Mohon tunggu...
Ngarai Adventure
Ngarai Adventure Mohon Tunggu... -

Petualangan dan Lingkungan

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

Melintas Kawah Dewa Penempa Besi

11 Juni 2012   19:05 Diperbarui: 25 Juni 2015   04:05 159
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Karier. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Pagi terasa temaram, saat akhirnya tiba di parkiran kawah gunung Papandayan. Deretan kios pedagang menyambut dan masih tampak tegak berdiri. Seakan tak terpengaruh oleh gelegak kawah yang sempat terguncang lagi, November 2002 lalu.

“Mau menginap di mana malam ini?” tanya seorang volunteer seraya menyodorkan tiket. Mukanya yang terkesan tebal, mengingatkan pada tipikal orang yang sering berdiam di daerah dingin. Muka seperti ini, mengingatkan pada orang-orang di dusun Ranupane, atau para pekerja di Kawah Ijen. “Lebih enak kalau menginap di Pondok Seladah. Airnya lebih segar disana,” ucapnya.

Perkataannya yang terakhir itu, kembali mengingatkan pada pengalaman beberapa tahun lalu. Saat bersama beberapa teman semasa SMA dahulu, nekat mendaki gunung ini dengan modal pas-pasan. Waktu itu, bisa menginap di Pondok Seladah merupakan impian saja. Tapi karena tak banyak waktu yang tersisa, akhirnya minat mendaki sampai Pondok Seladah terpaksa dibatalkan waktu itu.

“Tapi kalau menginap di Pondok Seladah sekarang belum boleh sampai di bumi perkemahannya,” tambah volunteer itu lagi. ”Masih banyak sisa abu vulkanik yang menutupi permukaan tanah disana,” sahutnya berusaha menjelaskan.

Sisa letusan tersebut ternyata masih tersisa hingga kini. “Kalau mau enak menginap saja di Camp David (pelataran parkir). Tapi kalau mau menginap di Pondok Seladah juga tak apa. Sudah ada jalur barunya kok…atau ikuti saja para pendaki itu yang baru akan naik,” tambahnya.

Koordinasi sedikit, akhirnya kesepakatan tim jelas. Kami akan menuju Pondok Selada saja. Selain makanan dan perlengkapan menginap sudah disiapkan. Rasa-rasanya kebanyakan mental yang ikut perserta perjalanan ini juga sudah disiapkan untuk melihat kondisi gunung ini setelah meletus beberapa tahun lalu.

Kawah Baru

Setelah packing lagi yang terakhir kali, karena belanjaan yang terakhir dibeli di pasar Cisurupan, belum semuanya masuk ke dalam ransel. Akhirnya pendakian ini dimulai juga. Jalur menuju daerah kawah Papandayan tidak banyak berubah. Garis batas jalur yang sering dilalui juga terlihat jelas. Buat pendaki yang belum berpengalaman sekalipun, rasa-rasanya mudah saja mengikutinya. Bahkan beberapa langkah kaki kecil teman-teman wanita juga mudah saja melewatinya. Sepertinya undakan batu-batu khas vulkanis pegunungan berapi, tidak ada pengaruhnya di kaki-kaki indah mereka.

Kalau tidak salah ingat, yang agak sedikit berubah paling hanya daerah puncak di bagian kanan jalur. Sebab sekitar tahun 90-an awal, rasanya pernah mendaki daerah puncak tersebut. Tapi sekarang kelihatannya tidak bisa kesana dan jalur juga berubah menjadi melewati daerah kawah-kawah berasap yang suaranya terdengar keras di kejauhan.

Di bagian kiri jalur, terbentang dinding tinggi menghitam. Di punggungan-punggungan terjal di bawahnya, terlihat bibir-bibir kawah yang terus saja mengepulkan asap putih. Asapnya membumbung tinggi hingga puluhan meter ke angkasa. Mengabarkan keangkeran daerah ini pada langit biru diatasnya.

Pantas saja memang kalau Wormser- seorang pendaki jaman Belanda dahulu- mau mengejewantahkan daerah tersebut sebagai lokasi kerja dewa penempa besi. Ini mungkin dikarenakan banyaknya kawah yang ada disana. Terlepas dari baru meledak atau tidak, kawah-kawah tersebut memang tempat paling cocok, buat para dewa yang katanya digjaya itu, untuk menempa besi guna keperluan perang mereka.

Deretan kawah yang berwarna bibir kuning itu, selain menyemburkan suara keras, juga memperlihatkan gelegak aktivitasnya. Seorang kawan yang sempat bingung, karena kawah disini tidak seperti bayangannya waktu melihat gambar komik waktu kecil dahulu, akhirnya kelihatan riang juga saat punya kesempatan melihat dari dekat gelegak kawah, seperti yang ada di otaknya sejak lalu.

Belum sampai matahari ada di ubun-ubun, pandangan mata sudah menampakan bagian terakhir jalur menuju Pondok Seladah. Garis diagonal yang berujung pada celah kecil di ujungnya itu mengingatkan pada kenangan silam kembali. Ada sedikit bagian di jalur ini yang agak berbeda. Ada sedikit bagian di daerah bukit Nagrak yang tergerus, karena longsoran yang mungkin ditimbulkan akibat ledakan 2002 lalu. Gerusan itu membuat jalur pendakian berubah. Kami jadi harus melipiri dahulu turunan menuju lembah di bawahnya. Sampai akhirnya menemukan sungai berasa sepat, baru kembali kami mendaki menuju jalur lama yang masih terbujur gagah menuju singgasananya. Tak begitu sulit, ternyata jalur pendakian baru ini. Hanya perlu satu kali istirahat saja, sebelum berhasil menyelesaikannya. Itu pula rasanya kurang terasa berat, karena pemandangan daun-daun pohon Cantigi, yang baru mulai tumbuh kembali di atas kayu kering terbakar menghitam.

Menginap

Kami putuskan malam ini menginap saja di salah satu daerah dekat Pondok Seladah. Agak sulit mencari daerah yang cocok untuk kami berdelapan saat itu. Beberapa kelompok kelihatan sudah mulai menempati lokasi-lokasi yang memang baik untuk membuat perkemahan. Beberapa daerah di Pondok Seladah dahulu, ternyata kini masih dilarang untuk disinggahi. Selain dianggap kurang cocok, karena banyaknya debu vulkanik. “Juga kita memilih membiarkan daerah itu, agar proses rehabilitasi hutan secara alami, bisa terus berlangsung disana,” tukas Oji, petugas yang menunggu di daerah Pondok Seladah.

Untung saja sebelum hari menjelang gelap, kami sudah temukan daerah yang sekiranya cocok untuk mendirikan tenda. Segera tenda didirikan, dan kegiatan memasak dilakukan. Belum menjelang sore, tiba-tiba hujan datang.  Memberikan kesegaran buat tubuh ini, yang sedari malam tadi belum terguyur air.

Kesegaran itu tetap saja berlanjut hingga gelap mencengkram. Bintang bertaburan, banyak menghias langit. Ucapan seorang teman yang memaksakan imajinasi tentang malam ini kami menginap di hotel berbintang, cukup menimbulkan nyaman dihati. Sebab ini berarti tak ada masalah diantara kami, selama senyum dan cinta ini tetap bisa kami nikmati.

Artikel Terkait:


  1. Membuang Takut di Puncak Gunung Raung
  2. 72 Hari Bertahan Hidup di Gunung Dengan Daging Manusia
  3. Perempuan Australia Tertua Capai Puncak Everest

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun