Munafik adalah muslim yang perkataannya tidak sejalan dengan perbuatannya. Mereka mengaku beriman, tetapi ketika sudah waktunya untuk shalat, anda menemukan mereka bermain kartu atau tidur siang. Mereka harus dihukum agar tidak merusak umat islam lainnya. Murtad adalah orang yang terlahir muslim atau telah masuk islam tetapi kemudian meninggalkannya. Mereka harus dibunuh. Pengkhianat adalah orang yang mengatakan bahwa mereka muslim, tetapi sebenarnya tidak. Mereka mengucapkan kata-kata itu, tetapi di dalam hati kesetiaan mereka adalah untuk iman yang lain. Mereka secara inheren merupakan tiang kelima yang bekerja melawan masyarakat dan bisa melakukan pengkhianatan yang menimbulkan bencana dalam keadaan krisis. Orang-orang khianat dibunuh segera setelah mereka terungkap. Dan akhirnya, mungkin pelanggar yang paling buruk dari semuanya adalah pembid'ah: muslim yang merusak islam dengan menambah atau mengubah setiap aspek hukum asli yang murni. Orang-orang yang melakukan ritual yang berbeda dari kaum salaf, atau menjalankan ritual yang tidak pernah dilakukan nabi dan para sahabatnya, atau yang menganjurkan ide-ide yang tidak ditemukan di dalam al Quran adalah pembid'ah. Baik syiah maupun para sufi termasuk dalam kelompok ini. Jihad melawan mereka bukan hanya sah tetapi wajib, menurut Wahhabisme sebagaimana yang berkembang dalam praktik sejarah.
Sikap dan antusiasme Wahhabi menyebar jauh melampaui Saudi. Wahhabisme menemukan tanah yang subur di ujung lain dunia muslim, di anak benua india. Dalam praktiknya, berbagai orang yang menyebut diri mereka Wahhabi menekankan berbagai aspek kredo yang dikhutbahkan suku Saudi. Di india, misalnya, beberapa kelompok yang disebut Wahhabi menolak jihad sebagai suatu kewajiban. Yang lain mengatakan orang murtad harus diajak dalam perdebatan bukan pertempuran. Beberapa berpendapat bahwa orang munafik harus dididik ulang bukannya dihukum atau orang-orang khianat harus dihukum bukannya dibunuh, atau beberapa variasi lainnya. Tetapi semua orang yang menyebut diri mereka Wahhabi memandang fikih sebagai inti Islam, bahkan seluruh Islam. Semua cenderung untuk melihat kembali ke masa keemasan yang menjadi contoh bagi kehidupan muslim dan cenderung percaya bahwa memulihkan ummat pertama Muhammad di Madinah akan mengembalikan kecintaan kepada umat Islam di mata Allah, dengan demikian memulihkan kekuatan dan kekuasaan yang pernah dinikmati ummat di bawah empat khalifah pertama.
Di luar dunia Islam, aliansi Saudi-Wahhabi mungkin kelihatan seperti anomali singkat yang menyala lalu menghilang, tapi sebenarnya terus membara di padang pasir Arabia, dan dunia akan mendengar lebih banyak lagi tentang persekutuan ini dalam abad ke 20, setelah agen inggris yang dikenang sebagai Lawrence of Arabia mulai mengarungi padang pasir. [2]
Pada masa akhir Dinasti Usmani, Di antara perongrong dinasti, dua keluarga tampak menonjol : keluarga Ibn Saud, yang masih bersekutu dengan ulama Wahhabi, dan keluarga hasyim yang memerintah Makkah, pusat spiritual Islam. Dunia Saudi-Wahhabi telah menyusut ke Negara suku badui di Arabia tengah tetapi masih dipimpin oleh keturunan langsung dari leluhur pemimpin Saudi abad kedelapan belas Muhammad Ibn Saud, orang yang telah membuat kesepakatan dengan ulama konservatif radikal, Ibn Wahhab. Selama beberapa decade, keluarga kedua pria itutelah melakukan perkawinan antar keluarga secara ekstensif; syekh Saudi sekarang menjadi kepala agama pendirian Wahhabi, dan keturunan Ibn Wahhab masih merupakan ulama terkemuka wilayah yang dikuasai Saudi. Agen Inggris yang dikirim oleh kantor asing Anglo-India mengunjungi kepala Saudi itu, bertujuan untuk membuat kesepakatan. Mereka melakukan apa yang mereka bisa untuk menggairahkan ambisinya dan menawarkan uang serta senjata untuk menyerang Utsmani. Ibn Saud menjawab dengan hati-hati tetapi interaksi tersebut memberinya alasan untuk percaya bahwa dia akan diberi imbalan setelah perang untuk setiap kerusakan yang bisa ditimbulkannya atas Turki.
Petriark Hasyimiyah bernama Hussein ibn Ali. Dia adalah penjaga ka'bah, tempat suci umat islam, dan dikenal dengan gelar Syarif, yang berarti dia adalah keturunan dari klan nabi sendiri, Bani Hasyim. Ingat bahwa kaum revolusioner abad kesembilan yang telah membawa Abbasiyah ke tampuk kekuasaaan menyebut diri mereka Hasyimiyah : nama itu memiliki garis keturunan kuno dan dihormati dan sekarang sebuah keluarga dengan nama ini sedang berkuasa di Mekkah.
Tapi Mekkah tidak cukup bagi Syarief Hussein. Dia mengimpikan kerajaan Arab yang membentang dari mesopotamiasampai laut arab, dan dia berpikir Inggris mungkin akan membantunya mewujudkan itu. Inggris dengan senang hati membiarkan dia menyangka bahwa mereka bisa dan bersedia. Mereka mengutus seorang perwira intelijen militer flamboyant untuk bekerjasama dengannya, seorang mantan arkeolog bernama colonel Thomas Edward Lawrwnce, yang bisa berbicara bahasa Arab dan suka mengenakan pakaian suku Badui, sebuah praktik yang akhirnya membuatnya mendapat julukan Lawrence of Arabia. [3]
Wahhabi dengan seruannya untuk kembali ke momen mitis di masa lalu yang jauh, menolak kebekuan masa kini (dan kedua belas abad yang mengantarkan ke sana). Dan mereka masih berdenyut di jazirah arab. Bahkan, mereka merebut kekuasaan Negara disana dengan pembentukan Arab Saudi. Wahhabi tidak bisa memperoleh banyak dukungan di kalangan elit berpendidikan atau kelas menengah baru tapi mereka berkhutbah di masjid-masjid pedesaan untuk para penduduk desa yang kurang berpendidikan dan miskin. Di kalangan khalayak itu, pesan mereka bergema, terutama di india. Ketika mereka berbicara tentang masa lalu yang jaya, yang dapat dihidupkan lagi hanya dengan cara kembali ke komunitas pertama, orang miskin dan tak berpunya tahu tentang siapa para pengkhutbah itu bicara. Mereka bisa melihat kaum elite mereka sendiri menyimpang jauh dari cara hidup Islam, dan berbangga dengan hal itu! Merekalah yang harus disalahkan atas kelemahan kaum muslim. Bahkan, jika narasi Wahhabi memang benar, kemiskinan penduduk pedesaan adalah kesalahan orang kaya perkotaan.
Pada 1876, sekelompok Wahhabi puritan india membangun sebuah sekolah agama di kota bernama Deoband. Selama lima puluh tahun, para pendakwah lulusan sekolah agama ini telah menyebar ke seluruh anak benua india mengkhutbahkan Wahhabisme. Pada akhir 1920-an, para Deoband ini menunjukkan secercah kekuatan mereka di Afganistan. [4]
Menengok ke belakang, mudah untuk melihat betapa campuran masalah yang parah telah diaduk tentara inggris di sini. Hasyimiyah dan Saudi adalah dua suku terkuat di jazirah Arab, keduanya berharap dapat melepaskan cengkeraman Utsmani atas Jazirah Arab, dan masing-masing melihat yang lain sebagai saingan mematikan. Inggris mengirimkan agen kedua kubu, membuat janji dengan kedua keluarga, dan menggiring keduanya untuk meyakini bahwa inggris akan membantu mereka mendirikan kerajaan mereka sendiri di wilayah yang kurang lebih sama, kalau saja mereka bersedia melawan Utsmani. Inggris tidak benar-benar peduli yang mana dari keduanya yang akan memerintah wilayah ini: mereka hanya menginginkan bantuan segera untuk melemahkan kekuatan Utsmani, sehingga mereka bisa mengalahkan Jerman di kampung halaman.
Ternyata, Hasyimiyah yang mendahului dalam membantu Inggris. Mereka memunculkan Pemberontakan Arab. Dua putra Hussein, bekerja bersama Lawrence, mengusir Turki dari wilayah itu, membuka jalan bagi Inggris untuk mengambil Damaskus dan Bagdad. Dari sana, Inggris dapat memberi tekanan pada Utsmani.
Akan tetapi, pada waktu yang sama ketika agen inggris membuat janji-janji kepada kedua keluarga arab, dua diplomat Eropa, Mark Skye dan Francois George-Picot, sedang bertemu diam-diam dengan membawa peta dan pensil, sambil menikmati secangkir teh, untuk memutuskan bagaimana wilayah itu harus dibagi di antara kekuatan Eropa yang menang setelah perang. Mereka menyepakati bagian mana yang untuk inggrisnya Sykes, dan bagian mana untuk Prancisnya Picot, dan dimana sedikit bagian yang pantas untuk Rusia. Bagian mana untuk orang Arab anehnya tidak disebutkan.