Kronologi
Kerusuhan Mei 1998 yang terjadi pada 13-15 Mei 1998 silam merupakan rentetan peristiwa-peristiwa pada sejarah yang diawali dari ketidakpuasan massal terhadap pemerintahan Orde Baru yang dipimpin oleh Presiden Soeharto. Kerusuhan ini dilatarbelakangi oleh banyak hal, dengan tragedi penembakkan mahasiswa Universitas Trisakti sebagai pemantik utama kekacauan yang melanda Indonesia dan daerah sekitarnya.
Kediktatoran yang opresif selama masa pemerintahan Orde Baru menjadi sumber utama terjadinya pelanggaran HAM yang berat. Adanya pembungkaman pendapat massa, pengendalian yang bersifat otoriter, penculikan tokoh-tokoh masyarakat, dan penembakan misterius merupakan sebagian dari penyebab frustasi massa kepada pemerintahan. Dari segi politik, rakyat tidak diperbolehkan untuk menggugat kebijakan pemerintahan.
Pemilihan umum yang seharusnya bersifat demokrasi dan terbuka, justru hanya terbuka untuk 3 partai saja, yang selama Orde Baru selalu dimenangkan oleh Partai Golkar yang dinaungi Presiden Soeharto. Tak hanya itu, tercatat berjumlah kasus KKN yang dipraktekkan oleh pemerintahan Orde Baru, yang tentu merugikan rakyat Indonesia.
Pada bulan Juli 1997, Indonesia dilanda oleh krisis moneter yang menyerang kawasan Asia. Pada peristiwa ini, Indonesia mengalami inflasi yang besar-besaran. Krisis tersebut diawali oleh didevaluasinya nilai mata uang Baht. Dengan demikian, nilai mata uang Rupiah terkena imbasnya, mendaki secara tajam dari kisaran Rp 2.600 menjadi Rp 14.900. Dengan demikian, ekonomi Indonesia merosot tajam dan berakar pada masalah-masalah lain. Harga kebutuhan pokok, angka pengangguran, dan angka putus sekolah melonjak.
Peristiwa ini menjadi pemicu demonstrasi yang dipimpin oleh kaum mahasiswa. Di tengah-tengah krisis moneter ini, muncullah sentimen anti-Tionghoa. Penyebab adanya sentimen ini adalah adanya perbedaan perekonomian, di mana perekonomian etnis Tionghoa relatif lebih stabil dan strategis dibanding masyarakat pribumi. Akibat perbedaan tersebut, kaum etnis Tionghoa menerima berbagai macam fitnah dan tuduhan, seperti "penganut komunis" dan "penimbun sembako". Hal ini demikian memojokkan etnis Tionghoa sebagai etnis minoritas yang dibenci massa.
Peristiwa krisis moneter yang sangat merugikan rakyat inilah yang memicu mahasiswa untuk melakukan demonstrasi. Berdasarkan Komnas HAM, pada tanggal 12 Mei 1998, ribuan mahasiswa bersama gabungan staf dan dosen melakukan unjuk rasa secara damai. Menyadari besarnya skala dari unjuk rasa ini, aparat keamanan diturunkan untuk mengendalikan situasu. Pihak aparat dan mahasiswa sempat melakukan negosiasi yang berlangsung tanpa ketegangan apapun. Di penghujung unjuk rasa tersebut, pihak aparat meminta para mahasiswa untuk membubarkan diri dan kembali ke kampus, yang dituruti oleh mahasiswa.
Tanpa disangka, pihak polisi membuka tembakan api pada rombongan mahasiswa yang sedang berjalan kembali ke kampus. Berlindung diri di dalam kampus pula tidak menjamin keselamatan akibat puluhan gas air mata yang ditembakkan ke dalam kampus, sementara hujan peluru yang diarahkan ke arah mahasiswa belum berhenti. Peristiwa ini menyebabkan 4 mahasiswa Universitas Trisakti gugur dan ratusan lainnya luka-luka.
Tragedi Trisakti yang menyebabkan kematian keempat mahasiswa ini menjadi pemantik dari sumbu kemarahan masyarakat Indonesia. Demonstrasi dan kerusuhan awalnya terjadi di kawasan sekitar Kampus Trisakti, sehari setelah peristiwa berdarah tersebut. Kemudian, aksi perusakan dan pembakaran yang terjadi meluas ke kawasan lainnya, hingga merambat ke Bogor, Tangerang, Bekasi, dan kota lain.
Kerusuhan ini terjadi hingga tanggal 15 Mei 1998, dan pengaruhnya meluas ke seluruh Indonesia, tidak terbatas di dalam Pulau Jawa saja. Tetapi, mengutip dari Komnas HAM, kerusuhan yang awalnya dipicu oleh protes terhadap tragedi yang menimpa mahasiswa dialihkan menjadi sentimen anti-Tionghoa. Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) menemukan ribuan lahan properti milik etnis Tionghoa dijarah, dirusak, atau dibakar.
Tidak hanya itu, TGPF menemukan sejumlah kasus kekerasan seksual dan pemerkosaan, di mana sebagian besar korbannya merupakan perempuan beretnis Tionghoa. Tragedi Trisaksi sekana-akan menjadi pintu penghalang yang dibuka massa untuk meluapkan kebenciannya terhadap kaum Tionghoa yang dituduh sebagai dalang dari krisis di Indonesia. Berdasarkan laporan investigasi yang dibentuk TGPF, Kerusuhan Mei 1998 diduga mengakibatkan lebih dari 1000 orang meninggal, ratusan orang luka-luka, sejumlah kasus pemerkosaan wanita, dan kerugian negara yang menyentuh angka triliunan akibat kerusakan yang terjadi.
Kajian Pemenuhan Hak dan Kewajiban Berdasar Nilai Pancasila
Peristiwa ini secara langsung melanggar hak dan mengingkari kewajiban warga negara Indonesia, ditinjau dari nilai instrumental Pancasila, yaitu:
- Hak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya (pasal 28A).
- Hak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi (pasal 28B ayat 2).
- Hak untuk bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu (pasal 28I ayat 2).
- Hak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat (pasal 28E ayat 3).
- Hak atas keadilan sosial (pasal 34).
- Wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara (pasal 28J ayat 1).
- Wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain (pasal 28J ayat2).
- Wajib ikut serta dalam usaha pertahanan dan keamanan negara (pasal 30 ayat 1).
Lalu, peristiwa ini menjadi ancaman akan keutuhan Pancasila sebagai dasar negara akibat pengabaian dari nilai sila Pancasila sebagai nilai leluhur dan pandangan negara. Nilai-nilai Pancasila yang dilanggar dan terancam dari peristiwa ini adalah sila ke-2, 3, 4, dan 5.
Rentetan peristiwa yang berujung pada Kerusuhan Mei 1998 merupakan bentuk pelanggaran HAM dari warga negara Indonesia yang berat, baik dilakukan oleh aparat keamanan maupun pengunjuk rasa sendiri. Indonesia sebagai negara berlandaskan Pancasila dan UUD 1945 dalam teori seharusnya memberikan ruang lingkup bagi anggota negaranya untuk mengekspresikan pendapatnya. Sayangnya, dalam pelaksanaannya, pemerintahan orde baru menciptakan ruang lingkup yang opresif. Paham-paham dan ideologi Pancasila sendiri diindoktrinasi, dan siapapun yang dipandang tidak sesuai dengan arahan Presiden Soeharto dianggap sebagai ancaman negara.
Hal ini mengakibatkan hilangnya kebebasan berpendapat dari masyarakat, karena sekecil apapun kesalahan dalam berpendapat akan meresikokan nyawanya sendiri. Sistem opresif ini ditunjukkan dalam penanganan aparat keamanan saat terjadi unjuk rasa mahasiswa. Karena melakukan protes terhadap pemerintahan Soeharto dan kebijakannya, mahasiswa dianggap sebagai ancaman negara, sehingga tak semena-mena aparat keamanan membuka tembakan api. Kasus ini melanggar hak dari warga negara untuk berkumpul dan mengeluarkan pendapat, dan menjadi pelanggaran dari nilai sila ke-4 yang menjunjung tinggi kebebasan demokratis untuk berpendapat, bermusyawarah.
Kemudian, meninjau peristiwa yang terjadi setelah penembakan mahasiswa Trisakti, pelanggaran HAM dan pengingkaran kewajiban yang terjadi sungguhlah begitu berat. Aparat keamanan dan masyarakat terlibat dalam konflik bertubi-tubi. Kedua pihak bertanggungjawab atas ratusan korban yang berjatuhan akibat konflik ini, tidak peduli akan siapapun yang memprovokasi atau menyulut konflik terlebih dahulu. Tidak hanya konflik antara aparat keamanan dengan masyarakat saja, namun kerusuhan yang terjadi dialihkan sebagai sentimen terhadap masyarakat beretnis Tionghoa.
Masyarakat Tionghoa mengalami pelanggaran HAM yang berat, kehilangan atas properti miliknya akibat penjarahan dan menjadi korban dari kekerasan serta aksi diskriminatif. Perlindungan atas warga negara tidak lagi terwujud dan diabaikan, baik oleh pemerintahan maupun warga negara sendiri. Dalam pelaksanaannya, warga Indonesia melakukan pengingkaran kewajiban untuk menghormati hak asasi manusia dari orang lain.
Warga Indonesia juga mengingkar kewajiban untuk ikut serta dalam usaha pertahanan dan keamanan negara karena secara langsung terlibat dalam konflik yang mengancam keutuhan negara Indonesia. Kasus ini menjadi pelanggaran dari nilai sila ke-2 dan ke-5 yang mengedepankan hak asasi manusia dari setiap orang dan perlindungan sosial bagi setiap warga negara.
Terakhir, kerusuhan yang timbul akibat peristiwa ini merupakan bentuk perpecahan dari persatuan Indonesia yang dibangun atas perjuangan leluhur kita. Peristiwa ini menghadirkan konflik antar sesama warga negara dan bentuk diskriminasi yang ditujukan pada golongan tertentu. Dari esensinya sendiri, hal tersebut sudah tidak sesuai dengan nilai sila ke-3 Pancasila yang mengedepankan persatuan antar sesama dan menempatkan kepentingan bersama di atas kepentingan pribadi.
Solusi
Sebagai pertanggungjawaban atas ketidakpercayaan masyarakat, Presiden Soeharto secara resmi mengundurkan diri dari jabatannya pada tanggal 21 Juni 1998. Jabatan kepresidenan kemudian diambil alih oleh B.J. Habibie yang sebelumnya menjabat sebagai wakil presiden. Langkah pertama dari beliau yang diambil atas tanggapan dari peristiwa tersebut adalah membentuk Tim Gabungan Pencari Fakta yang ditujukan untuk melakukan investigasi atas Kerusuhan Mei 1998 yang terjadi, di mana laporan resminya dikeluarkan pada tanggal 23 Oktober 1998.
Sedangkan, masyarakat beretnis Tionghoa, sebagai korban dari peristiwa ini, merasa terkhianati dan tidak dihargai keberadaannya sebagai anggota negara Indonesia. Dengan demikian, banyak dari masyarakat Indonesia beretnis Tionghoa melarikan diri ke negara lain.
Setelah mengalami transisi pemerintahan dari Orde Baru ke Reformasi, pemerintahan Indonesia mengambil beberapa kebijakan yang ditujukan untuk mencegah peristiwa seperti Kerusuhan Mei 1998 tidak lagi terulang. Penegakkan hukum yang melindungi HAM dari warga negara ditegakkan melalui dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, sebagai tanggungjawab moral dan hukum Indonesia dalam keanggotaan PBB yang melaksanakan Deklarasi HAM.
Berkat dikeluarkannya peraturan ini, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia RI dibentuk. Langkah selanjutnya yang diambil Komnas HAM adalah pembentukan Komisi Penyeledikan Pelanggaran HAM Kerusuhan Mei 1998. Kebijakan lain yang diambil adalah penetapan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis, ditujukan untuk menghapus segala bentuk intoleransi dan diskriminasi yang berbau SARA. Terakhir, pemerintah mencabut hak DPR dalam penentuan pembentukan Pengadilan HAM Ad Hoc dalam kasus Pelanggaran HAM Berat.
Singkatnya, DPR tidak lagi dapat menetapkan keputusan sebelum memperoleh hasil penyelidikan dari Komnas HAM dan Kejaksaan Agung dalam perihal penyelidikan kasus pelanggaran HAM berat.
Kesimpulan
Terbentuknya lembaga dan tatanan hukum yang melindungi HAM, beserta kebebasan dan pemenuhan hak-kewajiban yang dapat kita rasakan sekarang merupakan hasil dan perkembangan pemahaman hak dan kewajiban, pasca peristiwa Kerusuhan 1998.
Dengan demikian, sebagai bentuk syukur kita, sudah sepantasnya kita terus mengemban kewajiban dan penerimaan HAM yang berdasar pada nilai Pancasila. Kita tidak boleh melupakan sejarah kelam ini dalam perjalanan Indonesia sebagai bangsa dan negara. Seperti demikian menjadi visi dan misi para pejuang dan aktivitas pada tahun 1998 silam, kita harus terus mempertahankan dan memperjuangkan hak asasi manusia dan pelaksanaan kewajiban.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H