Sang Penari (2011) mungkin masih terdengar cukup asing di telinga sebagian orang. Pasalnya, film ini sudah berusia cukup lama. Hampir satu dasawarsa, film berdurasi 109 menit ini sudah bergaung di jagat dunia perfilman dan menunjukkan eksistensinya.Â
Mengulas FilmMeskipun begitu, ketika saya menonton film ini di tahun 2020 masih dapat menangkap esensi yang sama dengan orang yang mungkin menonton jauh sebelum saya.
Sejak awal, hal yang paling banyak menangkap atensi saya adalah terkait penggunaan bahasa di film ini. Unsur bahasa dalam film ini dapat dilihat sangat kuat.Â
Kentalnya penggunaan bahasa Jawa seolah benar mencerminkan bagaimana suasana budaya Jawa yang terjadi di masyarakat Dukuh Paruk. Bahasa yang digunakan adalah bahasa Jawa dialek ngapak, yang dapat teridentifikasi dari cara penekanan kalimat atau gaya berbicara tokoh dalam film.Â
Yang menarik dari bahasa ngapak selain tata bahasanya adalah intonasi dialek terdengar lucu dan bahasa yang memberi penekanan ketika bertutur (Kumparan.com, 2017).
Film ini saya rasa cukup berani dengan memberikan warna lain pada penggunaan bahasa Jawa ngapak. Mulai dari interaksi antar tokoh, hingga marah dan mengumpat sekalipun. Semua didesain dengan sangat totalitas. Dari jutaan orang yang berbicara bahasa Jawa, ngapak adalah karakter dialek yang paling dikenal.Â
Corak dialek ngapak sering dituturkan mereka yang berasal dari Karesidenan Banyumas dan Karesidenan Kedu atau sekarang berlokasi di Jawa Tengah bagian barat (Kumparan.com, 2017).
Seperti yang pernah saya singgung di beberapa tulisan saya sebelumnya, saya bukanlah penggemar film bergenre drama atau yang mengarah ke percintaan (romance). Namun, film "Sang Penari" mampu mematahkan benteng yang saya bangun.Â
Kisah cinta Srintil (Prisia Nasution) dengan kekasih hatinya Rasus (Oka Antara) yang dibungkus dengan berbagai ujian, mampu membuat saya berpikir bahwa tidak selalu film bergenre romance dibalut dengan adegan-adegan mesra seperti pada umumnya.Â
Film "Sang Penari" mampu membuka tabir baru mengenai konsep dari mencintai. Konsep percintaan yang ditonjolkan mampu mengambil sudut pandang yang cukup berbeda dari kebanyakan film romantis pada umumnya.Â
Meskipun begitu, hal tersebut yang justru menjadi kekuatan dari film ini. Film ini cukup membuktikan bahwasanya genre drama atau percintaan juga dapat dibuat dengan kemasan yang berbeda dari biasanya.