Mohon tunggu...
Nicholas Arga Satria Pasaribu
Nicholas Arga Satria Pasaribu Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - SMA Kanisius

Ad Maiorem Dei Gloriam.

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Ekskursi: Menelusuri Jembatan Toleransi

18 November 2024   21:17 Diperbarui: 18 November 2024   21:20 95
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Tidak ada orang yang terlahir membenci orang lain karena warna kulit, latar belakang, atau agamanya. Orang harus belajar membenci, dan jika mereka bisa belajar membenci, mereka juga bisa diajarkan untuk mencintai."* 

--- Nelson Mandela

Pengalaman hidup sering kali mengajarkan kita sesuatu yang tak bisa didapatkan di bangku sekolah. Begitu pula yang saya alami selama beberapa hari tinggal di Pondok Pesantren Al-Marjan. Pengalaman ini bukan hanya memperluas wawasan, tetapi juga memberi perspektif baru tentang hidup, keberagaman, dan arti kebersamaan yang sesungguhnya.

Kehangatan dalam Kesederhanaan

Saat pertama kali tiba, kesederhanaan pesantren langsung terasa. Fasilitas yang terbatas, asrama yang sederhana, dan makanan yang jauh dari mewah adalah bagian dari keseharian mereka. Namun, di balik keterbatasan ini tersimpan kehangatan dan kebersamaan. Para santri berbagi makanan dalam satu piring, bukan karena tidak ada pilihan, tetapi karena itulah bentuk penghargaan terhadap kebersamaan.

Saya menyadari bahwa kebahagiaan sejati mereka bukan datang dari materi, tetapi dari rasa syukur dan cinta yang tercipta melalui interaksi sederhana. Ini menjadi pelajaran penting bagi saya tentang arti kebersamaan dan rasa saling memiliki yang tulus. Mereka memaknai persaudaraan yang kental, tidak ada yang mulai makan lebih dahulu sebelum semuanya hadir dan siap untuk makan. 

Mengajar di Pesantren

Saya diberi kesempatan untuk mengajar santri yang masih SMP, dan pengalaman ini menjadi salah satu momen paling berkesan. Di awal, ada perasaan cemas --- takut mereka tidak menerima saya, seorang pendatang dengan latar belakang berbeda. Namun, antusiasme para santri menghapus semua kekhawatiran saya. Mereka menyambut dengan ramah dan penuh semangat, menunjukkan rasa ingin tahu yang tinggi. Selalunya saya lah yang diajar bukan sebaliknya, saya pun tersadar bahwa ternyata menjadi guru tidaklah mudah.

Kami berbincang tentang cita-cita dan impian mereka. Beberapa santri ingin menjadi ulama, ada yang ingin menjadi tentara, bahkan ada yang bermimpi menjadi guru. Meskipun hidup sederhana, mereka memiliki tekad yang luar biasa untuk mencapai impian mereka. Dari sini saya belajar bahwa mimpi tidak terbatas pada kondisi ekonomi, melainkan pada kemauan dan usaha yang keras. 

Keberagaman yang Memperkaya

Hidup di pesantren membuka mata saya pada keberagaman yang begitu nyata. Para santri datang dari berbagai daerah di Indonesia, membawa kebiasaan, logat, dan tradisi masing-masing. Meski berbeda, mereka dapat hidup bersama dengan harmonis. Sebelum memulai kegiatan apapun itu, mereka selalu mengucap bismillah dan berdoa terlebih dahulu. Hal tersebut membuat saya terkesan tentang bagaimana keimanan yang kuat juga selaras dengan perbuatan atau akhlak yang mulia juga. Inilah yang membuat saya merasa bahwa pesantren adalah miniatur Indonesia yang sesungguhnya.

Pepatah "Tak kenal maka tak sayang" terasa begitu nyata di sini. Saat saya mulai mengenal mereka lebih dalam, saya menyadari bahwa perbedaan tidak seharusnya menjadi hal yang menakutkan. Justru, perbedaan adalah sumber kekayaan yang memperkaya kehidupan kita. Para santri mengajarkan saya bahwa keberagaman adalah anugerah, bukan penghalang.

Kedisiplinan dan Kemandirian sebagai Pelajaran Hidup

Mengamati keseharian para santri memberi saya pelajaran penting tentang kedisiplinan dan kemandirian. Setiap pagi mereka bangun sebelum subuh, melaksanakan salat berjamaah, dan langsung melanjutkan kegiatan belajar. Jadwal mereka sangat padat, namun semuanya dijalani dengan kesadaran penuh.

Tidak ada yang mengingatkan mereka untuk merapikan tempat tidur atau mencuci pakaian. Mereka terbiasa hidup mandiri sejak dini, sebuah keterampilan yang mungkin jarang ditemukan di kalangan anak muda di kota. Saya belajar bahwa kemandirian adalah bekal penting dalam menghadapi tantangan hidup di masa depan.

Makna Toleransi yang Sesungguhnya

Tinggal di pesantren ini membuat saya merasakan bagaimana toleransi diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari. Meskipun berasal dari latar belakang yang berbeda, para santri dan tamu pesantren bisa hidup berdampingan dengan harmonis. Kami sering berbagi cerita tentang tradisi dan kebiasaan dari daerah masing-masing, tanpa prasangka atau rasa canggung. Banyak hal yang saya pelajari dari mereka dan bagi mereka pun juga merasa sebaliknya, yaitu belajar mengenal seseorang yang asing tanpa rasa menghakimi tapi terbuka dan ramah.

Pengalaman ini mengingatkan saya pada kutipan Nelson Mandela bahwa cinta lebih mudah dipelajari daripada kebencian. Para santri menunjukkan sikap saling menghargai, meski berbeda keyakinan. Hal ini menjadi contoh konkret bahwa toleransi bukan hanya tentang menghormati perbedaan, tetapi juga tentang membangun jembatan untuk saling mengenal dan menghargai.

Refleksi tentang Kesederhanaan dan Kehidupan

Selama tinggal di pesantren, saya sering merenung. Sebagai seseorang yang terbiasa dengan kenyamanan hidup di kota, awalnya saya merasa sulit beradaptasi. Namun, semakin lama saya tinggal, semakin saya menyadari betapa berharganya kesederhanaan yang dijalani oleh para santri. Mereka hidup dengan penuh rasa syukur dan kebersamaan, sesuatu yang sering terlupakan dalam kehidupan modern.

Saya mulai memahami bahwa kebahagiaan sejati tidak terletak pada harta benda, tetapi pada kemampuan kita untuk menghargai hal-hal kecil di sekitar kita. Para santri mengajarkan bahwa hidup sederhana tidak berarti miskin, melainkan kaya akan pengalaman dan nilai-nilai yang tak ternilai.

Masa Depan dengan Toleransi

Pesantren Al-Marjan memberikan gambaran kecil tentang Indonesia yang kita impikan, di mana perbedaan diterima sebagai kekayaan, bukan sebagai ancaman. Jika generasi muda seperti para santri ini mampu menumbuhkan sikap toleransi sejak dini, maka masa depan Indonesia akan lebih harmonis dan penuh kedamaian.

Pengalaman ini juga mengingatkan saya bahwa toleransi harus dibangun melalui dialog dan pertemuan. Tanpa perjumpaan dan interaksi, sulit bagi kita untuk memahami perbedaan dan menghargainya. Hanya dengan membuka hati dan pikiran, kita bisa membangun jembatan yang menghubungkan berbagai perbedaan.

Di pesantren ini, saya belajar bahwa kenyataan hidup bersama dalam keberagaman adalah anugerah yang harus disyukuri. Ini bukan hanya tentang memahami perbedaan, tetapi juga tentang merayakan keindahan yang ada dalam setiap perbedaan tersebut. Dan melalui pengalaman ini, saya semakin yakin bahwa harmoni sejati akan terwujud ketika kita semua mampu menerima dan merayakan perbedaan dengan hati terbuka dan penuh cinta.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun