Sementara B. Van Fraasen di satu sisi empiris karena mengakui kebenaran teori dari seberapa adekuat secara empiris, dan benar jika melindungi fenomena. Realitas pada dirinya sendiri sebenarnya dapat diakses, selama dapat diobservasi. Hal ini dinilai Dilworth justru bernada realis karena membayangkan eksistensi realitas eksternal yang independen, mengingat Fraasen juga mengatakan ‘dapat diobservasi’ adalah predikat yang tidak jelas. Teori adalah benar jika tidak ada lagi pendasaran lain untuk dipercaya.Â
Larry Laudan termasuk sangat sengit mengkritik teori kebenaran tentang dunia natural, atau setidaknya mendekati kebenaran. Laudan tidak membedakan mana entitas teoretis dan yang tidak. Bagi realis jika suatu teori sukses menjelaskan mekanisme alam berarti teori tersebut juga setidaknya mendekati kebenaran. Teori bagi Laudan dipahami menurut garis empiris logis sebagai entitas yang benar atau salah, fungsinya menggambarkan daripada menjelaskan, teori juga berfokus pada pemecahan masalah. Dalam manifesto anti-realisnya yang sangat berpengaruh, A confutation of convergent realism (1981) (Juha Saatsi, 2002 : 1129-1139). Laudan berusaha menantang kaum realis dengan mengacu ke catatan sejarah tentang teori-teori yang berhasil namun tidak tepat dalam menentang hubungan yang ingin ditarik oleh kaum realis antara keberhasilan sebuah teori dan perkiraan kebenarannya, yaitu teori yang sukses bisa saja diposisikan kira-kira benar. Bentuk hubungan ini merupakan inti dari intuisi realis dari No Miracles Arguments (NMA), dimana intuisilah sebagai penjelasan terbaik dari keberhasilan ilmu pengetahuan mendekati kebenaran teori itu sendiri. Bagi Laudan, Pessimistic Meta-Induction (PMI) dirancang untuk setidak-tidaknya memberikan sanggahan yang kuat melawan NMA. PMI yang dimaksud Laudan, dapat direkonstruksi secara ringkas sebagai reductio yaitu: (1) diasumsikan bahwa keberhasilan suatu teori adalah ujian yang dapat diandalkan untuk kebenarannya, (2) maka sebagian besar teori ilmiah yang sukses saat ini adalah benar, (3) Kemudian sebagian besar teori ilmiah masa lalu salah, karena mereka berbeda dari teori sukses saat ini dalam cara yang signifikan, (4) banyak dari teori masa lalu ini juga berhasil, (5) oleh karena itu, keberhasilan suatu teori bukanlah ujian yang dapat diandalkan untuk kebenarannya (karena ini mengarah pada kontradiksi dalam (3) dan (4) (Juha Saatsi, 2002 : 1129-1139). Lebih lanjut Laudan secara khusus menyoroti klaim epistemik kaum realis dengan mendasarkan pada pandangan Boyd, Newton-Smith, Shimony, Putnam, Friedman dan Niiniluoto) bahwa tesis epistemik realisme terbuka untuk uji empiris. Jadi realisme epistemologis adalah hipotesis empiris. Bahkan doktrin epistemologis memiliki status empiris yang mendapat sambutan yang sama dengan ilmu pengetahuan (Larry Laudan, 2002: 1108-1128). Selanjutnya, Laudan tiba pada kesimpulan berikut: (1) adanya fakta bahwa istilah sentral sebuah teori merujuk tidak berarti teori itu akan berhasil, karena keberhasilan sebuah teori bukanlah jaminan untuk klaim yang mengacu pada semua atau sebagian besar istilah sentralnya. (2) Gagasan tentang kebenaran yang mendekati saat ini terlalu kabur untuk memungkinkan seseorang menilai apakah sebuah teori yang seluruhnya terdiri dari hukum-hukum yang mendekati benar akan berhasil secara empiris, jadi intinya adalah bahwa sebuah teori mungkin berhasil secara empiris bahkan jika itu tidak mendekati kebenaran sekalipun. (3) Kaum realis tampaknya tidak memiliki penjelasan apa pun atas fakta bahwa banyak teori yang kurang lebih benar dan yang istilah 'teoretisnya' tampaknya tidak merujuk pada kenyataannya, seringkali berhasil. (4) Pernyataan kaum konvergensi bahwa para ilmuwan dalam disiplin yang cukup matang biasanya melestarikan, atau berusaha melestarikan, hukum dan mekanisme teori-teori sebelumnya pada teori-teori selanjutnya mungkin salah, pernyataannya bahwa ketika hukum seperti itu dipertahankan dan sukses menjadi penerus, kita dapat menjelaskan keberhasilan utama dari kebenaran yang memegang teguh hukum dan mekanisme, yang mengalami semua kecatatan menghadapi kemungkinan kebenaran. (5) Bahkan jika dapat ditunjukkan bahwa merujuk pada teori-teori yang mungkin berhasil, argumen kaum realis bahwa teori-teori yang berhasil kira-kira benar dan sungguh-sungguh benar menerima begitu saja apa yang disangkal oleh kaum non-realis (yaitu, bahwa keberhasilan eksplanatori yang menandakan kebenaran). (6) Tidak jelas apakah teori-teori yang dapat diterima dapat menjelaskan atau menjelaskan mengapa pendahulunya berhasil atau gagal. Jika sebuah teori didukung dengan lebih baik daripada para pesaing dan pendahulunya, maka secara epistemologis teori tersebut tidak menentukan apakah teori tersebut menjelaskan mengapa para pesaingnya dapat berhasil. (7) Jika sebuah teori pernah difalsifikasi, maka tidak masuk akal untuk mengharapkan penerusnya harus mempertahankan semua isinya atau konsekuensinya yang terkonfirmasi atau mekanisme teoretisnya. (8) Tidak ada fondasi yang didirikan oleh kaum realis-kecuali oleh fiat bahwa epistemologi non-realis kekurangan sumber daya untuk menjelaskan keberhasilan ilmu pengetahuan. Dengan demikian, meskipun realisme dapat menjelaskan setiap bagian dari keberhasilan ilmu pengetahuan, akan tetapi realisme tidak dapat, bahkan dengan cahayanya sendiri, menjelaskan keberhasilan banyak teori yang istilah-istilah sentralnya jelas tidak mengacu dan yang hukum dan mekanisme teoretisnya kurang-lebih benar. Epistemologi kaum realis yang cukup standar masih gagal menjelaskan banyak hal (Larry Laudan, 2002: 1108-1128).
Selain itu, menarik mengamati kritikan Laudan terhadap kaum realis yang ditutup dengan sindiran:
"My task here is, rather, that of reminding ourselves that there is a difference between wanting to believe something and having good rea- sons for believing it."
"Tugas saya di sini adalah, lebih tepatnya, mengingatkan diri kita sendiri bahwa ada perbedaan antara ingin memercayai sesuatu dan memiliki alasan yang baik untuk memercayainya."
Ini menunjukkan bahwa Laudan benar-benar ingin menunjukkan secara ekstrem kebingungan kaum realis yang seakan tidak memiliki pegangan. Bahkan lebih lanjut Laudan menutup ulasannya tentang kebingungan atas kaum realis dengan menyatakan:
"All of us would like realism to be true; we would like to think that science works because it has got a grip on how things really are. But such claims have yet to be made out."
"Kita semua ingin realisme menjadi kenyataan; kami ingin berpikir bahwa sains bekerja karena ia memiliki pegangan tentang bagaimana segala sesuatunya sebenarnya. Tapi klaim seperti itu belum dibuat."
Tanggapan kaum realis lainnya datang dari Nancy Cartwright. Ia bertolak dengan argumentasi bahwa hukum mendeskripsikan fakta tentang realitas. Ia lalu mendasarkan argumennya tentang faktisitas hukum-hukum, hukum fundamental adalah kebenaran. Oleh karena itu, kausalitas dijelaskan menggunakan hukum kausal dan penjelasan kausal juga sebuah kebenaran. Menjelaskan suatu fenomena adalah membuat model fenomena yang cocok dengan teori.
Pembedaan bentuk realisme diajukan oleh Ian Hacking, ada realisme entitas dan realisme teori-teori. Tentang teori dimaksudkan sebuah upaya konstruksi dunia yang sejati sementara tentang entitas dimaksudkan sebagai penelusuran apakah entitas-entitas dalam dunia tersebut eksis atau tidak. Entitas terbuka untuk dimanipulasi lewat eksperimen, oleh karena itu entitas teoretis harusnya ada.
Sebagai penutup, Hillary Putnam menyederhanakan problem dari perdebatan empirisme dan realisme saintifik sebatas masalah korespondensi. Realisme mencari korespondensi teori kebenaran sebagai bahasa ideal, apakah dapat diverifikasi atau difalsifikasi. Empirisme juga mengandalkan korespondensi dalam bentuk dapat diperiksa secara empiris. Putnam menggunakan diksi true observation sentences dan observational vocabulary sehingga terlihat penilaiannya terhadap realisme justru bersifat empirisme logis karena membatasinya pada problem bahasa. Baginya realisme memformalisasi bahasa dengan aturan logis agar postulat empirisnya berkesesuaian dengan teori. Namun lebih jauh Putnam justru menyampaikan argumen dari sudut empirisisme yang sangat masyur yaitu 'no miracle argument' atau 'NMA'. NMA mengklaim bahwa keberhasilan prediksi teori-teori ilmiah paling baik dijelaskan oleh kebenarannya sendiri (Radu Dudau, 2022 : 15).
Jika dapat dikategorikan secara kasar, Comte, Mill, Mach, Poincaré, Hempel, dan Putnam berada pada aliran empirisme. Kesamaannya adalah kesepakatan status ontologis dunia eksternal yang sulit untuk diakses dan memahami relasi formal fenomena cenderung sebagai jalan keluar. Whewell, Boltzmann, Duhem, Campbell, Harré, Laudan, Cartwright, dan Hacking ada pada jalur realisme. Mereka sepakat akan eksistensi dunia eksternal dan bagaimana teori sebenarnya kompatibel dengan dunia objektif. Sementara Fraasen memiliki argumentasi pada jalur empiris namun secara implisit mengindikasikan adanya dunia eksternal sehingga terlihat realis.
Perdebatan Realisme dan Formalisme Dalam Praktik Hukum
Perdebatan abadi antara realisme dan empirisisme diwariskan ke praktik hukum, utamanya bagi hakim dan praktisi hukum lainnya seperti pengacara dan jaksa penuntut dalam upaya menyusun pertimbangan hukum guna membenarkan atau menyalahkan suatu perbuatan. Namun uniknya, tidak semua ahli hukum menganggap formalisme diturunkan dari positivisme seperti pandangan Brian Leiter yang menganggap bahwa positivisme sebagai teori hukum tidak ada relasi konseptual dengan formalisme sebagai teori peradilan dengan alasan bahwa tidak ada ajaran positivisme yang mengatakan bahwa hukum membatasi hakim karena pada dasarnya positivisme bukan tentang tindakan hakim melainkan teori mengenai konsep hukum dan hubungan antara norma-norma hukum dan norma lainnya. Maka kedua tesis positivisme tidak memerlukan klaim substansial tentang peradilan, dimana seorang formalis bisa saja adalah seorang positivis, tetapi juga bisa menjadi seorang naturalis. Demikian halnya dengan seorang positivis sangat mungkin berpandangan bahwa realisme lebih tepat menjelaskan peradilan (Muji Kartika Rahayu, 2018 : 113). Positivisme hukum selanjutnya memunculkan analytical legal positivism, analytical jurisprudence, pragmatic positivism, dan Kelsen’s pure theory of law. (Arif Sidharta, 1994:51).
Sementara ahli hukum seperti Anthony J. Sebok justru memperlihatkan turunan positivisme ke formalisme. Ia mengatakan bahwa formalisme Amerika Serikat adalah positivisme Inggris dengan beberapa alasan yaitu keduanya memiliki pandangan yang sama mengenai hakim dan penghakiman, hal itu dapat dilihat bahwa positivisme memandang hukum sebagai sistem yang lengkap dan tertutup. Hukum dianggap terpisah dari moral dan hukum adalah sistem norma yang otoritatif, dimana hakim dan ahli hukum hanya dianggap sebagai corong semata dari undang-undang (Muji Kartika Rahayu, 2018:112).
Jika kita merunut lebih jauh ke belakang, akar terjauh perdebatan tentang formalisme dengan realisme dalam praktik hukum dapat dilihat pada bagaimana Plato dan Aristoteles mendefinisikan hakim. Bagi Plato, figur hakim yang terhormat adalah orang yang bijaksana, tumbuh dalam lingkungan yang adil sehingga tidak memiliki pengalaman dan pengaruh untuk melakukan perbuatan yang tidak adil. Ketika muda, hakim itu bersifat naif sehingga mudah ditipu oleh orang yang tidak adil, karena hakim tidak memiliki figur dalam dirinya tentang perilaku buruk. Dia sudah terbiasa memutuskan hal-hal yang adil melalui cara yang adil dan di dalam lingkungan yang adil pula. Maka hakim janganlah dari orang muda, dia haruslah dari orang yang sudah berpengalaman - sudah terbiasa melihat ketidakadlian sehingga memahaminya dengan baik dan merasakan ketidaknyamanannya. Hakim haruslah terlatih bertahun-tahun untuk memahami ketidakadilan melalui pengetahuan teoritis. Sementara Aristoteles menganggap hakim adalah personifikasi dari keadilan sendiri yang bertugas memberi keadilan dan kebenaran bagi pihak yang bersengketa. Hakim haruslah memutus berdasarkan fakta dan boleh memutus diluar undang-undang, serta tidak boleh dipengaruhi oleh emosi dalam memutuskan perkara. Dengan demikian, dapatlah kita lihat dengan jelas akar perdebatan formalisme dan realisme dalam praktik hukum. Corak pemikiran Plato adalah akar dari formalisme hukum yang mengandaikan hakim sebagai person yang berpikir naif dan memahami keadilan terbatas pada pengetahuan teoritis, sedangkan corak pemikiran Aristoteles adalah akar dari realisme hukum yang mengandaikan hakim sebagai perwujudan dari keadilan itu sendiri. Hakim bahkan boleh melanggar undang-undang untuk memutus perkara berdasarkan fakta. (Muji Kartika Rahayu, 2018:42-43).
Perdebatan formalisme dan realisme dalam praktik hukum menjadi sangat sengit pada abad 20, utamanya di Amerika. Formalisme hukum dipahami sebagai sistem tertutup dan logis, maka hakim tidak diperkenankan memutus perkara di luar undang-undang dan hanya diperkanankan menerapkan hukum yang ada. Peradilan berfungsi sangat terbatas pada upaya menemukan hukum yang benar bukan mengubah keadaan melalui hukum. Berbeda dengan kamu realis, utamanya didukung oleh orang-orang muda dengan pemikiran lebih progresif, mendeklarasikan diri sebagai pembaharu hukum bahkan dengan slogan yang lebih revolusioner lagi bahwa hukum haruslah melayani tujuan sosial, maka hakim boleh keluar dari koridor undang-undang untuk memutus perkara demi mencapai keadilan sesuai fakta sosial.