Mohon tunggu...
Nicholas Andhika Lucas
Nicholas Andhika Lucas Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - Pelajar

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Problematika Pangan di Indonesia

12 Januari 2023   21:32 Diperbarui: 12 Januari 2023   21:40 262
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

PENDAHULUAN
Sebagai makhluk hidup, kita semua tentunya memerlukan makanan untuk bertahan hidup. Makanan atau pangan adalah sumber kehidupan manusia

Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang terletak di garis khatulistiwa dan berada di iklim tropis. Letak Indonesia secara astronomis dan geografis memunculkan keanekaragaman hayati, baik secara flora dan fauna. Kondisi tersebut pula memunculkan keanekaragaman bahan pangan yang dibudidayakan di Indonesia, mulai dari segi pertanian (padi, jagung, gandum); segi perkebunan (teh, kopi, buah); dan segi perikanan.

Setiap negara suatu saat akan menghadapi masalah berkaitan dengan pangan, tidak terkecuali Indonesia. Sebagai negara yang berkembang, Indonesia saat ini menghadapi beberapa masalah pangan, yaitu: terlalu bergantungnya Indonesia pada impor pangan, kebutuhan pangan yang semakin meningkat, dan faktor kerusakan alam akibat kebutuhan pangan tersebut.

Berdasarkan Teori Malthus, kebutuhan pangan akan mencapai suatu siklus yang berulang-ulang. Siklus yang dimaksud diawali dengan penduduk yang memanfaatkan lahan untuk kebutuhan permukiman dan pangan. Namun, makin lama, untuk memenuhi kebutuhan lahan tersebut maka akan terjadi deforestasi. Deforestasi akan berdampak bagi iklim yang mengakibatkan cuaca menjadi lebih ekstrem dan panas akibat pemanasan global. Akibat fenomena ini, kebutuhan pangan akan semakin bertambah, baik itu akibat faktor kekeringan yang mengganggu produksi pangan ataupun faktor insting manusia untuk mengonsumsi makanan demi bertahan hidup di cuaca ekstrem. Akibatnya, untuk memenuhi kebutuhan pangan yang bertambah, akan dilakukan deforestasi. Hipotesis dari penulis adalah masalah ini terjadi di Indonesia dan akan terus berulang.

Indonesia masih bergantung pada impor bahan pokok  untuk memenuhi kebutuhan rakyatnya. Sebagai contoh, Indonesia masih membutuhkan impor gandum dan padi untuk memenuhi suplai dalam negeri. Problematika ini memiliki korelasi dengan problematika selanjutnya, yaitu kebutuhan pangan yang semakin meningkat mengakibatkan dilakukannya kegiatan impor. Walaupun padi cocok diproduksi di Indonesia, dapat diinterpretasikan hasil yang diproduksi belum mampu mencukupi seluruh kebutuhan rakyat Indonesia. Alhasil, ketergantungan impor Indonesia semakin hari bertambah besar. Menurut Dwi Andreas Santosa, impor komoditas pangan di Indonesia melonjak drastis dari tahun 2014 hingga tahun 2018, dari 22 juta ton menjadi hampir 28 juta ton dalam tempo relatif singkat. Tidak dijelaskan sumber apakah alasan dari impor ini adalah memenuhi kebutuhan pangan yang segera atau untuk meningkatkan stok yang sudah banyak sebagai persiapan. Hipotesis dari penulis adalah Indonesia akan terus melakukan impor, walaupun kebutuhan rakyat sudah terpenuhi, hingga dilakukan perubahan kebijakan.

PEMBAHASAN

Sebelum menggali solusi dari problematika yang disampaikan, terlebih dahulu kita melihat kondisi pangan di Indonesia dan potensi yang dimilikinya. Problematika pangan di Indonesia memiliki keterkaitan dengan lintas bidang biologi, fisika, geografi, dan ekonomi.

Dari segi keanekaragaman pangan, Indonesia memiliki sebaran pangan yang sangat luas dan dapat dimanfaatkan di berbagai bidang. Tentunya, keanekaragaman setiap negara berbeda. Di mana makanan pokok negara Asia Timur dominan nasi, hal tersebut tidak terjadi di negara Amerika dan Eropa. Menurut Sekjen Kementerian Pertanian, Indonesia merupakan negara terkaya kedua di Indonesia dalam keanekaragaman pangan, dengan 77 jenis pangan sumber karbohidrat, 75 jenis pangan sumber protein, 26 jenis kacang-kacangan, 228 jenis sayuran, serta 389 jenis buah-buahan. Keanekaragaman ini tersebar di wilayah-wilayah Indonesia dengan kedaulatan pangan yang dominan di Indonesia yaitu padi, jagung, kedelai, lalu gandum.

Dari segi teknologi pangan, Indonesia masih membutuhkan bantuan inovator teknologi perkembangan dari luar negeri. Dibandingkan dengan negara lain yang maju seperti Belanda yang dapat menghasilkan produk unggul, teknologi Indonesia masih tertinggal. Contoh inovasi bidang pangan yang ditemukan di Indonesia adalah terasering atau sengkedan , suatu metode konservasi yang membuat teras-teras pada permukaan yang miring untuk dimanfaatkan pertanian.

Indonesia memiliki persebaran yang luas untuk jenis tanaman padi yang hampir dihasilkan di semua wilayah Nusantara (Jawa, Madura, Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku, dan Papua). Sedangkan, tanaman jagung paling banyak dihasilkan di Pulau Jawa. Ubi kayu tersebar di wilayah Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Lampung, dan Nusa Tenggara Timur dengan luas kurang lebih 1,9 juta ha. Untuk kacang tanah, daerah penghasil utamanya adalah Pulau Jawa dan Sulawesi. Persebaran pangan ini meluas di setiap wilayah Indonesia dan saling melengkapi satu sama lain untuk memenuhi kebutuhan pangan Indonesia.

Harga pangan di Indonesia relatif stabil karena adanya pasokan yang memenuhi kebutuhan. Harga tersebut didasarkan pada hukum permintaan, di mana apabila permintaan naik, harga akan naik, dan apabila pemintaan turun, harga akan turun. Dalam pelaksanaannya, akan ditemuka suatu harga di tengah-tengah yang disebut sebagai harga pasar, di mana permintaan dan harga sudah stabil. Namun, harga pangan di Indonesia dapat melonjak cukup drastic apabila terjadi suatu fenomena. Misalnya, harga BBM yang naik mengakibatkan harga sembako naik. Selain itu, ketika muncul wabah COVID-19 di Indonesia, harga pangan sembako naik, namun sekarang sudah stabil.

Masalah besar yang sempat dihadapi Indonesia adalah penebangan hutan yang menipiskan produksi oksigen di Indonesia, yang dikenal sebagai paru-paru dunia kedua karena menghasilkan oksigen yang banyak. Penebangan ini dilakukan untuk membuka lahan bagi permukiman dan umumnya untuk kebutuhan pangan. Oleh karena itu, dibutuhkan suatu kebijakan yang dapat membatasi penggundulan hutan dengan ketat. Hutan seharusnya boleh ditebang apabila sudah mendapat izin dari pemerintah dengan alasan yang logis. Selain itu, apabila penebangan hutan hanya demi keuntungan perusahaan pribadi semata, maka sebaiknya hal tersebut dilarang.

Dalam kasus apabila terjadi perubahan iklim yang mengakibatkan kebutuhan pangan meningkat, pemerintah harus menyediakan suplai pangan yang cukup untuk melalui periode kebutuhan yang meningkat tersebut, untuk meminimalisir kebutuhan membentuk lahan baru dengan deforestasi. Selain itu, untuk menjaga kondisi lahan yang dibuka untuk kebutuhan pangan, sebaiknya petani tidak menggunakan sistem monokultur, sistem menanam satu jenis tanaman saja pada lahan dalam periode waktu yang lama Hal ini berdampak buruk bagi kualitas tanah. Hal yang lebih bijak dilakukan adalah menanam berbagai jenis tanaman yang berbeda agar kesuburan tanah terjaga, sehingga mengurangi kebutuhan untuk membuka lahan baru.

Ketergantungan Indonesia terhadap impor merupakan hal yang nyata dan terjadi. BPS mencatat salah satu impor bahan pangan terbesar periode Januari-November 2018 adalah biji gandum mencapai 9,2 juta ton, lalu komoditas gula seberat 4,6 juta ton, impor garam 2,5 juta ton, kedelai 2,4 juta ton serta beras 2,2 juta ton. Fenomena tersebut akan meningkat dalam situasi tertentu. Contohnya, impor gandum yang dicatat pada tahun 2019 oleh BPS bertambah 10% ketika memasuki masa Ramadhan, karena kebutuhan tersebut meningkat. Untuk menanggulangi masalah impor Indonesia yang terlihat tidak akan pernah selesai, dibutuhkan suatu perubahan gaya hidup dan kebijakan yang berlaku.

Perubahan gaya hidup yang dimaksud adalah mengubah konsumsi bahan pangan impor yang besar seperti nasi dan gandum menjadi bahan pangan alternative lainnya, seperti jagung, kentang, dan singkong. Namun, hal tersebut lebih mudah disebutkan daripada dilakukan. Secara realistik, hanya sedikit masyarakat Indonesia yang akan berkomitmen melakukan perubahan tersebut karena mereka sudah nyaman dengan kebiasaan yang sekarang. Jika perubahan gaya hidup ini dapat dilakukan, maka impor beras dan gandum yang besar tersebut tentunya akan menurun, sehingga produksi dalam negeri dapat mencukupi kebutuhan dalam negeri. Untuk itu, pemerintah juga harus mendukung perubahan tersebut dengan menyediakan komoditas bahan pangan alternatif, seperti pemanfaatan hutan sagu yang fleksibel.

Selain itu, cara yang lain adalah memfokuskan produksi dalam negeri agar dapat mencukupi kebutuhan dalam negeri. Menurut Eko Taufik Wibowo, produksi pangan masih berfokus di pulau Jawa. Sekaligus dengan hal tersebut, biaya produksi akan lebih mahal. Tindakan pemerintah yang dapat membantu produksi dalam negeri adalah menyebarkan wilayah produksi pangan di luar pulau Jawa, agar sekaligus menghemat uang. Pemerintah harus juga siap mendukung kegiatan pangan, baik itu dengan infrastruktur pertanian yang memadai dan teknologi yang mampu meningkatkan kualitas produksi.

KESIMPULAN

Kita sebagai manusia akan selalu membutuhkan makanan untuk bertahan hidup, sehingga kegiatan produksi dan transaksi demi pangan akan terus dilakukan. Sebagai keseluruhan, masalah yang dibahas sebelumnya terdiri dari masalah pangan, yaitu: terlalu bergantungnya Indonesia pada impor pangan, kebutuhan pangan yang semakin meningkat, dan faktor kerusakan alam akibat kebutuhan pangan tersebut.

Indonesia memiliki keuntungan dilihat dari keanekaragaman flora dan fauna yang dimilikinya, tidak terkecuali keanekaragaman pangan yang ada. Keanekaragaman tersebut seharusnya dimanfaatkan sebaik mungkin untuk menunjang kebutuhan pangan di dalam negeri.

Pemerintah Indonesia memiliki kebebasan untuk menetapkan kebijakan dan melakukan perubahan. Sebaiknya, pemerintah memfokuskan kinerja untuk menanggulangi masalah pangan yang dihadapi Indonesia dengan solusi-solusi yang tepat dan dapat memberi dampak positif bagi Indonesia.

Tidak hanya pemerintah Indonesia saja, tetapi kita pula harus rela berinisiatif dan melakukan hal yang tepat sebagai solusi atas masalah pangan tersebut. Apabila semakin lama impor beras meningkat, maka kita harus berinisiatif melakukan perubahan, misalnya dengan mensubstitusikan peran beras sebagai makanan pokok dengan alternatif seperti jagung dan singkong.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun