Hidup di pesantren membuka mata saya pada keberagaman yang begitu nyata. Para santri datang dari berbagai daerah di Indonesia, membawa kebiasaan, logat, dan tradisi masing-masing. Meski berbeda, mereka dapat hidup bersama dengan harmonis. Sebelum memulai kegiatan apapun itu, mereka selalu mengucap bismillah dan berdoa terlebih dahulu. Hal tersebut membuat saya terkesan tentang bagaimana keimanan yang kuat juga selaras dengan perbuatan atau akhlak yang mulia juga. Inilah yang membuat saya merasa bahwa pesantren adalah miniatur Indonesia yang sesungguhnya.
Pepatah "Tak kenal maka tak sayang" terasa begitu nyata di sini. Saat saya mulai mengenal mereka lebih dalam, saya menyadari bahwa perbedaan tidak seharusnya menjadi hal yang menakutkan. Justru, perbedaan adalah sumber kekayaan yang memperkaya kehidupan kita. Para santri mengajarkan saya bahwa keberagaman adalah anugerah, bukan penghalang.
Kedisiplinan dan Kemandirian sebagai Pelajaran Hidup
Mengamati keseharian para santri memberi saya pelajaran penting tentang kedisiplinan dan kemandirian. Setiap pagi mereka bangun sebelum subuh, melaksanakan salat berjamaah, dan langsung melanjutkan kegiatan belajar. Jadwal mereka sangat padat, namun semuanya dijalani dengan kesadaran penuh.
Tidak ada yang mengingatkan mereka untuk merapikan tempat tidur atau mencuci pakaian. Mereka terbiasa hidup mandiri sejak dini, sebuah keterampilan yang mungkin jarang ditemukan di kalangan anak muda di kota. Saya belajar bahwa kemandirian adalah bekal penting dalam menghadapi tantangan hidup di masa depan.
Makna Toleransi yang Sesungguhnya
Tinggal di pesantren ini membuat saya merasakan bagaimana toleransi diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari. Meskipun berasal dari latar belakang yang berbeda, para santri dan tamu pesantren bisa hidup berdampingan dengan harmonis. Kami sering berbagi cerita tentang tradisi dan kebiasaan dari daerah masing-masing, tanpa prasangka atau rasa canggung. Banyak hal yang saya pelajari dari mereka dan bagi mereka pun juga merasa sebaliknya, yaitu belajar mengenal seseorang yang asing tanpa rasa menghakimi tapi terbuka dan ramah.
Pengalaman ini mengingatkan saya pada kutipan Nelson Mandela bahwa cinta lebih mudah dipelajari daripada kebencian. Para santri menunjukkan sikap saling menghargai, meski berbeda keyakinan. Hal ini menjadi contoh konkret bahwa toleransi bukan hanya tentang menghormati perbedaan, tetapi juga tentang membangun jembatan untuk saling mengenal dan menghargai.
Refleksi tentang Kesederhanaan dan Kehidupan
Selama tinggal di pesantren, saya sering merenung. Sebagai seseorang yang terbiasa dengan kenyamanan hidup di kota, awalnya saya merasa sulit beradaptasi. Namun, semakin lama saya tinggal, semakin saya menyadari betapa berharganya kesederhanaan yang dijalani oleh para santri. Mereka hidup dengan penuh rasa syukur dan kebersamaan, sesuatu yang sering terlupakan dalam kehidupan modern.
Saya mulai memahami bahwa kebahagiaan sejati tidak terletak pada harta benda, tetapi pada kemampuan kita untuk menghargai hal-hal kecil di sekitar kita. Para santri mengajarkan bahwa hidup sederhana tidak berarti miskin, melainkan kaya akan pengalaman dan nilai-nilai yang tak ternilai.