Mohon tunggu...
Siti Kurniati
Siti Kurniati Mohon Tunggu... Guru - Pembelajar

menulis, merupakan generasi qurani

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Cukup Dalam Hati

2 Januari 2020   00:34 Diperbarui: 2 Januari 2020   00:35 348
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Selasa siang kemarin, kami: saya, suami, dan si bungsu, menuju salah satu toko servis telepon seluler di kawasan Bandung Kota. Tujuan kami ke sana hanya untuk mengambil ponsel yang sudah selesai diservis.

Setibanya di toko tersebut, hujan turun cukup deras. Kami bergegas menuju toko tersebut. Selesai urusan, kami pun segera pulang.

Hujan lebat masih mengguyur. Kami melewati jalanan yang sama seperti saat pergi tadi. Memasuki kota Cimahi, hujan agak reda, namun petir berkali-kali terdengar begitu kerasnya. Kendaraan bermotor melaju sedang-sedang saja.

Begitu memasuki perbatasan Cimahi dan Bandung Barat, kendaraan bermotor berjalan perlahan dan kondisi jalan agak macet. Ditambah  hujan turun sangat lebat malah lebih lebat dari yang turun di Bandung.

Lambat laun, laju kendaraan bermotor pun sangat melambat. Antrean kendaraan bermotor pun menjadi panjang. Dan, hujan seperti dicurahkan dari langit. Airnya meluap ke jalanan.

Warnanya bukan lagi kecoklatan, namun hitam bercampur dengan air selokan. Jalanan menjadi tak beraturan. Bunyi klakson dari motor maupun mobil bersahutan.

Semua pengendara seperti berbalapan ingin tiba di tujuannya nomor satu. Mungkin juga berusaha menghindari kondisi jalan yang semakin tak karuan. Atau, tetap berusaha di jalan yang ini namun menghindari mesin motor atau mobil terendam air.

Laju kendaraan merayap. Beberapa meter di depan, air yang meluap ke jalan semakin besar dan bergelombang. "Ooo ternyata banjir pas di depan mal itu," kata saya pada suami. "Ih, airnya pekat. Pantesan macet."

Dalam hati, mal ini, mal yang cukup elit di daerah sini. Lahan parkir luas, tapi gorong-gorong yang di atasnya terdapat trotoar, sempit. Dengan hujan lebat ini, mungkin tak mampu menyalurkan aliran air, hingga akhirnya meluap ke jalanan.

Semua pengendara berusaha menjalankan kendaraanya dengan hati-hati dan tentunya, bersabar. Ya, harus  bagaimana lagi. Mau putar balik arah pun, hasilnya yak kan jauh berbeda.

Biasanya hujan seperti ini akan merata di mana-mana dan macet pun akan terjadi. Akhirnya, terpaksa ikuti arus. Perlahan dan perlahan. Bila ada yang berusaha mengebut pun, teriakan-teriakan hujatan akan dilontarkan oleh para pegendara lain.

Setibanya di depan mal tersebut, saya hanya bisa menatap kondisi jalanan dan mal ini. Ada kata yang diucapkan, tapi cukup dalam hati.

Setelah melewati antrean yang sangat panjang,  akhirnya kami berhasil keluar dari kepungan macet dan banjir ini. Dan ternyata, kemacetan bukan hanya dari air yang meluap itu, melainkan dari kendaraan yang keluar-masuk ke mal tersebut. "Oalaaahhh, lagi-lagi dalam hati."

Menatap ke atas, langit gelap meski waktu maghrib masih jauh. Petir maupun guruh memang tak terlihat dan tak terdengar lagi. Namun lebatnya hujan seolah awet hingga menuju rumah tempat kami tinggal.

Begitu memasuki area perumahan, sepanjang jalan menuju rumah kami, banjir. Airnya, sama pekatnya dengan yang di jalan raya tadi. Kami berpapasan dengan beberapa warga yang sedang berusaha menyingkirkan benda-benda yang meluap dari selokan: sampah botol-botol bekas banyak. Plastik-plastik lebih banyak lagi. Dan, beberapa material seperti kayu, pecahan bekas tong sampah, atau sapu yang  membuat selokan ini meluap.

Lagi-lagi dalam hati, "Bagaimana air tidak meluap ke jalanan, gorong-gorong sebagai jalan mengalirnya air, dipersempit, buang sampah tidak pada tempatnya, jalan-jalan dibeton bukan diaspal. Tidak ada lagi wadah resapan. Ya, jadilah begini.

"Pelan-pelan Om jalanin mobil dan motornya. Maaf ya maaf," teriak  seorang remaja yang turut membantu mengatasi luapan air ini.

Kami pun tentu saja mengikuti saran itu. "Permisi, numpang lewat. Nanti saya terjun ya," ujar suami pada mereka. "Siap Pak, kita mancing dan bakar ikan," teriak Pak RT kami seraya menunjuk pada gorong-gorong yang dipenuhi sampah.

Akhirnya, masih dalam hati, "Semoga mereka beroleh balasan kebaikan dari Allah atas jasanya menyamankan daerah kami. Saya akan terjun pula membantu mengatasi sampah mulai dari rumah sendiri."

Wallahualam bissawab.

permata tengah malam, 2 jan

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun