Tidak ada yang ia inginkan selain pulang ke rumah, bersama anak dan cucunya. Tetapi ia berusaha menahan sekuat tenaga. Tidak, ia tidak bisa pulang. Kasihan anak dan cucunya harus direpoti dengan keberadaannya.
Sejak muda, Ratna sudah berpikir bahwa ia akan menghabiskan usia senjanya di panti jompo. Ia memiliki pengalaman mengurus orang tuanya yang sakit. Baginya, rasanya tidak enak karena merepotkan. Banyak kesempatan hidup yang ia lewatkan dulu karena harus mengurus orang tuanya.Â
Ratna ingin keturunannya lebih bebas mengejar mimpinya. Wanita usia 86 tahun itu tidak ingin anak dan cucunya menyuapinya, menggantikan popok dewasa, memapahnya, atau menungguinya di rumah. Sudahlah, biar saja suster yang mengurusnya.
Ia sudah berada di pantai jompo selama 15 tahun. Hari pertama di panti, Ratna merasa senang karena banyak bertemu dengan orang-orang sebayanya. Rata-rata teman-temannya sudah meninggal, ia lebih sendirian berada di luar. Di panti ini, ia bisa bermain kartu, olahraga tai chi, atau menertawakan teman-temannya yang mulai pikun.
Anak dan cucunya rutin mengunjungi Ratna setiap akhir pekan. Terkadang mereka membawakan buah-buahan, alat dan bahan untuk merajut, atau pakaian baru.Â
Selama berada di panti, ia cukup senang dengan pertemuan rutin dengan keluarganya. Namun, sudah satu tahun belakangan ini ia merasa sangat rindu rumah. Terkadang ia bermimpi seperti apa kondisi rumahnya, apakah kamar tidurnya masih ada atau tidak, apakah foto-fotonya masih terpajang atau sudah diturunkan ...
Ia juga rindu dengan suasana dapur. Ia rindu memasak untuk anaknya, seperti yang ia lakukan saat buah hatinya masih sekolah. Ia rindu berkebun di halaman rumah yang selalu menuai banyak pujian para tamu. Di situ ia merasa bangga. Cuping hidungnya berkembang setiap ada yang memuji.
Tetapi keinginannya untuk pulang ke rumah disimpannya rapat-rapat. Ia tidak ingin anak dan cucunya terbebani dengan keberadaannya. Lagipula, bagaimana jika kamarnya sudah tidak ada karena dipakai sang cucu yang kini menginjak bangku SMA. Mereka jadi harus merapikan kamar lagi. Selain itu, mereka juga tidak pernah meminta Ratna untuk kembali ke rumah.
"Sudahlah, aku di sini saja sampai ajal menjemputku," batin Ratna.
Ia menunggu kedatangan suaminya yang sudah lama meninggal dunia. Terkadang ia mengigau di dalam tidur agar sang suami segera menjemputnya agar mereka bisa berbahagia di Nirwana. Berdua, seperti dulu kala.
Suatu hari, anaknya datang ke panti. Pria berusia 55 tahun yang rambutnya mulai putih karena uban itu mengatakan sesuatu yang sudah lama ditunggunya, "Ibu, mau pulang ke rumah?"Â
Betapa tergetarnya hari Ratna mendengar kata-kata itu. Tidak disangka akhirnya ia bisa kembali ke rumah. "Iya," jawabnya.
Setelah suster membereskan barang-barangnya, Ratna dibawa ke mobil dan berkendara menuju rumah. Ia sudah tidak ingat dengan kondisi jalan yang ia lewati terakhir kali. Sudah banyak berubah. Gedung-gedung berubah, billboard menghias kiri dan kanan jalan, pohon-pohon sudah ditebang.
Akhirnya Ratna sampai di rumah yang ia tinggali seumur hidupnya sebelum pindah ke panti. Ia terkejut karena ternyata perbedaan rumahnya sangat jauh sekali. Jika dulu rumah tua peninggalan Belanda, kini jadi rumah modern yang monokrom dan kaku. Pekarangan rumahnya juga hilang berganti paving block.
Ratna menemukan rumah yang kosong, tidak ada menantu dan cucunya. Anaknya hanya memberi tahu, "Kami baru berpisah."
Wanita tua itu hanya bisa menatap sedih kepada anak satu-satunya itu. Ia tidak ingin anaknya menghabiskan masa tua sendirian seperti dirinya. Namun sang anak buru-buru menghibur ibunya agar tidak perlu ikut sedih dan khawatir karena ia baik-baik saja.
Kamar Ratna masih ada, hanya jauh lebih rapi dari terakhir kali ia tinggalkan. Anaknya bilang kamar itu digunakan sebagai kamar tamu selama ia tidak ada. Barang-barang yang sudah usang dan tidak diperlukan sudah dibuang. Foto-foto Ratna berganti lukisan yang ia tidak mengerti artinya.
"Ya sudah, ibu istirahat ya. Nanti akan ada suster ikut tinggal di sini untuk mengurus ibu. Aku mandi dulu ya," ujar anaknya sambil menutup pintu kamar.
Ratna rebahan di kasur yang jauh lebih empuk dari kasur di panti. Ia merasa lelah karena perjalanan tadi menuju rumah. Ratna menutup kedua matanya. Sebelum jatuh tertidur, ia membatin bahwa akhir ia pulang, namun ke rumah yang sepi dan asing baginya.
Di dalam mimpinya, Ratna bertemu sang suami yang wajahnya masih seperti yang ia ingat terakhir kali. "Ikutlah denganku, ke rumah yang sesungguhnya," kata sang suami sambil mengulurkan tangannya. Mulanya Ratna ragu, namun ia menggapainya dengan tangan yang tremor. Kepalanya mengangguk mengiyakan.
Semenjak saat itu, Ratna tidak pernah terbangun dari tidurnya. Ia berbahagia karena sudah pulang ke rumah yang sesungguhnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H