Pagi terasa temaram, saat akhirnya tiba di parkiran kawah gunung Papandayan. Deretan kios pedagang menyambut dan masih tampak tegak berdiri. Seakan tak terpengaruh oleh gelegak kawah yang sempat terguncang lagi, November 2002 lalu.
“Mau menginap di mana malam ini?” tanya seorang volunteer seraya menyodorkan tiket. Mukanya yang terkesan tebal, mengingatkan pada tipikal orang yang sering berdiam di daerah dingin. Muka seperti ini, mengingatkan pada orang-orang di dusun Ranupane, atau para pekerja di Kawah Ijen. “Lebih enak kalau menginap di Pondok Seladah. Airnya lebih segar disana,” ucapnya.
Perkataannya yang terakhir itu, kembali mengingatkan pada pengalaman beberapa tahun lalu. Saat bersama beberapa teman semasa SMA dahulu, nekat mendaki gunung ini dengan modal pas-pasan. Waktu itu, bisa menginap di Pondok Seladah merupakan impian saja. Tapi karena tak banyak waktu yang tersisa, akhirnya minat mendaki sampai Pondok Seladah terpaksa dibatalkan waktu itu.
“Tapi kalau menginap di Pondok Seladah sekarang belum boleh sampai di bumi perkemahannya,” tambah volunteer itu lagi. ”Masih banyak sisa abu vulkanik yang menutupi permukaan tanah disana,” sahutnya berusaha menjelaskan.
Sisa letusan tersebut ternyata masih tersisa hingga kini. “Kalau mau enak menginap saja di Camp David (pelataran parkir). Tapi kalau mau menginap di Pondok Seladah juga tak apa. Sudah ada jalur barunya kok…atau ikuti saja para pendaki itu yang baru akan naik,” tambahnya.
Koordinasi sedikit, akhirnya kesepakatan tim jelas. Kami akan menuju Pondok Selada saja. Selain makanan dan perlengkapan menginap sudah disiapkan. Rasa-rasanya kebanyakan mental yang ikut perserta perjalanan ini juga sudah disiapkan untuk melihat kondisi gunung ini setelah meletus beberapa tahun lalu.
Kawah Baru
Setelah packing lagi yang terakhir kali, karena belanjaan yang terakhir dibeli di pasar Cisurupan, belum semuanya masuk ke dalam ransel. Akhirnya pendakian ini dimulai juga. Jalur menuju daerah kawah Papandayan tidak banyak berubah. Garis batas jalur yang sering dilalui juga terlihat jelas. Buat pendaki yang belum berpengalaman sekalipun, rasa-rasanya mudah saja mengikutinya. Bahkan beberapa langkah kaki kecil teman-teman wanita juga mudah saja melewatinya. Sepertinya undakan batu-batu khas vulkanis pegunungan berapi, tidak ada pengaruhnya di kaki-kaki indah mereka.
Kalau tidak salah ingat, yang agak sedikit berubah paling hanya daerah puncak di bagian kanan jalur. Sebab sekitar tahun 90-an awal, rasanya pernah mendaki daerah puncak tersebut. Tapi sekarang kelihatannya tidak bisa kesana dan jalur juga berubah menjadi melewati daerah kawah-kawah berasap yang suaranya terdengar keras di kejauhan.
Di bagian kiri jalur, terbentang dinding tinggi menghitam. Di punggungan-punggungan terjal di bawahnya, terlihat bibir-bibir kawah yang terus saja mengepulkan asap putih. Asapnya membumbung tinggi hingga puluhan meter ke angkasa. Mengabarkan keangkeran daerah ini pada langit biru diatasnya.
Pantas saja memang kalau Wormser- seorang pendaki jaman Belanda dahulu- mau mengejewantahkan daerah tersebut sebagai lokasi kerja dewa penempa besi. Ini mungkin dikarenakan banyaknya kawah yang ada disana. Terlepas dari baru meledak atau tidak, kawah-kawah tersebut memang tempat paling cocok, buat para dewa yang katanya digjaya itu, untuk menempa besi guna keperluan perang mereka.