Oleh : Nia Ermawati
Dua Metode Penentuan Awal Syawal
Di Indonesia terdapat banyak sekali perbedaan, seperti perbedaan suku, ras, agama, bahasa, budaya, dan perbedaan dalam melaksanakan ibadah. Misalnya dalam menentukan awal Syawal. Adanya perbedaan awal Syawal tersebut dikarenakan adanya perbedaan metode dalam menentukannya.Â
Di Indonesia sendiri ada dua metode yang umunya digunakan untuk menentukan awal syawal, yaitu metode rukyatul hilal dan metode hisab hakiki wujudul hilal, masing-masing dari metode tersebut mempunyai landasan, dasar, dan dalil yang kuat.
Metode pertama yaitu metode rukyatul hilal yang digunakan oleh pemerintah dan organisasi Islam Nahdlatul Ulama. Metode rukyatul hilal adalah aktivitas mengamati bulan baru atau bulan sabit dengan menggunakan teropong atau teleskop secara langsung. Disebut bulan sabit karena yang diamati adalah keberadaan bulan di awal yang bentuknya masih sabit belum terlihat bulat sempurna dari bumi.Â
Jika hilal sudah terlihat pada maghrib waktu setempat maka sudah memasuki bulan Syawal dan disunnahkan melaksanakan shalat Idul Fitri di keesokan harinya. Meskipun hilal sudah terlihat namun ada kriteria yang harus dipenuhi yaitu bulan telah memiliki ketinggian minimal 3 derajat dan elongasinya minimal 6,4 derajat, kurang dari kriteria tersebut maka di keesokan harinya masih diwajibkan untuk melaksanakan Puasa Ramadhan. Jika hilal belum terlihat maka akan diistikmalkan atau penggenapan Bulan Ramadhan menjadi 30 hari.
Yang kedua yaitu metode hisab hakiki wujudul hilal. Metode ini digunakan oleh organisasi Islam Muhammadiyah untuk menentukan awal Ramadhan dan awal Syawal yang dinaungi oleh Majelis Tarjih dan Tajdid Muhammadiyah.Â
Metode hisab adalah perhitungan waktu yang merujuk pada posisi geometris benda-benda langit. Dalam metode hisab, awal dan akhir bulan ditentukan oleh penghitungan hari kalender Hijriyah berdasarkan kalkulasi matematis dan astronomis.Â
Muhammadiyah menetapkan beberapa kriteria dalam melaksanakan metode hisab antara lain terjadi ijtimak yaitu bulan, bumi, matahari dalam posisi garis bujur yang sama alias sejajar, ijtimak terjadi sebelum matahari terbenam, dan pada saat matahari tenggelam piringan atas bulan berada di atas ufuk. Jika salah satu kriteria tersebut tidak terpenuhi maka bulan Ramadhan akan digenapkan menjadi 30 hari.
Konflik yang timbul akibat adanya perbedaan awal Syawal
Perbedaan sejatinya suatu hal yang wajar terjadi di tengah keheterogenan masyarakat dan akan bagus kiranya jika perbedaan tersebut membuat kita saling belajar satu sama lain, namun tak jarang perbedaan tersebut justru membuat ketegangan antara kelompok tertentu yang akhirnya menimbulkan gesekan-gesekan sosial yang terjadi di masyarakat.Â
Belum lama ini ramai di media sosial tentang peneliti BRIN (Badan Riset dan Inovasi Nasional) atas nama Andi Pangerang Hasanuddin yang mengatakan bahwa akan menghalalkan darah warga Muhammadiyah atau dengan kata lain ingin membunuh semua warga Muhammadiyah.Â
Usut punya usut akar masalah dari pernyataan peneliti BRIN tersebut adalah karena emosi sesaat yang disebabkan perbedaan lebaran 1444 Hijriyah antara Muhammadiyah dan pemerintah. Muhammadiyah melaksanakan lebaran 1444 Hijriyah di Hari Jum'at, 21 April 2023 sedangkan pemerintah melaksanakan lebaran 1444 Hijriyah di Hari Sabtu, 22 April 2023.
Polemik tersebut dimulai dari unggahan Facebook yang ditulis oleh Profesor Riset Astronomi dan Astrofisika Badan Riset dan Inovasi Nasional, Thomas Djamaluddin. Beliau menyebut bahwa Muhammadiyah tidak taat dengan keputusan pemerintah terkait penetapan awal Syawal 1444 Hijriyah, dan juga menyinggung permintaan jamaah Muhammadiyah untuk bisa mendapatkan fasilitas shalat Idul Fitri. Kemudian unggahan tersebut dikomentari Andi Pangerang Hasanuddin yang berisi ujaran kebencian berupa penghalalan darah warga Muhammadiyah, yang akhirnya membuat kegaduhan tersebut berbuntut panjang hingga dilaporkan ke polisi. Komentar Andi dan Thomas dianggap menimbulkan rasa kebencian dan permusuhan terhadap individu atau kelompok tertentu berdasarkan SARA.
Namun Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah tak ambil pusing dengan pernyataan Andi Pangerang Hasanuddin. Mengutip dari ketua Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah, Dadang Kahmad, beliau meminta warga Muhammadiyah tetap bersikap bijak dan tidak terpancing dengan cemoohan, sinisme, tudingan, dan hujatan dari Andi Pangerang Hasanuddin. Menurut Dadang Kahmad, Muhammadiyah sudah sering mendapatkan pengalaman negatif, seperti pernah dituding kafir saat K. H. Ahmad Dahlan memelopori arah kiblat yang benar secara syariat Islam.
Karena kasus yang telah menjadi buah bibir di kalangan masyarakat, Thomas Djamaluddin akhirnya meminta maaf ke jamaah Muhammadiyah atas kegaduhan yang diperbuatnya dengan Andi Pangerang Hasanuddin. Beliau menjelaskan, komentarnya semata-mata ditujukan sebagai kritik berlandaskan ilmu astronomi yang dipelajarinya. Mengutip dari pernyataan Thomas bahwa beliau tidak mempunyai kebencian dan kedengkian terhadap Muhammadiyah, hanya saja beliau mendorong perubahan untuk bersama-sama untuk mewujudkan kesatuan umat secara nasional.
Padahal ini bukan pertama kalinya lebaran antara Muhammadiyah dan pemerintah jatuh di hari yang berbeda, tetapi masih saja diperdebatkan dan dipermasalahkan.Â
Sebenarnya perbedaan tidak seharusnya menjadi masalah yang dapat menimbulkan perpecahan di antara kalangan masyarakat. Justru dengan adanya perbedaan tersebut memberikan pemahaman mendalam bagi umat islam bahwa ilmu itu sangat luas. Dari perbedaan itulah masyarakat dapat belajar bertenggang rasa dan bertoleransi sebab setiap keputusan yang diambil baik lebaran di Hari Jumat ataupun lebaran di Hari Sabtu, sama-sama mempunyai dasar keilmuan dan landasan dalam menetapkannya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H