Mohon tunggu...
Nia Debrita
Nia Debrita Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Universitas Lampung

Mahasiswa S1 Ilmu Administrasi Negara, Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, Universitas Lampung

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Patologi Birokrasi: Hambatan dan Strategi Mengoptimalkan Pelayanan Publik

11 Desember 2023   23:47 Diperbarui: 11 Desember 2023   23:47 197
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Patologi birokrasi adalah suatu kondisi di mana sebuah sistem birokrasi mengalami gangguan atau disfungsi dalam pelaksanaan tugasnya. Ini bisa mencakup berbagai masalah seperti korupsi, lambatnya pengambilan keputusan, kebingungan dalam hierarki, atau kebijakan yang tidak efektif. Patologi birokrasi dapat menghambat efisiensi, transparansi, dan kinerja optimal dalam suatu organisasi. 

Menurut Thompson (dalam Mahewari, 2002; Rainey, 2009) bureaupathology atau bureaucratic pathology merupakan tindakan administratif dari individu yang merasa tidak aman dalam posisinya dan kemudian menggunakan kekuasaannya untuk menguasai dan mengendalikan orang lain. Sedangkan menurut Downs patologi birokrasi sama sekali tidak bertujuan untuk memajukan visi dan misi dari sebuah organisasi melainkan hanya untuk merefleksikan kebutuhan-kebutuhan individu saja. Sondang P. Siagian (1994: 35-81) menyatakan secara keseluruhan bahwa patologi birokrasi merupakan gangguan yang terjadi pada sistem birokrasi negara yang timbul karena tindakan para birokrat serta situasi yang memberikan peluang terjadinya hal tersebut, termasuk aspek politis, ekonomis, sosial, budaya, dan teknologis. 

Sandang P. Siagian (1994) menyebutkan terdapat 5 contoh patologi birokrasi yang umumnya terjadi, antara lain:

1. Patologi dari sudut pandang serta gaya kepemimpinan pejabat birokrasi: Seperti adanya penyalahgunaan wewenang, suap, sikap arogan, mengintimidasi, kredibilitas rendah, dan melakukan praktik nepotisme.

2. Patologi karena kekurangan pengetahuan dan keterampilan para pelaksana tugas: Termasuk kurang teliti, kurang cekatan, ketidakmampuan menjelaskan kebijakan pimpinan, kepuasan diri secara berlebihan, pengambilan keputusan tidak dengan pertimbangan yang matang, keterbatasan keterampilan, ketidakproduktifan, dan kebingungan.

3. Patologi yang muncul akibat adanya pelanggaran norma hukum dan peraturan: Melibatkan tindakan melanggar norma hukum dan peraturan, seperti menerima suap, korupsi, ketidakjujuran, kleptokrasi, dan manipulasi anggaran.

4. Patologi yang tercermin dalam perilaku disfungsional atau negatif para birokrat: Termasuk tindakan sewenang-wenang, adanya persekongkolan, perilaku diskriminatif, dan ketidakdisiplinan.

5. Patologi yang muncul karena situasi internal dalam pemerintah: Meliputi eksploitasi terhadap bawahan, motivasi yang tidak sesuai, beban kerja berlebihan, dan kondisi kerja yang kurang kondusif.

Salah satu jenis patologi birokrasi dalam pemerintahan yaitu terjadinya maladministrasi. Maladministrasi dalam birokrasi dapat diartikan sebagai suatu tindakan yang tidak baik dari birokrat dalam memberi pelayanan kepada masyarakat. Maladministrasi muncul pada abad ke 19 dimana maladministrasi ini diartikan sebagai bentuk gagalnya birokrasi dalam menjalankan tugas mengurus kepentingan masyarakat, kurangnya inisiatif serta tanggung jawab dari pegawai birokrat (pemerintah). 

Cope (1977) menyebutkan beberapa faktor penyebab terjadinya maladministrasi yakni korupsi, integritas yang masih rendah, konflik dari dalam (internal) birokrasi, konflik eksternal, kurangnya displin, serta hubungan antar pegawai yang tidak baik.

Berikut beberapa bentuk maladministrasi menurut Cheung (2001) dalam Wahyudi,R. : 

1. Menolak untuk memberi pelayanan kepada masyarakat

2. Egois dan ingin berkuasa

3. Tidak adanya evaluasi untuk menilai pekerjaan pegawai

4. Memgedepankan keuntungan untuk diri sendiri

Maladministrasi  ini juga dapat terjadi karena tidak adanya tujuan yang menjadi fokus utama, tidak mempunyai prinsip, tidak memiliki skill pada pekerjaan yang sedang dilakukan, tidak ada usaha untuk memperbaiki kualitas dalam pelayanan, melakukan hal yang sia-sia dan tidak ada manfaat yang timbul dari yang dikerjakan Peter (2003).

Contoh kasus Maladministrasi di Indonesia 

Salah satu contoh kasus maladministrasi di Indonesia terjadi dalam pelayanan publik, khususnya terkait dengan penerbitan Surat Izin Mengemudi (SIM). Dalam kasus ini, terdapat ketidaksesuaian antara aturan yang berlaku dan pelaksanaan pelayanan di lapangan. Aturan lama terkait dengan penerbitan SIM telah dicabut, namun aturan baru yang menggantikannya belum  diterbitkan. Sebagai akibatnya, proses penerbitan SIM masih mengikuti aturan lama yang sebenarnya sudah tidak berlaku lagi. Pihak yang terlibat dalam penerbitan SIM menggunakan kebijakan lama karena belum ada regulasi terbaru yang mengatur materi ujian dan proses penerbitan SIM. Hal ini menciptakan kebingungan di kalangan masyarakat, petugas pelayanan, dan instansi terkait. Ombudsman telah mengidentifikasi masalah ini sebagai kasus maladministrasi karena tidak adanya koordinasi yang efektif antara kebijakan dan pelaksanaan di lapangan. Akibatnya, pelayanan publik yang seharusnya efisien dan sesuai dengan aturan yang berlaku menjadi terhambat dan tidak efektif. Kasus ini mencerminkan tantangan dalam penegakan aturan dan koordinasi antara lembaga pemerintah yang dapat mengakibatkan maladministrasi dalam pelayanan publik di Indonesia. Oleh karena itu, dibutuhkan upaya perbaikan dalam bentuk koordinasi yang lebih baik antara instansi terkait dan pembuatan regulasi yang jelas untuk mencegah terjadinya maladministrasi di masa mendatang.

Upaya Meningkatkan Kualitas Pelayanan 

Dalam upaya peningkatan kualitas pelayanan publik, maka perlu dilakukan beberapa upaya  untuk melakukan perubahan jika hanya mengandalkan perubahan Undang-Undang tidak akan cukup maka harus dibarengi dengan perubahan pola pikir, sikap atau perilaku, serta meningkatkan rasa tanggung jawab dalam menjalakan peraturan yang sudah ditetapkan. untuk melakukan suatu perubahan dapat kita mulai dari menghilangkan kebiasaan buruk dalam birokrasi, yang akan dibarengi dengan perubahan sikap  pegawai yang lebih baik tentunya, mau berkomitmen serta membuat sebuah pelatihan untuk meningkatkan kemampuan pegawai agar pelayanan yang diberikan juga semakin baik. Menanamkan ajaran agama dan norma sosial juga menjadi suatu hal yang penting untuk membentuk akhlak yang baik, dapat dipercaya (amanah), jujur dan rendah hati. Penanaman nilai agama dan norma sosial ini juga menjadi salah satu solusi untuk menghindari terjadinya maladministrasi.

Penulis : 

Putri Novianti, Nia Debrita Br Surbakti 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun