Dul Genuk (bukan nama sebenarnya) kali ini diminta untuk mewakili mengambil raport keponakannya yang sekolah di SMK bernuansa Islam. Setelah menyampaikan surat kuasa dari adiknya kepada guru wali kelas, dia dipersilakan memasuki ruang kelas. Suhu di ruang itu agak hangat karena tidak ada AC, namun terasa cukup nyaman. Dia pun sempat berkenalan dan ngobrol dengan beberapa wali murid.
Setelah acara dibuka, ibu guru wali kelas menyampaikan sambutan pengantar. Ada pesan-pesan penting yang disampaikan, tentu berkaitan dengan perilaku dan perkembangan peserta didik selama belajar pada semester yang sudah berjalan.
Wali kelas menanyakan, "Ibu dan Bapak sekalian, apakah Ibu-Bapak menginginkan anak-anak menjadi baik, shalih dan shalihah?"
Semua wali murid menjawab, "Ya, bu guru."
"Alhamdulillah. Kita semua pasti menginginkan hal tersebut. Dan Ibu-Bapak tidak salah menitipkan anak-anak di sekolah ini untuk kami didik. Namun, tentu saja bukan hanya peran para guru sebagai satu-satunya cara untuk menjadikan anak-anak sesuai harapan kita bersama," kata wali kelas.
Beliau melanjutkan, "Di sekolah memang tugas kami, namun di rumah adalah tugas Ibu-Bapak sekalian untuk mendidik mereka. Interaksi anak-anak lebih banyak dengan Ibu-Bapak dibanding dengan kami. Maka, hendaklah jangan sepenuhnya berharap atau pasrah bongkokan (bhs. Jawa) kepada kami saja!"
Para orang-tua yang hadir mulai mengernyitkan dahi, berusaha lebih fokus memerhatikan penjelasan wali kelas.
Selanjutnya wali kelas menyampaikan pertanyaan, "Apakah Ibu-Bapak di rumah melaksanakan shalat lima waktu? Sebab sebagian besar anak-anak mengatakan bahwa orang-tua mereka di rumah tidak shalat."
Tidak ada satu pun dari yang hadir menjawab pertanyaan tersebut. Hanya wajah-wajah mereka saja yang tertunduk malu.
Seolah tidak menunggu jawaban, Ibu wali kelas melanjutkan, "Itulah sebabnya kami merasa kesulitan menghadapi perilaku anak-anak. Disuruh shalat sulitnya bukan main. Akhlak mereka pun belum bisa dikatakan baik, unggah-ungguh atau tata krama masih kedodoran."
"Ketika kami tanyakan, "Apakah di rumah tidak pernah disuruh shalat?" Sebagian dari mereka menjawab tidak pernah. "Apakah di rumah tidak diajarkan tentang akhlak kepada orang yang lebih tua?" Sebagian dari mereka juga menjawab tidak pernah."
"Inilah Ibu-Bapak, fakta yang kami ketahui dari mereka. Anak-anak memerlukan contoh teladan yang baik dari orang-tua di rumah. Tidak bisa hanya mengandalkan para guru di sekolah saja." Penjelasan wali kelas ini begitu keras menampar para wali murid, menghunjam ke dalam hati sanubari. Tak satu pun dari wali murid yang berani berbicara. Suasana begitu hening. Wajah-wajah mereka tertunduk malu.
Beberapa saat kemudian Ibu wali kelas meredakan keheningan. "Ibu-Bapak yang saya cintai. Sanggupkah Ibu-Bapak mulai saat ini memberikan contoh yang baik kepada anak-anak di rumah?" Dengan intonasi dan nada suara agak rendah mereka serempak menjawab, "Sanggup!"
"Alhamdulillah. Kita harus berjuang bersama-sama untuk menjadikan anak-anak kita seperti yang kita harapkan. Agar bisa terwujud dengan baik, maka harus dimulai dari diri Ibu-Bapak sendiri sebagai contoh. Semoga kita tetap istiqamah dalam memperjuangkannya. Terima kasih Ibu-Bapak semuanya atas kerjasamanya."
Kemudian, pembagian raport dilaksanakan. Dul Genuk pulang dengan membawa beban amanah -pesan-pesan- yang harus disampaikan kepada adik yang diwakilinya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H