Mohon tunggu...
Nicho Kosip
Nicho Kosip Mohon Tunggu... Penulis - Nulis kalo mood-nya ngumpul :)

Lulusan Ilmu Komunikasi angkatan 2018 Universitas Atma Jaya Yogyakarta.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Pergumulan Srintil, Lakon Penari Ronggeng dan Kentalnya Unsur Bahasa dalam "Sang Penari"

20 Oktober 2020   13:08 Diperbarui: 15 Desember 2020   19:42 920
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Poster film 'Sang Penari' versi netflix.com

Mengulas Film Sang Penari (2011) mungkin masih terdengar cukup asing di telinga sebagian orang. Pasalnya, film ini sudah berusia cukup lama. Hampir satu dasawarsa, film berdurasi 109 menit ini sudah bergaung di jagat dunia perfilman dan menunjukkan eksistensinya. 

Meskipun begitu, ketika saya menonton film ini di tahun 2020 masih dapat menangkap esensi yang sama dengan orang yang mungkin menonton jauh sebelum saya.

Sejak awal, hal yang paling banyak menangkap atensi saya adalah terkait penggunaan bahasa di film ini. Unsur bahasa dalam film ini dapat dilihat sangat kuat. 

Kentalnya penggunaan bahasa Jawa seolah benar mencerminkan bagaimana suasana budaya Jawa yang terjadi di masyarakat Dukuh Paruk. Bahasa yang digunakan adalah bahasa Jawa dialek ngapak, yang dapat teridentifikasi dari cara penekanan kalimat atau gaya berbicara tokoh dalam film. 

Yang menarik dari bahasa ngapak selain tata bahasanya adalah intonasi dialek terdengar lucu dan bahasa yang memberi penekanan ketika bertutur (Kumparan.com, 2017).

Film ini saya rasa cukup berani dengan memberikan warna lain pada penggunaan bahasa Jawa ngapak. Mulai dari interaksi antar tokoh, hingga marah dan mengumpat sekalipun. Semua didesain dengan sangat totalitas. Dari jutaan orang yang berbicara bahasa Jawa, ngapak adalah karakter dialek yang paling dikenal. 

Corak dialek ngapak sering dituturkan mereka yang berasal dari Karesidenan Banyumas dan Karesidenan Kedu atau sekarang berlokasi di Jawa Tengah bagian barat (Kumparan.com, 2017).

Poster asli film: imdb.com
Poster asli film: imdb.com
Seperti yang pernah saya singgung di beberapa tulisan saya sebelumnya, saya bukanlah penggemar film bergenre drama atau yang mengarah ke percintaan (romance). Namun, film "Sang Penari" mampu mematahkan benteng yang saya bangun. 

Kisah cinta Srintil (Prisia Nasution) dengan kekasih hatinya Rasus (Oka Antara) yang dibungkus dengan berbagai ujian, mampu membuat saya berpikir bahwa tidak selalu film bergenre romance dibalut dengan adegan-adegan mesra seperti pada umumnya. 

Film "Sang Penari" mampu membuka tabir baru mengenai konsep dari mencintai. Konsep percintaan yang ditonjolkan mampu mengambil sudut pandang yang cukup berbeda dari kebanyakan film romantis pada umumnya. 

Meskipun begitu, hal tersebut yang justru menjadi kekuatan dari film ini. Film ini cukup membuktikan bahwasanya genre drama atau percintaan juga dapat dibuat dengan kemasan yang berbeda dari biasanya.

cinemapoetica.com 
cinemapoetica.com 
Hal yang cukup membuat saya tergelitik dengan kisah cinta mereka adalah adanya jurang pemisah yang ada di antara keduanya. Sang Penari (2011) mampu menggerakkan pola pikir saya akan sakralnya budaya asli suatu daerah. Srintil mengetahui bahwa adanya tuntutan yang cukup besar ketika menjadi seorang "Ronggeng". 

Kesenian Ronggeng umumnya dikenal sebagai kesenian khas Jawa dengan menampilkan penari wanita yang tampil di sebuah pertunjukan tari (Medan Tribunnews.com, 2020). 

Tak hanya berhenti di syarat wanita saja, untuk mendapatkan gelar Ronggeng seorang wanita juga harus dalam keadaan perawan dan konon dipilih oleh Indang atau leluhurnya (Ki Secamenggala). 

Hal tersebut menunjukkan bahwa aliran budaya masih kuat di zaman itu. Pergumulan Srintil menjadi ronggeng terjadi akibat adanya pertentangan hati dengan apa yang menjadi idamannya (Rasus), atau mengabdi sebagai wujud bakti lestari dengan menjadi ronggeng.

Ya... koe mbok ngerti, nek arep dadi ronggeng ya mesti bukak klambu. Nek ora pengen bukak klambu ya ora usah dadi ronggeng.
-Ucap Rasus pada Srintil yang mengalami pergulatan menjadi Ronggeng (Sang Penari, 2011).

cultura.id
cultura.id
Konsekuensi dari budaya "Ronggeng" adalah timbulnya citra tertentu pada realitas masyarakat. Implikasi sosial yang tercermin dalam diri seorang Ronggeng menunjukkan nilai yang dianggap melanggar norma sosial. Seorang ronggeng akhirnya di cap sebagai perempuan yang memiliki citra kurang baik di masyarakat. 

Hal tersebut terjadi di awal kondisi masyarakat yang belum mengetahui akan sejatinya citra Ronggeng. Ronggeng adalah hal yang kompleks karena berkaitan dengan perempuan. Dahulu Ronggeng dianggap tabu dan memiliki citra negatif (Prof. Dr. Endang Caturwati, 2020).

Berkaitan dengan Ronggeng ada pula yang dinamakan "bukak klambu", ini berarti Ronggeng harus menyerahkan keperawanannya pada lelaki yang berani bayar mahal (Olyvia, 2017). 

Ritual "bukak klambu" menggambarkan bagaimana seorang Ronggeng akhirnya bermesraan dengan laki-laki yang berhasil memenangkan harga tertinggi di malam itu. 

Menjadi kebanggaan juga bagi sang istri dari lelaki yang berhasil menggendak Ronggeng. Sebenarnya, tak hanya nilai itu yang ingin digambarkan, melainkan adanya suatu harapan bahwa laki-laki tersebut akhirnya mampu menghamili istrinya.

cinemapoetica.com
cinemapoetica.com
Apabila kita menelaah lebih jauh dan berkaca pada produksi film ini, Ifa Isfansyah (Sutradara) film ini sebenarnya ingin menggambarkan film ini dengan paradigma fungsionalisme.

Paradigma fungsionalisme menjunjung tinggi adanya sebuah status quo. Dimana film ini mengangkat sebuah keteraturan baik budaya, bahasa, dan keseluruhan aspek di Dukuh Paruk yang sangat dijunjung tinggi. 

Paradigma ini menggambarkan adanya keteraturan dalam masyarakat sebagai suatu sistem yang terdiri atas bagian yang utuh dan saling berkaitan. Dalam film "Sang Penari" dapat dilihat bagaimana konsep masyarakat dengan adat, bahasa, budaya, dan masih banyak unsur lainnya saling berkaitan dan sangat kompleks. 

Keteraturan dalam paradigma fungsionalisme cukup dapat dilihat dengan mata telanjang. Salah satunya adalah ritual atau sembahyang di depan makam Ki Secamenggala, ritual sebelum melakukan pentas ronggeng, prosesi penobatan seorang ronggeng, dan sebagainya. Selain itu, keterpaduan antara mata pencaharian masyarakat dengan kelas sosial yang ada, semua digambarkan sangat beriringan. 

Ada pula penggambaran tetua yang sangat dihormati di sana (Kartareja - dukun Ronggeng). Hal semacam inilah yang menunjukkan paradigma fungsionalisme dibangun.

Produksi Film Sang Penari (2011)

inikabarku.com
inikabarku.com
Film ini mampu menyajikan jalan cerita yang cukup membuat kita seolah terbawa pada era yang ditampilkan dalam film. Mengangkat suasana tahun 1960-an, film ini saya rasa cukup sukses membuat saya mendapatkan gambaran presisi di tahun tersebut. Pemilihan latar tempat, suasana, dan tokoh dalam film saya rasa juga cukup tepat sehingga karakter yang ditampilkan pasca produksi benar-benar dapat saya nikmati tanpa rasa kejanggalan.

Berbeda dengan adaptasi, film ini menekankan pada istilah 'terinspirasi'. Oleh sebab itu, jalan cerita dari film ini cukup berbeda dari novel trilogi karya Ahmad Tohari. 

Meskipun begitu, melihat satu kesatuan film ini saya rasa perlu diacungi jempol. Menurut saya tidak mudah untuk memproduksi film yang cukup kompleks dengan berbagai unsur di dalamnya (Bahasa, Budaya, jalan cerita, potret zaman, dan sebagainya). 

Oleh sebab itu, tak heran film ini mampu menyabet berbagai penghargaan dengan meraih sepuluh nominasi Festival Film Indonesia 2011 dan berhasil memenangkan empat Piala Citra untuk penghargaan utama (ensiklopedia.kemdikbud.go.id). Penghargaan tersebut diantaranya kategori film terbaik, sutradara terbaik, Pemeran Utama Wanita Terbaik, dan Pemeran Pendukung Wanita Terbaik (Kartikasari, 2011).


Daftar Pustaka:

Caturwati, E. (2020). Ronggeng: Mitos dan Realita. Diakses pada 20 Oktober 05.00 WIB.

Ensiklopedia Kemdikbud. (n.d). Ronggeng Dukuh Paruk (1982). Diakses pada 20 Oktober 2020 07.40 WIB

Kartikasari, A. (2011). FFI 2011: Sang Penari Raih Penghargaan Film Terbaik. Diakses pada 20 Oktober 2020 07.50 WIB.

KumparanNEWS. (2017). Asal-Usul Bahasa Ngapak Banyumasan yang Ceriakan Dunia. Diakses pada 20 Oktober 05.00 WIB.

Olyvia, F. (2017). Bukak Klambu, Inspirasi Lelang Perawan di Nikahsirri.com. Diakses pada 20 Oktober 06.35 WIB

Sari, K. (2020). Seni Pertunjukan Tradisional Ronggeng Melayu di Persimpangan Zaman. Diakses pada 19 Oktober 2020 pukul 17.00 WIB.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun