Abdul wahhab lahir sekitar tahun 1703 di Nejd, gurun pasir kuning yang secara reflex tergambar di benak kita ketika berpikir tentang Saudi Arabia. Dia dibesarkan di sebuah kota oasis kecil, anak seorang hakim. Ketika ia menunjukkan harapan menjanjikan sebagai pengkaji al quran, ia dikirim ke madinah untuk melanjutkan sekolah. Disana, salah seorang guru memperkenalkannya kepada karya-karya ibnu taimiyah, seorang teolog berpendirian keras dari suriah yang -- setelah bencana Mongol- menyatakan bahwa Allah telah meninggalkan kaum muslim dan bahwa umat islam harus kembali ke cara-cara yang persis dengan umat pertama jika mereka ingin mendapatkan kembali pertolongan-Nya. Ajaran-ajaran ini bergema bagi wahhab muda.
Ibnu taimiyah yang mendengar tentang Abdul Wahhab dari murid Abdul Wahhab yang datang ke negerinya (Yaman) menyebutnya sebagai Mujaddid (pembaharu) dalam Islam. Ia merasa rindu berkirim surat (syair) dengan Abdul Wahhab.[1]
Dari madinah, anak muda ini beranjak ke kota kosmopolitanbasrah di teluk Persia, dan apa yang dilihat anak desa ini di Basrah- keragaman pendapat yang riuh rendah, banyaknya mazhab pemikiran, berbagai interpretasi dari firman suci, orang ramai, lampu-lampu, kebisingan- mengejutkannya. Ini, menurutnya, adalah jenis tumor yang membuat Islam lemah.
Kemudian ia kembali ke kampung halamannya yang sederhana di padang pasir dan mulai memberitakan kebangkitan agama melalui pemulihan Islam ke bentuk aslinya. Hanya ada satu Tuhan, serunya dengan suara menggelegar, dan setiap orang harus menyembah satu Tuhan persis seperti yang diperintahkan dalam kitab suci. Setiap orang harus mematuhi hukum yang ditetapkan oleh wahyu. Setiap orang harus hidup persis seperti kaum yang awal di madinah pada zaman Muhammad, dan siapa saja yang menghalangi pemulihan ummat suci dan asli itu harus dibinasakan.
Utsmani menganggap seluruh Arabia sebagai milik mereka, tetapi mereka tidak memiliki otoritas yang nyata di antara suku-suku badui kecil yang menghuni lanskap kering ini, yang tinggal menyebar di oasis-oasis dan bertahan hidup seadanya sebagai pedagang dan penggembala. Wahhab menarik beberapa pengikut diantara sesame orang baduinya, dan ia memimpin kelompoknya berkeliling pedesaan menghancurkan tempat-tempat suci karena itu bukanlah objek pemujaan yang pantas, dan Abdul Wahhab mengajarkan bahwa penghormatan terhadap apapun atau siapapun kecuali Allah adalah penyembahan berhala. Akhirnya, Wahhab mencapai posisi hakim dan mulai menerapkan hukum hambali menurut pandangannya dengan semangat tak kenal kompromi. Suatu hari, ia menetapkan agar seorang wanita terkenal dari kota dilempari batu sampai mati karena berzina. Penduduk setempat sudah tak tahan lagi. Massa berkumpul untuk menuntut Abdul Wahhab digulingkan dari jabatannya; bahkan ada pembicaraan tentang hukuman mati tanpa pengadilan. Wahhab melarikan diri dari kota itu dan berjalan ke oasis lain yang disebut Dariyah.
Disana, penguasa setempat Muhammad ibn Saud menyambutnya dengan hangat. Ibnu saud adalah seorang pemimpin suku kecil dengan ambisi yang sangat besar : untuk "mempersatukan" jazirah arab. Yang dimaksudnya dengan "mempersatukan" tentu saja berarti "menaklukkan". Dalam diri pendakwah berpikiran -tunggal seperti abdul wahhab ia melihat sekutu yang diperlukannya; Wahhab menemukan hal yang sama ketika melihat Ibn Saud. Kedua pria membuat perjanjian. Kepala suku itu sepakat untuk mengakui Wahhab sebagai puncak otoritas keagamaan komunitas muslim dan melakukan semua yang dia bisa untuk mewujudkan visinya; sang pendakwah sendiri sepakat untuk mengakui Ibn Saud sebagai kepala politik komunitas mislim, amirnya, dan memerintahkan para pengikutnya untuk berjuang bagi dirinya.
Perjanjian itu membuahkan hasil. Selama beberapa decade berikutnya, kedua orang ini "menyatukan" seluruh suku Badui semenanjung Arabia dibawah pemerintahan Saudi-Wahhabi. Setiap kali berhadapan dengan suku lain yang bandel, mereka mulai dengan seruan agar mereka masuk Islam. "pindah! pindah! pindah!" mereka berteriak tiga kali. Jika peringatan itu diabaikan tiga kali (seperti yang umumnya terjadi) Wahhab mengatakan kepada tentaranya, mereka bisa langsung membunuh orang-orang yang mereka hadapi, Allah mengizinkan itu, karena mereka adalah orang-orang kafir.
Panggilan untuk pindah agama membingungkan suku-suku yang mereka serang pada waktu itu karena semua suku ini menganggap diri mereka sudah muslim yang taat. Tapi ketika Abdul Wahhab berkata "pindah!" yang dimaksudkannya adalah pindah ke visi islam yang ia khutbahkan. Dia tidak menyebutnya Wahhabisme karena, seperti ibnu Taimiyyah sebelumnya, dia menyatakan bahwa dirinya hanya menyerukan umat Islam agar kembali ke Islam murni yang asli, dilucuti dari semua bid'ah dan dibasuh dari semua penyelewengan. Dia bukan innovator, bahkan, ia anti-inovator.
Akan tetapi, orang-orang yang tidak percaya pada pandangannya melihat visinya sebagai interpretasi tertentu atas Islam, bukan Islam itu sendiri, dan mereka tidak punya masalah melebeli ideologinya Wahhabisme, sebuah istilah yang mulai digunakan bahkan di antara sebagian orang yang mendukung pandangan-pandangannya.
Pada 1766, Ibn Saud dibunuh, tetapi putranya Abdul Aziz mengambil alih dan melanjutkan kampanye ayahnya untuk menyatukan arab dibawah bendera teologi Abdul Wahhab. Kemudian pada 1792, Wahhab sendiri meninggal, meninggalkan 20 janda dan anak-anak yang tak terhitung jumlahnya. Hidupnya telah membentang sepanjang hampir seluruh abad ke 18. Pada saat yang bersamaan, ketika dia memaksakan visinya tentang Islam murni di Saudi, Inggris dan Skotlandia menyatu ke dalam britania Raya, Amerika serikat lahir, Revolusi prancis mengeluarkan deklarasi hak asasi manusia, Mozart menulis korpus musiknya, dan james watt menciptakan mesin uap.
Setelah kematian Wahhab, Azis ibn saud mendeklarasikan diri sebagai penggantinya. Setelah menjadi amir, kini ibn saud yang baru mengurapi dirinya sebagai kepala otoritas keagamaan juga. Pada 1802, aziz ibn saud menyerang kota karbala, tempat cucu Nabi, Hussein, menjadi syahid. Kota ini merupakan pusat ibadah syiah, dan banyak dari mereka saat itu sedang berkumpul untuk memperingati kesyahidan Hussein. Tetapi syiah menempati peringkat yang tinggi dalam daftar orang-orang yang telah mengubah dan merusak Islam murni asli menurut Wahhab, dan karenanya, setelah menaklukkan kota itu, Aziz ibn Saud membantai sekitar dua ribu penduduk syiah di sana.
Pada 1804, Aziz ibn Saud menaklukkan Madinah, tempat pasukannya dengan segera menghancurkan makam sahabat-sahabat Muhammad. Dari Madinah, pasukan Saudi-Wahhabi bergerak ke Makkah, disana mereka menghancurkan sebuah tempat suci yang seharusnya menandai tempat kelahiran Nabi Muhammad (sehingga tak seorangpun akan jatuh ke dalam penyembahan berhala Muhammad). Selama dia berada di kota itu, ibn Saud memanfatkan kesempatan untuk melaksanakan ibadah haji di Ka'bah dengan bersahaja.
Kemudian pada 1811, aliansi Saudi-Wahhabi mulai menyusun kampanye baru, kali ini ke asia kecil, jantung kekaisaran Utsmani. Sekarang, akhirnya Sultan memberi perhatian pada gerakan Wahhabi. Untuk menghadapi lonjakan kaum badui ini, ia memanggil Muhammad Ali, khedive Mesir, untuk membantunya. Muhammad Ali membawa tentara modernnya yang disiplin ke Saudi, dan pada 1815- tahun yang sama dengan berakhirnya karier Napoleon di Waterloo- ia meluluhlantakkan Ibn Saud, memulihkan kendali Utsmani atas Makkah dan Madinah, dan kembali membuka kota suci bagi para peziarah muslim dari setiap aliran. Kemudian ia mengirim putra Aziz ibn Saud dan penerusnya ke istanbul untuk diarak dihadapan orang banyak yang mengejeknya dan kemudian memenggalnya.
Tak banyak lagi yang terdengar tentang aliansi Saudi-Wahhabi selama sekitar satu abad, namun aliansi itu tidak mati. Kepala suku yang dieksekusi memiliki seorang putra yang mengambil alih sisa-sia reruntuhan konfederasi Saudi. Sekarang dia hanya kepala suku yang kecil, namun tetap seorang kepala suku, dan tetap seorang Wahhabi, dan dimanapun dia masih bisa memaksakan otoritasnya, ulama Wahhabi memimpin dan berkembang. Wahhab sudah mati, tetapi Wahhabisme terus hidup.
Apakah ajarannya?
Anda dapat membenamkan diri mengkaji tulisan-tulisan actual Abdul Wahhab dan tidak menemukan Wahhabisme sebagaimana yang didefinisikan hari ini. Itu terutama karena Abdul Wahhab tidak menulis traktat politik; dia menulis tafsir al Quran dan menuliskannya secara ketat dalam kosakata doktrinnya. Fokusnya yang kuat pada perincian tentang doktrin, hukum dan amalan Islam mungkin tampak oleh orang luar sebagai terlalu berlebihan, obsesif. Karya besarnya, Kitab al tawhid memiliki enam puluh enam bab, masing-masing menyajikan satu kutipan al Quran atau lebih, membongkar setiap kutipan, mendaftar pelajaran yang dapat dipetik dari petikan itu, dan kemudian menjelaskan bagaimana kutipan ini berhubungan dengan inti kredo Wahhab. Di sini tidak ada pembicaraan tentang timur dan barat, tidak ada apa-apa tentang pengaruh barat atau kelemahan muslim, tidak ada sama sekali hal yang bersifat politis. Membaca kata- kata Wahhab berarti menyadari bahwa ia memandang dunia melalui kacamata agama murni. Dalam pandangannya sendiri, keseluruhan teologinya bermuara pada dua prinsip: pertama, pentingnya tauhid, atau "keesaan", yaitu ketunggalan dan kesatuan Allah; dan kedua, kesalahan syirik, gagasan bahwa seseorang atau sesuatu berbagi dalam keilahian Allah, bahkan untuk tingkat terkecil.
Marx pernah berkata "saya bukan seorang Marxis." Dan jika Abdul Wahhab masih hidup hari ini, dia mungkin berkata, "saya bukan seorang Wahhabi." Namun tetap saja, Wahhabisme ada, dan sekarang mencakup banyak prinsip lebih lanjut yang berasal dari implikasi ceramah-cermah Wahhab atau yang berkembang secara historis dari penerapannya oleh para kepala suku Saudi.
Wahhabisme yang diperluas ini mengatakan kepada kaum Muslim bahwa hukum adalah Islam dan Islam adalah hukum; membenarkannya, mengetahuinya secara lengkap, dan mengikutinya secara persis adalah keseluruhan iman.
Hukum itu ada di dalam al Quran menurut Wahhab dan para pengikutnya. Sunnah-kehidupan nabi seperti diungkapkan melalui hadis- bertujuan menafsirkan hokum itu. Al quran tidak menetapkan prinsip-prinsip untuk membimbing perilaku manusia melainkan tindakan nyata yang harus dilakukan kaum muslim. Al Quran bukan hanya menunjukkan bentuk tetapi isi dari kehidupan manusia. Kehidupan nabi Muhammad memberikan teladan untuk diikuti setiap muslim.
Madinah pada masa Muhammad dan tiga khalifah pertama adalah masyarakat yang ideal, satu-satunya waktu dan tempat ketika semua orang mengetahui hukum itu, memahaminya dan mengikutinya secara penuh. Itulah sebabnya umat pertama mampu tumbuh dan meluas dengan begitu mencengangkan. Madinah adalah contoh untuk dicipta ulang oleh setiap komunitas muslim.
Tujuan hidup adalah mengikuti hukum itu. Tujuan kehidupan social dan politik adalah membangun masyarakat dimana hokum tersebut dapat ditegakkan. Semua yang menghambat tugas besar membangun masyarakat ideal itu adalah musuh islam. Kewajiban seorang muslim mencakup partisipasi dalam jihad, perjuangan untuk mengalahkan musuh-musuh islam. Jihad sejajar dengan shalat, puasa, zakat, haji dan mengakui keesaan Allah sebagai suatu kewajiban agama.
Dan siapakah musuh-musuh islam itu?
Menurut doktrin Wahhab, orang-orang yang tidak percaya pada Islam, tentu saja, adalah musuh potensial tetapi bukan yang paling penting. Jika mereka setuju untuk hidup damai di bawah pemerintahan Islam, mereka bisa ditoleransi, musuh yang paling perlu diperhatikan adalah orang munafik, murtad, khianat dan pembid'ah.
Munafik adalah muslim yang perkataannya tidak sejalan dengan perbuatannya. Mereka mengaku beriman, tetapi ketika sudah waktunya untuk shalat, anda menemukan mereka bermain kartu atau tidur siang. Mereka harus dihukum agar tidak merusak umat islam lainnya. Murtad adalah orang yang terlahir muslim atau telah masuk islam tetapi kemudian meninggalkannya. Mereka harus dibunuh. Pengkhianat adalah orang yang mengatakan bahwa mereka muslim, tetapi sebenarnya tidak. Mereka mengucapkan kata-kata itu, tetapi di dalam hati kesetiaan mereka adalah untuk iman yang lain. Mereka secara inheren merupakan tiang kelima yang bekerja melawan masyarakat dan bisa melakukan pengkhianatan yang menimbulkan bencana dalam keadaan krisis. Orang-orang khianat dibunuh segera setelah mereka terungkap. Dan akhirnya, mungkin pelanggar yang paling buruk dari semuanya adalah pembid'ah: muslim yang merusak islam dengan menambah atau mengubah setiap aspek hukum asli yang murni. Orang-orang yang melakukan ritual yang berbeda dari kaum salaf, atau menjalankan ritual yang tidak pernah dilakukan nabi dan para sahabatnya, atau yang menganjurkan ide-ide yang tidak ditemukan di dalam al Quran adalah pembid'ah. Baik syiah maupun para sufi termasuk dalam kelompok ini. Jihad melawan mereka bukan hanya sah tetapi wajib, menurut Wahhabisme sebagaimana yang berkembang dalam praktik sejarah.
Sikap dan antusiasme Wahhabi menyebar jauh melampaui Saudi. Wahhabisme menemukan tanah yang subur di ujung lain dunia muslim, di anak benua india. Dalam praktiknya, berbagai orang yang menyebut diri mereka Wahhabi menekankan berbagai aspek kredo yang dikhutbahkan suku Saudi. Di india, misalnya, beberapa kelompok yang disebut Wahhabi menolak jihad sebagai suatu kewajiban. Yang lain mengatakan orang murtad harus diajak dalam perdebatan bukan pertempuran. Beberapa berpendapat bahwa orang munafik harus dididik ulang bukannya dihukum atau orang-orang khianat harus dihukum bukannya dibunuh, atau beberapa variasi lainnya. Tetapi semua orang yang menyebut diri mereka Wahhabi memandang fikih sebagai inti Islam, bahkan seluruh Islam. Semua cenderung untuk melihat kembali ke masa keemasan yang menjadi contoh bagi kehidupan muslim dan cenderung percaya bahwa memulihkan ummat pertama Muhammad di Madinah akan mengembalikan kecintaan kepada umat Islam di mata Allah, dengan demikian memulihkan kekuatan dan kekuasaan yang pernah dinikmati ummat di bawah empat khalifah pertama.
Di luar dunia Islam, aliansi Saudi-Wahhabi mungkin kelihatan seperti anomali singkat yang menyala lalu menghilang, tapi sebenarnya terus membara di padang pasir Arabia, dan dunia akan mendengar lebih banyak lagi tentang persekutuan ini dalam abad ke 20, setelah agen inggris yang dikenang sebagai Lawrence of Arabia mulai mengarungi padang pasir. [2]
Pada masa akhir Dinasti Usmani, Di antara perongrong dinasti, dua keluarga tampak menonjol : keluarga Ibn Saud, yang masih bersekutu dengan ulama Wahhabi, dan keluarga hasyim yang memerintah Makkah, pusat spiritual Islam. Dunia Saudi-Wahhabi telah menyusut ke Negara suku badui di Arabia tengah tetapi masih dipimpin oleh keturunan langsung dari leluhur pemimpin Saudi abad kedelapan belas Muhammad Ibn Saud, orang yang telah membuat kesepakatan dengan ulama konservatif radikal, Ibn Wahhab. Selama beberapa decade, keluarga kedua pria itutelah melakukan perkawinan antar keluarga secara ekstensif; syekh Saudi sekarang menjadi kepala agama pendirian Wahhabi, dan keturunan Ibn Wahhab masih merupakan ulama terkemuka wilayah yang dikuasai Saudi. Agen Inggris yang dikirim oleh kantor asing Anglo-India mengunjungi kepala Saudi itu, bertujuan untuk membuat kesepakatan. Mereka melakukan apa yang mereka bisa untuk menggairahkan ambisinya dan menawarkan uang serta senjata untuk menyerang Utsmani. Ibn Saud menjawab dengan hati-hati tetapi interaksi tersebut memberinya alasan untuk percaya bahwa dia akan diberi imbalan setelah perang untuk setiap kerusakan yang bisa ditimbulkannya atas Turki.
Petriark Hasyimiyah bernama Hussein ibn Ali. Dia adalah penjaga ka'bah, tempat suci umat islam, dan dikenal dengan gelar Syarif, yang berarti dia adalah keturunan dari klan nabi sendiri, Bani Hasyim. Ingat bahwa kaum revolusioner abad kesembilan yang telah membawa Abbasiyah ke tampuk kekuasaaan menyebut diri mereka Hasyimiyah : nama itu memiliki garis keturunan kuno dan dihormati dan sekarang sebuah keluarga dengan nama ini sedang berkuasa di Mekkah.
Tapi Mekkah tidak cukup bagi Syarief Hussein. Dia mengimpikan kerajaan Arab yang membentang dari mesopotamiasampai laut arab, dan dia berpikir Inggris mungkin akan membantunya mewujudkan itu. Inggris dengan senang hati membiarkan dia menyangka bahwa mereka bisa dan bersedia. Mereka mengutus seorang perwira intelijen militer flamboyant untuk bekerjasama dengannya, seorang mantan arkeolog bernama colonel Thomas Edward Lawrwnce, yang bisa berbicara bahasa Arab dan suka mengenakan pakaian suku Badui, sebuah praktik yang akhirnya membuatnya mendapat julukan Lawrence of Arabia. [3]
Wahhabi dengan seruannya untuk kembali ke momen mitis di masa lalu yang jauh, menolak kebekuan masa kini (dan kedua belas abad yang mengantarkan ke sana). Dan mereka masih berdenyut di jazirah arab. Bahkan, mereka merebut kekuasaan Negara disana dengan pembentukan Arab Saudi. Wahhabi tidak bisa memperoleh banyak dukungan di kalangan elit berpendidikan atau kelas menengah baru tapi mereka berkhutbah di masjid-masjid pedesaan untuk para penduduk desa yang kurang berpendidikan dan miskin. Di kalangan khalayak itu, pesan mereka bergema, terutama di india. Ketika mereka berbicara tentang masa lalu yang jaya, yang dapat dihidupkan lagi hanya dengan cara kembali ke komunitas pertama, orang miskin dan tak berpunya tahu tentang siapa para pengkhutbah itu bicara. Mereka bisa melihat kaum elite mereka sendiri menyimpang jauh dari cara hidup Islam, dan berbangga dengan hal itu! Merekalah yang harus disalahkan atas kelemahan kaum muslim. Bahkan, jika narasi Wahhabi memang benar, kemiskinan penduduk pedesaan adalah kesalahan orang kaya perkotaan.
Pada 1876, sekelompok Wahhabi puritan india membangun sebuah sekolah agama di kota bernama Deoband. Selama lima puluh tahun, para pendakwah lulusan sekolah agama ini telah menyebar ke seluruh anak benua india mengkhutbahkan Wahhabisme. Pada akhir 1920-an, para Deoband ini menunjukkan secercah kekuatan mereka di Afganistan. [4]
Menengok ke belakang, mudah untuk melihat betapa campuran masalah yang parah telah diaduk tentara inggris di sini. Hasyimiyah dan Saudi adalah dua suku terkuat di jazirah Arab, keduanya berharap dapat melepaskan cengkeraman Utsmani atas Jazirah Arab, dan masing-masing melihat yang lain sebagai saingan mematikan. Inggris mengirimkan agen kedua kubu, membuat janji dengan kedua keluarga, dan menggiring keduanya untuk meyakini bahwa inggris akan membantu mereka mendirikan kerajaan mereka sendiri di wilayah yang kurang lebih sama, kalau saja mereka bersedia melawan Utsmani. Inggris tidak benar-benar peduli yang mana dari keduanya yang akan memerintah wilayah ini: mereka hanya menginginkan bantuan segera untuk melemahkan kekuatan Utsmani, sehingga mereka bisa mengalahkan Jerman di kampung halaman.
Ternyata, Hasyimiyah yang mendahului dalam membantu Inggris. Mereka memunculkan Pemberontakan Arab. Dua putra Hussein, bekerja bersama Lawrence, mengusir Turki dari wilayah itu, membuka jalan bagi Inggris untuk mengambil Damaskus dan Bagdad. Dari sana, Inggris dapat memberi tekanan pada Utsmani.
Akan tetapi, pada waktu yang sama ketika agen inggris membuat janji-janji kepada kedua keluarga arab, dua diplomat Eropa, Mark Skye dan Francois George-Picot, sedang bertemu diam-diam dengan membawa peta dan pensil, sambil menikmati secangkir teh, untuk memutuskan bagaimana wilayah itu harus dibagi di antara kekuatan Eropa yang menang setelah perang. Mereka menyepakati bagian mana yang untuk inggrisnya Sykes, dan bagian mana untuk Prancisnya Picot, dan dimana sedikit bagian yang pantas untuk Rusia. Bagian mana untuk orang Arab anehnya tidak disebutkan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI