Setibanya di depan mal tersebut, saya hanya bisa menatap kondisi jalanan dan mal ini. Ada kata yang diucapkan, tapi cukup dalam hati.
Setelah melewati antrean yang sangat panjang, Â akhirnya kami berhasil keluar dari kepungan macet dan banjir ini. Dan ternyata, kemacetan bukan hanya dari air yang meluap itu, melainkan dari kendaraan yang keluar-masuk ke mal tersebut. "Oalaaahhh, lagi-lagi dalam hati."
Menatap ke atas, langit gelap meski waktu maghrib masih jauh. Petir maupun guruh memang tak terlihat dan tak terdengar lagi. Namun lebatnya hujan seolah awet hingga menuju rumah tempat kami tinggal.
Begitu memasuki area perumahan, sepanjang jalan menuju rumah kami, banjir. Airnya, sama pekatnya dengan yang di jalan raya tadi. Kami berpapasan dengan beberapa warga yang sedang berusaha menyingkirkan benda-benda yang meluap dari selokan: sampah botol-botol bekas banyak. Plastik-plastik lebih banyak lagi. Dan, beberapa material seperti kayu, pecahan bekas tong sampah, atau sapu yang  membuat selokan ini meluap.
Lagi-lagi dalam hati, "Bagaimana air tidak meluap ke jalanan, gorong-gorong sebagai jalan mengalirnya air, dipersempit, buang sampah tidak pada tempatnya, jalan-jalan dibeton bukan diaspal. Tidak ada lagi wadah resapan. Ya, jadilah begini.
"Pelan-pelan Om jalanin mobil dan motornya. Maaf ya maaf," teriak  seorang remaja yang turut membantu mengatasi luapan air ini.
Kami pun tentu saja mengikuti saran itu. "Permisi, numpang lewat. Nanti saya terjun ya," ujar suami pada mereka. "Siap Pak, kita mancing dan bakar ikan," teriak Pak RT kami seraya menunjuk pada gorong-gorong yang dipenuhi sampah.
Akhirnya, masih dalam hati, "Semoga mereka beroleh balasan kebaikan dari Allah atas jasanya menyamankan daerah kami. Saya akan terjun pula membantu mengatasi sampah mulai dari rumah sendiri."
Wallahualam bissawab.
permata tengah malam, 2 jan