sukses lagi apabila tetap mengandalkan akurasi di dalamnya. Sebab karya jurnalistik yang terpenting adalah kebenaran yang terverifikasi oleh sang narasumber sebagai objek berita, dan wartawan online harus lah menggunakan prinsip-prinsip tersebut.

Kesimpulan

            Sejak dibebaskan Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUP) oleh pemerintahan Habibie, maka puluhan bahkan ratusan pers timbul seperti jamur di musim hujan (Tahrun, Houtman, Nasir, 2016: 65). Dari pernyataan tersebut kita kini mengenal jurnalisme online yang juga bertebaran seperti media massa lainnya. Adanya kebebasan pers yang dijamin di negara ini setelah runtuhnya Orde Baru pada Mei 1998, menjadikan media-media tumbuh subur berkembang. Namun sayang, kesempatan ini malah menjadikan pers yang kebablasan, saking bebasnya. Hal ini pula yang kita dapat lihat dari adanya berita-berita hoax (palsu) yang muncul entah dari mana. Di sinilah profesionalisme dari seorang jurnalis dipertanyakan, dan sayangnya lagi, berita-berita hoax itu rata-rata muncul dari jurnalisme online atau media online.

            Kita sebagai masyarakat rasa-rasanya perlu mengkritisi kemajuan dari bidang apapun termasuk jurnalistik. Pemberitaan yang dimaksud dan kita terima sehari-hari, belum tentu semuanya tepat. Dalam ranah jurnalisme online, karena informasi yang beredar begitu banyak tanpa diketahui informasi awal berita tersebut, kita tetap waspada, jangan langsung percaya. Pilihlah portal berita yang terpercaya, aktual, namun juga akurat. Jangan sampai kita sebagai masyarakat yang seharusnya mendapat informasi malah terbohongi akan informasi. Hal yang terjadi setelahnya akan sangat menakutkan, bisa-bisa masyarakat kita salah bertindak oleh karena satu isu yang juga salah atau palsu.

            Wartawan online sebagai pencari berita di ranah online, juga memiliki peran penting terhadap tegaknya etika jurnalistik. Bagaimana bisa orang yang bekerja tanpa mematuhi kode etik yang ada, hasilnya akan baik, pasti yang akan terjadi adalah kepalsuan dan kebohongan. Saya berharap, kelak ketika saya bekerja entah sebagai wartawan atau pekerjaan apapun (yang pasti halal) kejujuran lah yang dijunjung, karena kejujuran akan menghasilkan kebenaran. Sama halnya dengan kaidah jurnalistik yang mengutamakan pada kebenaran. Sekali lagi, jurnalisme online, cepat belum tentu tepat. . 

Daftar pustaka

Iskandar, D & Lestari, R. 2016. Mitos jurnalisme. Indonesia, Yogyakarta: CV. Andi Offset Anggota IKAPI.

Tahrun, Houtman, Nasir, M. 2016. Keterampilan pers dan jurnalistik berwawasan jender. Indonesia, Yogyakarta: Deepublish.

Ishwara, L. 2005. Catatan-catatan jurnalisme dasar. Indonesia, Jakarta: Penerbit Buku Kompas.

Hill, S & Lashmar, P. 2014. Online journalism: the essential guide. UK, London: SAGE.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun