Deretan kawah yang berwarna bibir kuning itu, selain menyemburkan suara keras, juga memperlihatkan gelegak aktivitasnya. Seorang kawan yang sempat bingung, karena kawah disini tidak seperti bayangannya waktu melihat gambar komik waktu kecil dahulu, akhirnya kelihatan riang juga saat punya kesempatan melihat dari dekat gelegak kawah, seperti yang ada di otaknya sejak lalu.
Belum sampai matahari ada di ubun-ubun, pandangan mata sudah menampakan bagian terakhir jalur menuju Pondok Seladah. Garis diagonal yang berujung pada celah kecil di ujungnya itu mengingatkan pada kenangan silam kembali. Ada sedikit bagian di jalur ini yang agak berbeda. Ada sedikit bagian di daerah bukit Nagrak yang tergerus, karena longsoran yang mungkin ditimbulkan akibat ledakan 2002 lalu. Gerusan itu membuat jalur pendakian berubah. Kami jadi harus melipiri dahulu turunan menuju lembah di bawahnya. Sampai akhirnya menemukan sungai berasa sepat, baru kembali kami mendaki menuju jalur lama yang masih terbujur gagah menuju singgasananya. Tak begitu sulit, ternyata jalur pendakian baru ini. Hanya perlu satu kali istirahat saja, sebelum berhasil menyelesaikannya. Itu pula rasanya kurang terasa berat, karena pemandangan daun-daun pohon Cantigi, yang baru mulai tumbuh kembali di atas kayu kering terbakar menghitam.
Menginap
Kami putuskan malam ini menginap saja di salah satu daerah dekat Pondok Seladah. Agak sulit mencari daerah yang cocok untuk kami berdelapan saat itu. Beberapa kelompok kelihatan sudah mulai menempati lokasi-lokasi yang memang baik untuk membuat perkemahan. Beberapa daerah di Pondok Seladah dahulu, ternyata kini masih dilarang untuk disinggahi. Selain dianggap kurang cocok, karena banyaknya debu vulkanik. “Juga kita memilih membiarkan daerah itu, agar proses rehabilitasi hutan secara alami, bisa terus berlangsung disana,” tukas Oji, petugas yang menunggu di daerah Pondok Seladah.
Untung saja sebelum hari menjelang gelap, kami sudah temukan daerah yang sekiranya cocok untuk mendirikan tenda. Segera tenda didirikan, dan kegiatan memasak dilakukan. Belum menjelang sore, tiba-tiba hujan datang. Memberikan kesegaran buat tubuh ini, yang sedari malam tadi belum terguyur air.
Kesegaran itu tetap saja berlanjut hingga gelap mencengkram. Bintang bertaburan, banyak menghias langit. Ucapan seorang teman yang memaksakan imajinasi tentang malam ini kami menginap di hotel berbintang, cukup menimbulkan nyaman dihati. Sebab ini berarti tak ada masalah diantara kami, selama senyum dan cinta ini tetap bisa kami nikmati.
Artikel Terkait:
- Membuang Takut di Puncak Gunung Raung
- 72 Hari Bertahan Hidup di Gunung Dengan Daging Manusia
- Perempuan Australia Tertua Capai Puncak Everest
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H