Ketika saya berjalan-jalan di dunia maya. Pergi dari satu website ke website lain, dari satu situs pindah ke situs lain. Mengikuti berbagai peperangan opini perihal dunia sementara ini. Dengan tanpa sengaja saya menemukan sebuah pituah dari penulis yang saya sndiri tak mengenalnya. Petuahnya sangatlah baik, pesan-pesan untuk penulis muda yaitu "Sepuluh Perintah kepada Penulis Muda," oleh Carlos Fuentes  "El declogo para el joven escritor latinoamericano," presentasi Carlos Fuentes di El Colegio Nacional, 7 Desember 2000, dalam seminar "Literatura: creacin y tradicin?" Diterjemahkan oleh Ronny Agustinus.
Â
Perintah Pertama: Disiplin
Buku tidak menulis dirinya sendiri. Juga tidak digodok dalam komite. Menulis adalah aksi seorang diri yang kadang menakutkan. Seperti memasuki terowongan tanpa tahu adakah cahaya di ujungnya, atau bahkan apakah ujungnya itu memang ada.
Ke disiplinkan untuk penulis adalah harga mati. Apabila ingin mendapatkan kebahagiaan dari apa yang ia tulis; ekonomi atau kepuasan hati semata. Soal disiplin saya masih kalah jauh dengan penulis kawakan seperti Peng Kheng Sun yang tiap hari berkutat dengan teks buku-buku untuk menulis resensi menulis buku. Akan tetapi belakangan ini saya mendapatkan kabar-kabari jika Peng Kheng Sun mau pindah profesi menjadi desain grafis dan layout buku. Ya mungkin jenuh dengan dunia perbukuan di negeri ini.
Berbeda lagi dengan M Iqbal Dawami, menulis adalah nafas kehidupannya. Dunia resensi telah ia tinggalkan sejak hijrah ke kota Pati dan memilih menjadi editor dari berbagai penerbit buku di Indonesia. Selain itu ia sesekali mengisi materi-materi ke penulisan dari satu lembaga ke lembaga yang lain. Hal itu di namakan kerja pengabdian dan gajinya langsung dari Tuhan. Ia bermimpi ingin membuat pesantren penulis, pokoknya yang berhubungan dengan dunia tulis menulis. Mimpinya sangat besar namun tekatnya yang kurang besar (slow..mas Iq)
Â
Perintah Kedua: Bacalah
Bacalah banyak-banyak, bacalah semuanya, dengan lahap. Fernando Bentez, seorang kawan lama, penulis dahsyat kronik kebudayaan-kebudayaan Indian di Meksiko, punya kartu nama yang cuma bertuliskan: Fernando Bentez, Pembaca Novel.
Kalau soal baca membaca penemu Reading Record sebagai pemegang posisi pertama yaitu Peng Kheng Sun. Ia sangat telaten, sabar menuliskan dalam catatan-catatan kecil tentang apa yang di bacanya dari sebuah buku. Hal demikian hanya mampu di lakukan oleh orang yang candu akan bacaan dan juga penulis kawakan dengan setiap minggu karyanya selalu di muat berbagai media di Indonesia dengan honor tak seberapa.
Untuk posisi kedua di oleh Ratna Andi Irawan, dia sangat suka dengan membaca. Mempunyai berbagai koleksi buku dari berbagai disiplin ilmu. Akan tetapi menulisnya masih kumat-kumatan. Belum disiplin, belum intens. Ia menulis ketika ada pesanan dan paksaan. (santai bro...)
Padahal penulis adalah perintis bacaan, pelindung buku-buku, perongrong yang ngotot: harga buku mestinya tidak menjadi penghalang bacaan di negara-negara yang lebih miskin atau kelas-kelas tak berpunya. Dirikan perpustakaan-perpustakaan umum yang terbuka untuk semua. Biarkan anak muda tahu bahwa bila mereka tak ada uang untuk membeli buku, ada perpustakaan-perpustakaan umum tempat mereka bisa membaca buku menurut Carlos Fuentes. Â
Â
Perintah Ketiga: Tradisi dan KreasiÂ
Keduanya kusatukan sebab aku yakin betul bahwa tak ada ciptaan sastra baru tanpa topangan tradisi sastra sebelumnya, sebagaimana halnya takkan ada tradisi yang bertahan tanpa kesegaran kreasi baru. Tak ada T. S. Eliot tanpa John Donne---tapi mulai sekarang, tak ada pula John Donne tanpa T. S. Eliot. Dengan begitu penulis di hari kemarin menjadi penulis di hari ini, dan penulis hari ini menjadi penulis hari esok. Hal ini karena pembaca tahu sesuatu yang diabaikan oleh penulis: pembaca tahu masa depan, dan pembaca Don Quixote berikutnya adalah pembaca pertama Don Quixote.
Di Indonesia tradisi menulis kalah dengan tradisi lisan; orang di katakan pintar dan lain sebagainya itu di lihat dari omongannya. Apabila orang tersebut bisa ngoceh dengan berbusa-busa dan mengutip istilah-istilah planet yang jarang di ketuai oleh orang kampung seperti saya, maka orang tersebut di katakan pintar dengan berbagai talenta.
Menulis dalam dunia pendidikan kita sekarang bukan sebagai harga mati. Akan tetapi sebagai pelengkap administrasi. Baru tahun ini pemerintah memberikan sebuah kebijakan yaitu seorang tenaga pendidik harus mampu menulis karya baik ilmiah atau biasa dan harus masuk media. Pemerintah memaksa akhirnya banyak cara untuk menjadi penulis secara cepat dan tepat. Padahal dalam dunia literasi penulis cepat dan tepat tak ada.
Â
Perintah Keempat: Imajinasi
Imajinasi adalah perempuan gila dalam rumahtangga, kata novelis Spanyol Perez Galds. Perempuan gila yang bukan dikurung di loteng seperti dalam fiksi zaman Victoria tapi membuka lebar-lebar semua jendela, menghormat takzim pada vampir-vampir yang tidur di ruang bawah tanah, tapi terbang keluar dan membikin onar di Madrid, Meksiko, atau Manhattan untuk melihat apa yang sesungguhnya berlangsung di kamar-kamar tidur dan ruang-ruang kenegaraan.
Imajinasi (lamunan) bagi seorang penulis melamun adalah sebuah pencarian ide, untuk menghasilkan karya yang dapat menambah ekonomi. Akan tetapi lamunan bukan seorang penulis yang ada adalah kerasukan jin dan sejenisnya. Saya pribadi apabila akan menulis sebuah puisi tentu harus berimajinasi terlebih dahulu, berandai-andai.
Â
Perintah Kelima: Realitas Sastra
Yang artinya realitas sastra tidak terbatas hanya sebagai cerminan patuh dari realitas objektif. Ia menambahkan pada realitas objektif sesuatu yang sebelumnya tak ada di sana. Ia memperkaya dan melambungkan realitas primer. Bayangkan -- coba bayangkan dunia tanpa Hamlet atau Don Quixote. Kita takkan berlambat-lambat memahami bahwa Pangeran Denmark dan Ksatria Berparas Duka itu kadar "realitasnya" sebanyak atau lebih tinggi daripada kebanyakan tetangga kita.
Maka sastra membentuk realitas yang tidak bisa menceraikan dirinya dari lingkungan historis --secara fisik, kronologis, geografis, imajinatif---tempatnya berlangsung. Itu sebabnya penting untuk membedakan sastra dari sejarah dengan pertimbangan premis berikut ini: Sejarah --meski terdengar janggal---masuk dalam jagat logika, artinya zona univokal: serbuan Napoleon ke Rusia berlangsung pada 1812. Kreasi sastra, sebaliknya, masuk dalam semesta puitis plurivokal: Apa hasrat-hasrat kontradiktif yang merisaukan batin Natasha Rostova dan Andrei Volkinski dalam novel Tolstoy?
Sastra adalah sebuah bentuk etika dan estetika dalam kehidupan. Tentang bagaimana kita bertingkah, berinteraksi dengan masyarakat luas. Sebab sastra mewakili jadi diri kita masing-masing. Dan kejujuran pribadi seorang sastrawan harus di tegakkan.
Perintah Keenam: Sastra dan Zaman
Sastra mengubah sejarah --apa yang berlangsung di medan tempur Waterloo atau apa yang berlangsung di kamar pengantin Natasha Rostova dan Pierre Bezhukov---ke dalam puisi dan fiksi. Sastra melihat sejarah, dan sejarah mensubordinasikan diri kepada sastra sebab sejarah tak mampu melihat dirinya sendiri tanpa bahasa.
Dari karya-karya sastra peradaban zaman dapat di baca. Menurut saya, karya sastra menasihati tapi tidak melukai. Meskipun sedih akan nampak bersenang hati, itulah yang saya alami ketika menulis puisi.
Â
Perintah Ketujuh: Kritik Sesungguhnya
Begitu terbit, karya sastra tak lagi menjadi milik penulisnya untuk menjadi milik pembaca. Ia juga menjadi sasaran kritik. Dan ketika kubilang "kritik," yang aku maksud adalah sebuah keterampilan yang tidak lebih unggul tidak lebih rendah dibanding karya yang dibahas, tapi lebih bersifat setara. Kritik yang sama tinggi dengan karya yang dikritik. Dialog antara karya dan kritik atasnya.
Saya adalah salah satu orang yang karyanya amat membingungkan sekali. Bahkan sebagian pembaca tidak mengetahui maksud dan tujuan tentang apa yang saya tulis. Maka dari itu setiap saya menulis penulis senior M Iqbal Dawami selalu dengan telaten mengedit tulisan saya. Meskipun pada akhirnya ia selalu bila hal-hal yang belum jelas akan di atur di kemudian hari.
Â
Perintah Kedelapan: Setia pada diri sendiriÂ
Ini anjuranku untuk penulis muda. Jangan biarkan dirimu dirayu oleh keberhasilan instan atau ilusi keabadian. Kebanyakan buku yang laris musiman bisa dengan lekas tertelan ke dalam bulir-bulir pasir lupa, dan yang penjualannya buruk di saat ini bisa jadi terus terjual di masa depan. Stendhal contoh bagus untuk kedua kasus ini. Anthony Adverse, yang luar biasa laris pada 1933, adalah contoh kasus pertama. Pada tahun itu juga Faulkner menerbitkan buku tak laris yang terus dibaca orang sampai jauh ke depan: Light in August.
Perintah Kesembilan: Kesadaran akan Tradisi dan KreasiÂ
Kesadaran bahwa penulis muda harus memiliki tradisi sekaligus kreasi. T.S. Eliot, tentunya, telah menuliskan esai yang definitif tentang tema ini.
Namun demikian izinkan aku membedakan dua landaian. Yang satu adalah posisi sosial penulis di antara masa lalu dan masa depan pada sebuah masa kini yang tidak mengizinkan kita lepas dari iklim politik. Yang ku maksud dengan ini bukanlah keterlibatan wajib (engagement) ala Sartre. Yang ku maksud adalah atas nama pilihan bebas warga negara.
Penulis patuh pada kewajiban sosialnya ini dengan menjaga agar imajinasi dan bahasa terus hidup dalam tulisannya. Bahkan sekalipun bila si penulis tidak punya opini politik, ia menyumbang pada kehidupan kota --polis---berkat pengembaraan imajinasi dan akar bahasa. Tak ada masyarakat bebas tanpa penulis, dan bukan tanpa sebab rezim-rezim totalitarian dengan sigap mencoba membungkam para penulis.
Namun, berdiri di alun-alun umum, sendiri dengan buku notes dan pulpennya (dalam kasusku), atau dengan komputer mereka (seperti kebanyakan penulis zaman ini), penulis memberi nyawa, situasi, daging, dan suara pada pertanyaan besar abadi para laki-laki dan perempuan dalam kelebatan selintas kita di muka bumi.
Apa hubungan antara kebebasan dan suratan takdir? Dengan langkah apa kita dapat membentuk nasib kita sendiri?
Bagian mana dari hidup kita yang bisa beradaptasi pada perubahan dan mana yang pada ketetapan? Dan terakhir, mengapa kita mengidentifikasi diri berdasarkan ketidaktahuan atas apakah kita ini---persatuan jiwa raga? Kita tidak bisa menjawabnya. Tapi kita justru terus menjadi apa yang tidak kita pahami itu.
Jadi sastra adalah pendidikan rasa, sekolah kecerdasan dan kepekaan yang harus ada melalui medium yang paling membedakan kita dari dunia alam benda: kata-kata.
Â
Perintah KesepuluhÂ
Perintah kesepuluh, oleh karenanya, kuserahkan pada tangan tiap-tiap dan semua kalian imajinasimu, kata-katamu, dan kebebasanmu.
Perintah Kepada Penulis Muda adalah perintah dari Carlos Fuentes seperti saya sebutkan di awal, saya hanya sebagai penyunting dan membagikan apa yang saya dapatkan. Selain itu saya juga sedikit menambahi komentar yang sekiranya relevan dengan karya ini. Hutan kota, taman kota merindukan taman dan hutan pustaka yang tak ada di setiap kota di Indonesia.
Â
Desember 2015-2022
Jl. Dr. Soesanto No 4 Pati
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H