Mohon tunggu...
Niko Hukulima
Niko Hukulima Mohon Tunggu... Human Resources - Karyawan Swasta dan Aktivis Credit Union Pelita Sejahtera

Hidup terlalu singkat untuk disia-siakan. Berusaha untuk lebih baik hari demi hari.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Sekolah untuk Apa?

19 Agustus 2021   07:15 Diperbarui: 19 Agustus 2021   08:29 170
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Beberapa hari lalu (15/08/21) saya dapat kehormatan mendapatkan telepon dari seseorang yang punya peran sangat besar mengantar saya sampai ke 'Kompas'. Koran ternama di Indonesia, leader dalam berita, dan masih menjadi patokan ketika orang berbicara tentang media itu tentu saja menjadi impian banyak orang. 

Orang bilang Kompas khususnya halaman opini adalah kampus pendidiakn bagi para pemikir untuk menuangkan idenya. Kalau belum menulis di Kompas (kata orang), belum jadi penulis.

Tapi saya tidak mau bicara tentang hal itu. Saya mau bicara tentang orang Kompas yang menelepon saya beberapa hari yang lalu. 'Si pembuka jalan' untuk saya  lebih  terlibat di kompas ini,  setelah menerima beberapa tulisan saya pada awal tahun 2000, kemudian mengontak saya.  Saat  itu beliau  masih menjadi Kepla Desk Opini.

Kami dua bicara panjang lebar (waktu itu). Ia tertarik dengan tulisan-tulisan saya tentang pendidikan dan mengajak agar bisa ngobrol di Kompas suatu saat, hal mana tentu saja saya sambut dengan senang hati.

Di antara banyak hal, ia ceritakan bahwa saat masih belia dulu,ia banyak diarahkan oleh pak Marcel Beding (Wah, saya kecipratan berkat karena sudah ditanamkan oleh orang sepulau, sama2 dari Selatan pula)

Kini dia sudah pensiun. Oh ya, dari Desk Opini ia sempat jadi Manajer Litbang sebelum akhirnya pensiun. Yang saya tahu, selagi menjadi Kepala Desk, Pendidikan merupakan tema favorit. Ia selalu 'concern' karena pendidikan baginya adalah jalan menuju perubahan transfromatif bangsa. Yang lain bersifat aktual tetapi pendidikan yang dirancang kini akan memberikan arah pada bangsa ke depannya.

Dalam isi teleponnya kali ini (15/8/2021) ia juga bicara tentang pendidikan. Hanya saja kali ini ia bicara tentang pendidikan karakter. Katanya, melihat pendidikan kini, apa sebenarnya yang perlu dimulai dalam hal pendidikan karakter? Saya katakan secara sederhana saja. Pendidikan semestinya tidak memberikan anak-anak pengetahuan tetapi nilai-nilai yang memungkinkan mereka dapat melewati kehidupan ini dengan baik.

Dengan kata lain yang diberikan di sekolah bukan 'apa yang harus mereka kuasai', tetapi memberikan mereka nilai yang memungkinkan mereka melakukan sesuatu. Artinya, kalau apa yang dilakukan diddasarkan pada nilai maka mereka akan memiliki daya juang khusus  yang membuat mereka semakin mencintai, mendalami, dan melaksanakan pembelajaran dengan baik.

Telepon kami hanya sebentar saja. Ia kemudian meminta maaf karena ada telepon lain yang masuk, sambil meminta kapan-kapan bisa ngobrol lebih jauh. Saya pun mengiyakan sambil berharap pandemi segera selesai biar bisa bertemu. Tentu banyak cerita yang bisa disharingkan.

Setelah telepon beliau, saya coba melihat apa yang seharusnya jadi pertaruhan sekolah termasuk di masa pandemi ini? Nilai-nilai apa yang bisa djadikan pegangan anak dalam melaksanakan pembelajaran baik di rumah maupun di mana saja (termasuk nanti di sekolah?)

Untuk mendalami ini, saya sangat terinspirasi dengan sebuainstitusi pendidikan yang menetapkan 7 core values.

Menghormati (respect) sebagai nilai pertama. Bila orang menghormati orang lain (siapapun juga), maka ia membuka jalan, menjadikan orang lain sebagai rekan. Di sana orang tidak saja berdiri pada dirinya sebagai takaran tetapi turun dan mau hidup dan belajar bersama orang lain dalam suasana yang harmonis (harmnoy).

Masih pada bagian ini, nilai respect dan harmony yang dijiwai tidak bisa tidak berujung pada kemurahan hati (generosity). Orang tidak hanya empati dengan roang lain, dan tidak sekadar mempertahankan harmoni demi harmoni. Ia juga terpanggil untuk melakukan sesuatu dalam skala apappun sejauh ada dalam jangkauannya. 

Malah generosity seperti ini terutama di masa pandemi tidak lagi menjadi seruan moral tetapi menjadi sebuah kewajiban. Ketimpangan sosial semakin besar mendorogn seseorang untuk merancang sebuah tatanan dunia yang lebih baik dengan menetapkan standar keadilan yang lebih didamakan untuk menjadikan dunia lebih nyaman dihuni bersama.

Nilai berikut adalah tanggungjawab (responsibility).  Tanggungjawab tidak saja pada tugas yang diberikan tetapi menemukan pendasaran terhadap alasan melaksanakan sesuatu. Ia bisa menjelaskan dengan alasan yang kuat dan dasar yang baik tentang apa yang ia putuskan untuk dilaksanakan dalam hidup. 

Ia lakukan seusatu karena baik. Inilah yang menjadi komitmen dalam dunia kerja yang menjadiakn seseorang tidak sekadar diawasi tetapi memiliki rasa tanggungjawab dari dalam.

Pada sisi ini maka integrity akan lahir sebagai jawabannya. Tanggungjawab yang dilakukan atas akan kian kuat dan mendalam sehingga menjadikannya sebagai karakteristik diri. Ia disebut integritas karena apa yang dilakukan sesuai yang dikatakan. 

Atas kesadaran diri seperti ini maka dalam keadaan apapun termasuk dalam keadaan krusial seperti bencana ia akan tetap tangguh (resilience). Ia tahu setiap tantangan ada untuk bisa diatasi. Selagi ada nafas maka selalu ada harapan untuk berjuang (dum spiro spero, kata orang Laitn).

Ketangguhan untuk terus berusaha bukan sekadar seruan. Ia percaya bahwa semua yang ada memiliki tujuan dan dikehendaki oleh Dia yang telah merancang semuanya. Tuhan tidak saja menjadi tempat untuk besandar di saat kesulitan tetapi lebih dari itu ada kepercayaan bahwa dalam Tuhan, semua akan berakhir baik dan menyenangkan meski untuk sementara kita akan berhadapan dengan aneka tantangan.

Inilah nilai karakter yang perlu diyakinkan ada di setiap lembaga pendidikan. Mereka tidak pertama-tama berjuang untuk memberikan pengetahuan kepada siswa (hal mana siswa bisa peroleh di luar sekolah). Mereka tidak hanya menanamkan teori, tetapi memberikan mereka kemampuan yang memungkinkan mereka untuk mencari sendiri dalam dunia.

Apakah  nilai-nilai ini sudah ada dalam pendidikan kita? Apakah sekolah kita sudah memungkinkan lahir dan berkembangnya nilai-nilai ini? Kalau kita masih berkutat pada pengetahuan saja maka pandemi akan menggoyahkan kita dan terbukti banyak lembaga yang runtuh karena ketiadaan nilai.

Di sini terjawab bahwa kita sekolah bukan untuk mendapatkan pengetahuan. Kita sekolah untuk hidup. Karena itu, ajarilah anak-anak jalan agar mereka bisa sampai pada kehidupan dan menjadi lincah dalam hidup dengan nilai-nilai yang sudah ditanamkan (RB, 19/8/2021)

Model pikiran sederhana ini bisa dibaca dalam buku  GURU HEBAT ZAMAN NOW (Terbit di Gramedia 2019) dan PEMBELAJARAN JARAK JAUH YANG KREATIF (Gramedia 2021). Dalam bentuk buku dan E-book.

Robert Bala.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun