Mohon tunggu...
Ngudi Tjahjono
Ngudi Tjahjono Mohon Tunggu... Dosen -

Saya adalah staf pengajar di Program Studi Teknik Industri, Universitas Widyagama Malang. Untuk menyimak tulisan saya yang lain, silakan membuka: https://teraspotensia.blogspot.co.id

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Indonesia Selalu Tertinggal?

20 Juli 2016   08:17 Diperbarui: 20 Juli 2016   09:41 908
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Indonesia yang modern. (http://srabilor.blogspot.co.id/2012/12/mendidik-nasionalisme-di-daerah_22.html)

Agaknya judul di atas tidak berlebihan. Betapa tidak? Hampir selalu, berita yang kita dengar memang demikian. Dari segi kebijakan, ilmu dan teknologi, sistem pendidikan, perilaku masyarakat dan hal-hal positip lainnya kita selalu tertinggal dibanding negara-negara lainnya. Sekedar sedikit harus mendapat perhatian, sepertinya dalam hal-hal negatif, misalnya korupsi, perilaku konsumeristik dan latah, kita tidak mau tertinggal.

Beberapa fakta berikut akan baik dijadikan sebagai bahan renungan tentang diri kita:

1. Dulu, sekitar tahun 1970-1980-an orang Malaysia belajar ke Indonesia. Sampai-sampai guru-guru dan dosen-dosen kita dikirim untuk mengajar di Malaysia. Tetapi, kini orang Indonesia banyak yang belajar ke sana untuk mengambil program S2 atau S3.

2. Karya tulis ilmiah Indonesia kalah dibanding dengan Malaysia, Singapura, bahkan Vietnam. Menurut http://prianganaulia.blogspot.co.id, jumlah terbitan buku tiap tahun juga kalah dibandingkan dengan Malaysia. Setiap tahun Malaysa menerbitkan buku-buku ilmiah 6.000 hingga 7.000 judul, sedangkan Indonesia hanya 4.000 hingga 6.000 judul. Angka ini akan semakin tertinggal jauh jika kita ukur dari perbandingan banyaknya judul buku dengan jumlah penduduk, di mana jumlah penduduk Malaysia hanya sepersepuluh dari jumlah penduduk Indonesia.

3. Teknologi konstruksi kita masih kalah jauh dibanding negara-negara lain, misalnya Cina. Padahal ilmu yang kita pelajari sama dengan yang mereka pelajari. Prestasi infrastruktur yang kita bangun sendiri usianya pendek, sedangkan yang dibangun oleh negara-negara lain berusia jauh lebih lama. Beberapa jembatan yang kita bangun setelah usia 20 tahun dicapai, berdasarkan kajian perguruan tinggi sudah ada tanda-tanda mengalami kondisi gawat darurat bahkan ada yang runtuh seperti jembatan Kukar di Tenggarong. Sedangkan jembatan-jembatan terkenal dunia sampai usia ratusan tahun masih kokoh berdiri. Begitu juga dengan bangunan-bangunan pemerintah berupa gedung dari yang besar hingga yang kecil sudah mulai runtuh justeru pada usia masih belia.

4. Teknologi tinggi sudah jelas kita tertinggal jauh. Mereka sudah berkembang melejit dengan amat pesat, sedangkan kita masih belajar dasar-dasarnya saja. Bukannya sarjana kita tidak mampu membuatnya, tetapi kepakaran mereka tidak difasilitasi untuk berkarya di Indonesia. Sehingga mereka bisa berkembang jika berkarya di negara lain.

5. Negara-negara lain sedang sibuk menganggarkan sumberdayanya untuk pemeliharaan infrastruktur dibanding membangun baru. Sedangkan kita sibuk membangun infrastruktur baru, padahal yang lama jauh dari perhatian pemeliharaan. Padahal awal tahun 1990-an sudah disosialisasikan sistem manajemennya untuk diterapkan di Indonesia -yaitu Sistem Manajemen Pemeliharaan Sarana dan Prasarana Kota (Performance Maintenance Management System). Tetapi agaknya tidak dipilih untuk dijalankan oleh para eksekutif. Barangkali itu sebabnya mengapa infrastruktur kita tidak bisa mencapai usia panjang.

6. Sistem pendidikan kita selalu berubah. Perubahan memang baik, asalkan selalu ke arah yang lebih baik. Dalam sistem pendidikan kita, bukannya perubahan itu semakin maju, melainkan hanyalah berjalan di tempat, maju-mundur. Setiap ganti menteri, sistemnya berubah. Celakanya, selalu mencontoh luar negeri, tetapi sekedar coba dan salah (try and error). Anak didik kita selalu menjadi kelinci percobaan.

7. Dalam pengelolaan lingkungan hidup, kita kalah jauh dibandingkan dengan Singapura, apalagi jika dibandingkan dengan New Zealand. Kita memiliki moto "kebersihan adalah sebagian dari iman." Tetapi mengapa kita tidak bisa menjadi pelopor dalam hal kebersihan, yang hanya merupakan salah satu bagian kecil dari sistem lingkungan hidup?

8. Anggota DPR dari pusat hingga daerah selalu belajar dari nol dengan kapasitas intelektual dan emosional yang tidak bisa dibanggakan. Sehingga ketika berhadapan dengan pihak eksekutif yang berpengalaman selalu menjadi bulan-bulanan.

9. Generasi muda sebagian besar memrihatinkan dari aspek moral dan kreativitasnya. Minat baca dan berkarya mereka jauh menurun. Mereka lebih asyi  menikmati gadget yang melenakan dari kehidupan yang sesungguhnya. Mereka dibuai mimpi di dunia maya yang seolah nyata. Mereka menjadi pemalas, tidak produktif.

10. Jika orang Jepang atau Korea tidak mau membeli dan memakai produk buatan negara lain selain produknya sendiri, sedangkan kita lebih menyukai produk buatan negara lain hanya karena gengsi. Atau, mungkinkah karena kita tidak mampu membuat sendiri?

11. Dalam kebijakan pelabelan produk halal, kita kalah dibanding Singapura dan Thailand. Padahal mereka bukan negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam. Kita tidak pernah berani menindak tegas terhadap produsen dan penjual produk haram. Penduduk kita yang mayoritas Islam merasa tidak aman terhadap produk haram justeru di negara kita sendiri.

Tentu, jika diurai lebih jauh, masih banyak lagi fakta yang membuka mata kita, bahwa betapa selalu tertinggalnya kita. Akankah kita tetap jalan di tempat atau bahkan mundur? Tentu kita tidak menginginkan, bukan? Lalu, bagaimana kita harus memulai? Anda yang bisa memikirkan dan mulai bertindak. Selamat berkarya!

Ngudi Tjahjono, Malang (20 Juli 2016)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun