Mohon tunggu...
Nicolas Dammen
Nicolas Dammen Mohon Tunggu... Pengacara - Mahasiswa Magister Filsafat STF Driyarkara, Advokat, Certified Legal Auditor, Certified Mediator, Dewan Pengurus Pusat Asosiasi Advokat Indonesia

sedang memelihara minat menulis

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Kebebasan dalam Persfektif Pemikiran Utilitarian Jeremy Bentham

3 Februari 2024   06:00 Diperbarui: 3 Februari 2024   06:59 107
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Membahas pemikiran Jeremy Bentham dari sudut pandang kebebasan memang terkesan aneh, karena bagaimanapun, kajian-kajian yang menarik minat baik pendukung maupun pengkritiknya adalah aspek praktis dan aspek sosiologis dalam karya-karya Bentham. Buku Teori Perundang-undangan: Prinsip-prinsip Legislasi, Hukum Perdata Dan Hukum Pidana (Theory of Legislation and Introduction to the Principles of Morals and Legislation) bukan hanya memuat tuntunan kepada para legislator agar cermat dalam menyusun kebijakan, melainkan juga sekelumit memuat pandangan tentang kebebasan, sebab dalam pembuatan suatu aturan hukum dan sanksi tentu saja adalah bertujuan untuk membatasi kebebasan warga negara. Tulisan ini mencoba mencari pandangan Bentham yang samar-samar tersirat dalam Theory of Legislation and Introduction to the Principles of Morals and Legislation terhadap kebebasan. Membicarakan hukum dan sanksi moral sebenarnya mau tak mau menyentuh kebebasan, maka sebenarnya ketika hukum dan sanksi berusaha membatasi individu sebagai subyek hukum, itu berarti obyeknya adalah kebebasan. Bagaimana Bentham menempatkan kebebasan individu dalam pemikiran utamanya ketika merumuskan petunjuk-petunjuk praktis pembuatan peraturan dalam suatu negara.

Jeremy Bentham bukan hanya populer di kalangan ahli hukum Inggris tetapi juga masyarakat Inggris pada umumnya hingga sekarang ini. Lahir dari keluarga yang berlatar belakang profesi hukum pada tanggal 15 Februari 1748 di London, Inggris. Ayah dan kakeknya adalah jaksa, latar belakang profesi ini membentuk minat Bentham yang sangat tinggi terhadap masalah hukum sedari belia. Ia lalu menempuh pendidikan hukum di Oxford dan memperoleh kualifikasi terakhir sebagai seorang barrister atau advokat di London. Selanjutnya dalam bidang hukum pulalah ia memberikan kontribusi besar mengharumkan namanya dan dipandang sebagai pelopor etika utilitarian klasik .

Berbagai praktik ketidakadilan sosial di zamannya telah memotivasi Bentham sebagai seorang mahasiswa hukum untuk peduli pada persoalan-persoalan yang berkaitan dengan moralitas publik saat itu. Ia terinspirasi untuk menulis banyak esai-esai yang berkaitan dengan problem etika, politik, dan hukum yang memiliki relevansi praktis. Pemikiran yang luas membuat ia dipercaya menjadi pemimpin kelompok filsuf radikal (philosophical radicals) yang menjadi ujung tombak (avant garde) dari gerakan reformasi liberal di Inggris kala itu. Gerakan ini banyak menyoroti masalah-masalah seputar pendidikan, hukum tentang aktivitas seksual, praktik korupsi dalam institusi-institusi publik, penyensoran dan pemenjaraan para pelaku kejahatan (narapidana) di Inggris. Aliran empirisme mempengaruhi pemikiran Bentham yang selanjutnya merumuskan filsafatnya dalam bidang moral dan politik. Pemikiran filsafat hukum Bentham dipengaruhi oleh banyak filsuf sebelumnya, seperti gagasan penting Bentham tentang The Greates Happines Principle sangat kuat dipengaruhi oleh Protagoras, Epicurus, John Locke, David Hume, Montesquieu hingga Thomas Hobbes. Sebagai filsuf yang diidentifikasi sebagai pelopor utilitarisme Inggris, pemikiran Bentham berpengaruh para filsuf pelanjut tradisi sesudahnya seperti John Stuart Mill, Hendry Sidgwick, Michael Foucault, Peter Singer, John Austin, dan Robert Owen.

David Hume (1711-1776) adalah salah satu pemikir yang mempengaruhi pandangan Bentham. Hume menegaskan bahwa sesuatu yang berguna haruslah dapat membawa kebahagiaan bagi individu manusia. Semua keputusan hukum harus menjamin kebahagiaan manusia baik sebagai individu maupun sosial kemasyarakatan. Bentham sangat konsisten untuk memikirkan masalah-masalah hukum, bahkan dengan uang pribadinya mendirikan sebuah Westminister Review pada tahun 1824. Selama bertahun-tahun forum ini mempublikasikan ide-ide politik dan hukum Bentham bagi kalangan publik luas sehingga akhirnya pemikirannya dikenal secara luas. Bentham membangun teori filsafat hukumnya dengan mendasarkan pada individualisme dan utilitarianisme. Bertrand Russel menilai bahwa Bentham membangun dasar filsafat hukumnya di atas dua prinsip pokok yakni: prinsip asosiasi (association principle) dan prinsip kebahagiaan terbesar (greatest happiness principle). Prinsip asosiasi merujuk pada hubungan antara ide dan bahasa, hubungan antara ide dengan ide. Sedangkan prinsip kebahagiaan terbesar merujuk pada kebaikan seorang individu. Dilihat dari latar belakang ide-idenya, kita dapat memahami bahwa pemikiran Bentham terinspirasi oleh kebangkitan humanisme zaman itu yang mengagungkan nilai instrinsik martabat kemanusiaan setiap individu-personal. Nilai humanisme tampak menjadi spirit dasar yang melekat erat dalam pemikiran hukum Bentham. Sebagai pendukung teori kegunaan (utility theory), Bentham mengatakan bahwa tujuan hukum harus berguna bagi individu masyakat demi mencapai kebahagiaan sebesar-besarnya. Bentham dianggap sebagai bapak hukum Inggris karena pemikiran-pemikiran teoretisnya yang dinilai mendukung hukum yang berlaku di Inggris yakni common law. Jeremy Bentham mewariskan pemikiran hukum luar biasa yang terus dianuti banyak kalangan hukum dan politisi hingga saat ini walaupun tidak sedikit kritik yang menyerang pemikiran-pemikirannya maupun mengembangkan etika utilitarianisme setelahnya.

Kebebasan dalam pemikiran Bentham diidentifikasi dalam bentuk ontologis misalnya adanya kebebasan yang dipandang harus dibatasi atau sebaliknya diberi ruang demi kebaikan banyak orang. Sementara dari sisi epistemologis misalnya bagaimana kebebasan itu dipandang dan dinilai serta etis, misalnya kebebasan berbicara, kebebasan pers, kebebasan politik dan kebebasan pribadi dapat dibolehkan atau dilindungi. Hal ini cukup menarik karena pemaknaan Bentham terhadap kebebasan itu menjadi dasar dalam memberi tuntunan dan rumusan-rumusan hukum dengan nada utilitarian kepada pembentuk undang-undang (legislator). Bentham dengan rinci misalnya akan memberikan ukuran kesenangan dan penderitaan, hak dan kewajiban, tentang rasa aman, tentang hak milik dan pertukaran secara paksa, hak-hak yang menjadi harta dan cara perolehannya serta distribusi kerugian. Uraian Bentham mengenai perbudakan, penjaga dan tahanan, ayah dan anak serta perkawinan, hingga hukuman-hukuman yang tidak boleh diberlakukan, termasuk juga pencegahan penyalagunaan wewenang tentu saja dapat dilihat dari perspektif kebebasan.

Mengenai Utilitarianisme Dalam Pandangan Bentham

Beberapa pemikiran penting Bentham sehubungan dengan utilitarianisme juga dapat ditunjukkan, seperti: (1) Hedonisme kuantitatif yakni paham yang dianut orang-orang yang mencari kesenangan semata-mata secara kuantitatif. Kesenangan bersifat jasmaniah dan berdasarkan penginderaan. (2) Summun bonum yang bersifat materialistik berarti bahwa kesenangan-kesenangan bersifat fisik dan tidak mengakui kesenangan spritual dan menganggapnya sebagai kesenangan palsu. (3) Kalkulus hedonistik (hedonistic calculus) bahwa kesenangan dapat diukur atau dinilai dengan tujuan untuk mempermudah pilihan yang tepat antara kesenangan-kesenangan yang saling bersaing. Seseorang dapat memilih kesenangan dengan jalan menggunakan kalkulus hedonistik sebagai dasar keputusannya. Adapun kriteria kalkulus yakni: intensitas dan tingkat kekuatan kesenangan, lamanya berjalan kesenangan itu, kepastian dan ketidakpastian yang merupakan jaminan kesenangan, keakraban dan jauh dekatnya kesenangan dengan waktu,kemungkinan kesenangan akan mengakibatkan adanya kesenangan tambahan berikutnya kemurnian tentang tidak adanya unsur-unsur yang menyakitkan, dan kemungkinan berbagi kesenangan dengan orang lain. Untuk itu ada sanksi yang harus dan akan diterapkan untuk menjamin agar orang tidak melampaui batas dalam mencapai kesenangan yaitu: sanksi fisik, sanksi politik, sanksi moral atau sanksi umum, dan sanksi agama atau sanksi kerohanian.

Dengan mengikuti prinsip jelas dan rasional dalam teori Bentham, pemerintah yang akan mengambil kebijakan mempunyai pegangan jelas untuk membentuk kebijakannya dalam mengatur masyarakat. Penentuan kebijakan tinggal diarahkan pada kepentingan mayoritas masyarakat dan mengorbakan sebagaian kecil kepentingan masyarakat, misalnya dalam rangka mengatasi banjir, maka beberapa penduduk yang tinggal di sekitar sungai direlokasi ke tempat lain, padahal mereka akhirnya mengalami kesulitan untuk mengakses pekerjaannya, akan tetapi ada kepentingan yang lebih luas yang ingin dicapai yaitu membebaskan sebagian besar warga kota dari bencana banjir.

Perkembangan teori utilitarianisme memuculkan pendekatan yang lebih parktis yaitu munculnya utilitarianisme aturan. Filsuf Inggris-Amerika, Stephen Toulmin membedakan utilitarianisme sebagai utilitarianisme perbuatan dan utilitarianisme aturan.  Konsep dari Utilitarisme Tindakan adalah tidak ada peraturan umum yang dengan sendirinya dapat dibenarkan secara moral, maka setiap tindakan harus dipertimbangkan akibat baiknya atau manfaatnya bagi semakin banyak orang yang tekait dengan tindakan tersebut. Utilitarianisme tindakan cukup bermasalah untuk dipraktikkan, misalnya dalam praktik pengambilan keputusan orang tidak setiap kali membuat pertimbangan baru untuk melihat akibat dari setiap tindakannya. Sehingga menjadi sulit membayangkan bahwa orang dapat hidup tanpa peraturan sama sekali. Setiap pernyataan moral mengandung unsur bahwa pada prinsipnya dapat berlaku untuk tindakan-tindakan lain yang sejenis walaupun akibatnya mungkin tidak persis sama. Hal inilah yang menyebabkan utilitarisme tindakan dapat dengan mudah dapat disalahgunakan untuk membenarkan tindakan yang melanggar hukum dengan dalih bahwa akibatnya membawa keuntungan bagi lebih banyak orang daripada kerugian yang ditimbulkannya.

Utilitarisme yang kedua, yakni utilitarisme peraturan. Dalam varian teori ini, yang dititikberatkan bukan lagi hanya akibat baik dan buruk dari masing-masing tindakan, melainkan dari peraturan umum yang mendasari tindakan tersebut. Sehingga yang dipersoalkan sekarang adalah akibat baik dan akibat buruk dari suatu peraturan kalau diberlakukan secara umum. Maka kaidah dasarnya menjadi berbunyi: "Bertindaklah selalu sesuai dengan kaidah-kaidah atau peraturan yang penerapannya menghasilkan akibat baik yang lebih besar bagi semakin banyak orang dibandingkan akibat buruknya." Dalam Utilitarisme Tindakan, suatu perbuatan mencuri satu kaleng roti dari sebuah super-market untuk dibagikan kepada orang-orang miskin dapat dibenarkan, akan tetapi dalam utilitarisme peraturan tindakan tersebut tidak dapat lagi dibenarkan, karena kaidah itu telah menjadi peraturan yang berlaku umum. Oleh karena itu, sudah tentu bahwa akibat buruknya justru jauh lebih besar daripada akibat baiknya, sebab sikap hormat terhadap hak milik orang lain akan hilang. Dengan demikian Utilitarisme Peraturan lebih memadai dibandingkan Utilitarisme Tindakan. Sebenarnya, bukan berarti bahwa teori utilitarianisme itu ada yang buruk, tetapi prinsip agar diusahakan akibat baik yang sebanyak mungkin dan sikap mau bertanggungjawab atas semua akibat tindakan-tindakan mengungkapkan suatu yang hakiki bagi penilaian moral, asal saja diimbangi  dengan prinsip keadilan (Franz Magnis-Suseno, 1987 :127).

Menilik Konsep Kebebasan dalam Pemikiran Jeremy Bentham

Utilitarianisme tidak mungkin tanpa suatu pengandaian bahwa kebebasan itu sungguh-sungguh ada, sehingga kebebasan itu haruslah diatur, dalam arti dibatasi agar tidak semua orang menggunakan kehendak bebasnya yang mengakibatkan penderitaan bagi orang lain atau kehendak bebas itu harus dibatasi sedemikian rupa untuk kebahagiaan lebih banyak orang. Penderitaan dan kesenangan dalam persfektif Bentham adalah sebagai bentuk nyata dari "sanksi politik", jadi pembatasan kebebasan sebagai instrumen untuk mendatangkan kesenangan.  

Dalam argumentasinya tentang hak dan kewajiban, Bentham mengartikan hak sebagai keuntungan dan manfaat bagi orang yang memperolehnya, sebaliknya kewajiban adalah tugas dan keharusan yang dirasa berat bagi orang yang menunaikannya. Menurut Bentham, penciptaan kewajiban telah menyebabkan pengurangan kebebasan.

"Pengurangan kebebasan ini tidak dapat dihindari lagi. Tidak mungkin menciptakan hak, membebankan kewajiban, melindungi manusia, kehidupan, reputasi, harta benda, sumber nafkah, dan kebebasan itu sendiri, kecuali dengan mengorbankan kebebasan." (Jeremy Bentham, 2006:123-124)

Dalam hal ini, Bentham lalu melanjutkan bahwa jika kebebasannya membahayakan orang lain, sekalipun hukum menginzinkan atau mungkin memerintahkannya, seharusnya ia tidak bebas melakukannya. Terlihat jelas Bentham secara otonom mengarahkan kebebasannya itu untuk tujuan manfaat lebih besar, yaitu kebebasannya dideterminasi untuk manfaat yang tidak mendatangkan bahaya bagi orang lain. Menurut Bentham dalam hal seperti ini, persoalan yang sebenarnya adalah bagaimana mencapai kebahagiaan semaksimal mungkin.

Bentham dalam merumuskan tujuan hukum tidak memasukkan kebebasan sebagai tujuan utama hukum. Gagasan yang jelas tentang kebebasan akan membawa kita untuk menganggapnya bagian dari rasa aman. Kebebasan pribadi adalah rasa aman yang bertentangan dengan jenis kerugian tertentu yang mempengaruhi seseorang, sehingga manakalah kebebasan menjadi tujuan, maka itu berarti dipihak lain akan terjadi kerugian di pihak lain.

Kebebasan dalam persfektif Bentham dapat dilihat dalam bagaimana ia merumuskan pandangannya sebagai dasar yang sangat menentukan etika utilitarian yang dianutnya.

"Alam telah menempatkan manusia di bawah kendali kesenangan dan penderitaan. Semua pemikiran kita berasal dari kedua hal itu; seluruh penilaian dan tujuan hidup kita dirujuk dari keduanya. Orang yang berpura-pura menarik diri dari kendali ini tidak mengerti ucapannya sendiri. Satu-satunya tujuan manusia adalah mencari kesenangan dan menjauhi penderitaan, sekalipun saat manusia itu menolak kesenangan terbesar atau menanggung penderitaan yang paling berat. Perasaan yang tak pernah padam dan tak tertahankan ini seharusnya menjadi kajian yang hebat bagi para moralis dan legislator. Prinsip manfaat mengendalikan segala sesuatu dengan kedua motif tersebut."  (Jeremy Bentham, 2006:26)

Bagi kita, menjadi jelas bahwa kebebasan dalam perspektif Bentham adalah suatu eleman penting yang harus dideterminasi demi manfaat yang ingin dicapai. Manfaat dalam pandangan Bentham adalah sifat atau kecenderungan sesuatu untuk mencegah kejahatan atau memperoleh kebaikan. Kejahatan dipandang sebagai penyebab penderitaan. Kebaikan adalah kesenangan atau penyebab kesenangan.


Eksistensi kehendak bebas dalam pemikiran utilitarian Bentham dapat kita kategorikan sebagai bentuk compatibilisme yang berarti kehendak bebas dapat eksis atau sesuai dengan determinisme. Kehendak bebas sebagai kondisi yang seharusnya ada sebagai bentuk tanggung jawab moral. Kompatibilisme setidaknya memiliki gagasan sentral bahwa kebebasan dan tanggung jawab moral setiap manusia diharuskan terjadi oleh segala peristiwa di masa lalu bersama-sama dengan hukum alam. Kompatibilisme tampak masuk akal karena tampak begitu jelas bahwa setidaknya kita bebas dan bertanggung jawab secara moral, namun kita juga menyadari bahwa determinisme kausal bisa menjadi kenyataan. Artinya, untuk semua yang kita tahu baik disadari ataupun tidak, semua peristiwa (termasuk perilaku manusia) adalah hasil dari rantai sebab-sebab yang juga dipengaruhi oleh hukum alam. Namun dibalik semuanya itu, seorang pribadi dapat menyadari dirinya sendiri bahwa ia adalah agen yang bebas dan bertanggung jawab secara moral. Jadi, ketika seseorang berunding dengan dirinya sendiri, ia sering menganggap bahwa "Saya bebas dalam arti bahwa saya memiliki lebih dari satu pilihan yang benar-benar terbuka untuk saya." ("I am free in the sense that I have more than one option that is genuinely open to me.") (John Martin Fischer, 2007:44)

Corak Compatibilisme dalam pandangan Bentham dapat dilihat pada argumennya tentang perbudakan yang menurutnya. meskipun di masa itu, badan legislatif di negara-negara eropa tidak dapat memutuskan penghentian perbudakan, namun perbudakan itu sendiri akan hilang dengan sendirinya secara perlahan oleh waktu di masa depan.

"Ikatan perbudakan yang tidak dapat diputuskan seketika oleh legislator itu akan pudar sedikit demi sedikit oleh waktu. Walau lambat, gerakan kebebasan tidak kalah pasti. Seluruh kemajuan pemikiran manusia, peradaban, moral, kesejahteraan umum dan perniagaan, sedikit demi sedikit membawa pemulihan kebebasan individu.

Para pemilik tidak seharusnya kuatir dengan perubahan ini. Orang yang memiliki tanah dengan sendirinya berkuasa atas orang yang hanya hidup dengan mengandalkan tenaga. Kekuatiran bahwa orang-orang bebas dapat dengan bebas pergi kemana suka, meninggalkan tanah airnya, dan membiarkan tanah tidak digarap, merupakan kekuatiran yang tidak realistis, terutama saat gerakan pembebasan terus berlanjut secara bertahap. Karena diketahui budak akan melarikan manakala dia bisa, maka disimpulkan seandainya dia bebas, tetap saja ia akan melarikan diri. Kesimpulan yang sebaliknya akan jauh lebih adil. Motif untuk melarikan diri tidak ada lagi, sedangkan motif-motif untuk tetap tinggal menjadi kuat.

Beberapa pemilik budak di Polandia yang kepentingan mereka  sebenarnya mendapat pencerahan atau digerakkan oleh cinta akan kejayaan, selama masa kekuasaan sebagai tuan tanah melaksanakan gerakan pembebasan secara menyeluruh dan seketika. Apakah kederwananan itu menghancurkan mereka? Justru sebaliknya: petani yang berkepentingan atas tenaganya sendiri, segera melibatkan diri agar diupah lebih besar daripada seorang budak. Tanah-tanah milik yang ditanami oleh tangan-tangan orang bebas semakin bertambah nilainya setiap tahun." (Jeremy Bentham, 2006:242-243)

Kebebasan itu datang dengan sendirinya pada saatnya nanti. Di sini tampak jelas adanya hubungan kausal di masa lalu dalam masa perbudakan tersebut.  Dalam arti bahwa kebebasan merupakan tindakan untuk menarik sebuah garis yang menghubungkan masa lalu dengan masa kini. Masa depan dapat saja merupakan jalur yang bercabang, namun cabang tersebut berasal dari satu garis masa kini yang telah kita gariskan. Jika masa lalu adalah sebuah titik-titik atau serpihan-serpihan, maka kebebasan kita menjadi bermakna ketika kita menghubungkan titik tersebut dengan cara kita sendiri seperti; berefleksi sehingga menghasilkan nilai-nilai tertentu atau menelusuri nilai apa yang terkandung pada masa lalu sehingga membuat sebuah koneksi dengan masa kini dan dapat menentukan terhadap masa depan. Namun, perlu disadari bahwa argumen ini tidak meniadakan atau menyangkali peran hukum alam terhadap determinasi manusia, hanya saja deterministik kausal tidak semata-mata meniadakan kebebasan manusia sepenuhnya, artinya kebebasan manusia dapat mempengaruhi perubahan determinasi hukum alam hanya saja tidak melibatkan perubahan yang luas dan besar. Kembali pada argumen Bentham di atas, dengan menaruh tekanan pada budak yang kemudian menyadari di masa kini, maka ia mendapati dirinya dalam kebebasan.

Pemikiran Bentham yang utilitarian bagaimanapun saat itu memang ditujukan untuk pembuatan undang-undang, berisi panduan praktis dalam rangka mengatur dan membatasi kebebasan untuk kemanfaatan masyarakat banyak. Jadi dalam memberikan pertimbangan, Bentham akan memakai parameter seberapa banyak masyarakat yang mendapat akses terhadap kesenangan yang diakibatkan dari suatu pembatasan kebebasan. Parameter ini banyak dikecam sebagai semata-mata bentuk hedonis, maka utilitarianisme Bentham masih dianggap sebagai bentuk yang klasik dan mudah diselewengkan penguasa dengan dalih mengakomodir kehendak mayoritas masyarakat.

Akhirnya, kita sampai pada kesimpulan dalam persfektif pemikiran Bentham bahwa kebebasan itu senantiasa terdeterminasi untuk tujuan manfaat. Namun yang menarik adalah pada sisi lain, Bentham tampaknya di masa itu memiliki visi yang cukup progresif tentang masa depan kebebasan misalnya dalam memperkirakan berakhirnya era perbudakan dengan sendirinya. Kehendak bebas manusia menurut Bentham dideterminasi oleh aturan hukum. Tujuan aturan hukum itu adalah untuk menghadirkan kesenangan kepada banyak masyarakat dengan cara melakukan pembatasan kepada kebebasan-kebebasan yang mungkin akan mendatangkan penderitaan. Bagi Bentham, kesenangan adalah hal yang ingin selalu dicapai manusia dan penderitaan adalah hal yang selalu ingin dihindari, maka meletakan tekanan pada manfaat telah mengakibatkan determinasi pada kehendak bebas. Kehendak bebas hanya dapat diekspresikan sejauh mendatangkan manfaat yang syaratnya harus dirasakan oleh lebih banyak oleh ketimbang penderitaannya.

Daftar Pustaka

Bentham, Jeremy. 2006. Teori Perundang-undangan: Prinsip-prinsip Legislasi, Hukum Perdata Dan Hukum Pidana (Theory of Legislation and Introduction to the Principles of Morals and Legislation). Bandung: Nusamedia.

Fischer, John Martin., Robert Kane, Derk Pereboom, Manuel Vargas. 2007. Four Views on Free Will. Malden: Blackwell Publising Ltd.

Magnis-Suseno, Franz. 1987. Etika Dasar, Masalah-masalah Pokok Filsafat Moral. Yogyakarta: Kanisius.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun