Menurut saya, Titik awal terjadinya sikap intoleran sering kali berakar pada kurangnya pemahaman terhadap perbedaan, baik itu perbedaan keyakinan, budaya, atau pandangan hidup. Ketidaktahuan ini dapat diperburuk oleh penyebaran informasi yang tidak akurat atau narasi negatif yang memperkuat prasangka. Selain itu, faktor-faktor seperti ketimpangan sosial, politisasi identitas agama, serta pengaruh kelompok tertentu yang mengedepankan eksklusivitas dapat memicu perpecahan. Dalam banyak kasus, intoleransi berkembang ketika dialog yang konstruktif tidak terjadi dan rasa saling percaya antarindividu atau kelompok mulai terkikis. Hal ini menunjukkan pentingnya pendidikan, komunikasi, dan kepemimpinan yang inklusif dalam mencegah dan mengatasi sikap intoleran di masyarakat.
Kesalahpahaman sering kali muncul dari kurangnya dialog antarumat beragama. Melalui percakapan yang jujur dan terbuka, kita dapat saling memahami perspektif masing-masing. Forum lintas agama atau kegiatan komunitas menjadi sarana yang efektif untuk memperkuat hubungan antarpemeluk agama.
Penting untuk menanamkan nilai-nilai toleransi sejak usia dini. Sekolah, sebagai tempat bertemunya anak-anak dari latar belakang beragam, memiliki peran strategis. Melalui kurikulum inklusif dan kegiatan bersama, siswa diajarkan untuk menghargai perbedaan dan menjunjung tinggi persatuan.
Komitmen Bersama untuk Masa Depan Damai
Toleransi antarumat beragama bukanlah tujuan yang dapat dicapai sekali waktu, melainkan proses berkelanjutan. Setiap individu, komunitas, dan institusi memiliki peran dalam merawatnya. Dengan semangat persaudaraan, kita dapat memastikan keberagaman Indonesia tetap menjadi kekuatan, bukan sumber perpecahan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H