Tak pelak dia terjatuh. Bunyi patahan tadi menarik perhatian teman-teman yang sedang bermain dibawah. Serentak mendongak keatas. Sebuah bayangan hitam melayang jatuh dengan cepat, menjejak tanah padat di areal halaman sekolah dengan posisi kepala berada dibawah.Â
Darah mengucur deras keluar dari seluruh badan, membasahi tanah sekitar. Anak-anak yang riang mendadak ketakutan dan lari ke segala arah meninggalkan korban sendirian. Sebagian menuju rumah masing-masing, sebagian lagi lari menuju bukit Kedang di utara desa Watuwawer, bersembunyi di kebun bapa Ago Kewole.
Gegerlah seisi kampung. Beberapa orang berlarian datang menghampiri. Mereka menyaksikan dari jauh, seseorang terkulai tidak bergerak, dengan darah menggenang disekitarnya.Â
Menyaksikan keadaan ini, beberapa orang lari ke rumah bapak mantri Niko Noning memberitahu musibah ini dengan harapan segera datang memberi pertolongan. Tubuh kaku itupun diperiksa. Hasilnya sudah tidak ada napas. Mayat korban dibawah pulang kerumah untuk disemayamkan selanjutnya di kebumikan.
Keheboan lain terjadi. Mama Towe Baha Uran Lejap, menangis sepanjang jalan ke kebun mereka di Timwuhun sambil memberitakan kepada banyak orang bahwa Em Khebe (Rofinus Emi Lejap) jatuh dari pohon dan meninggal.Â
Saat itu Em Khebe sendiri sedang kerja kebun. Rupa-rupanya celana pendek korban pada saat jatuh dan meninggal, sama dengan celana pendek Em Khebe hari itu, sama sama memakai celana Rider pendek dengan motif yang sama.
Menjelang malam, teman-teman korban yang tadi siang lari keatas bukit, mulai turun ke kampung dalam diam dengan perasaan was-was. Rasa takut menggelayut. Takut ditangkap polisi karena dituduh menjadi penyebab jatuhnya teman mereka.
Atas arahan orang tua masing-masing, dan untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan, mereka semua diharuskan membawa potongan kain hitam, dimasukan kedalam peti mati teman mereka. Cara ini dipercaya agar mereka terhindar dari mara bahaya dikemudian hari.
Peristiwa ini kemudian menjadi legenda setiap angkatan. Semua mewarisi kisah tragis ini. Pohon besar ditengah halaman sekolah ini menjadi pengingat, bahwa darinyalah seorang anak menjadi korban.Â
Dari pohon ini pula menyembul dan selalu memberi rasa takut jika anak-anak bermain sampai sore. Mereka selalu mengingat kejadian ini sehingga selalu pulang lebih awal.Â
Jika ada yang membandel sampai sore, teriakan nama korban dari seorang teman mereka akan membuyarkan sekaligus membubarkan kerumuman yang sedang asik bermain. Apalagi, tidak berselang lama sejak kejadian itu, pohon Rita besar dekat rumah korbanpun tumbang. Kejadian ini menambah daya magis pada peristiwa tersebut.