Kegiatan menyapu menggunakan sapu lidi memiliki filosofi untuk mengusir segala bentuk kotoran, baik kotoran yang tampak maupun tidak tampak.
Lampu minyak (damar ublik)Â yang dinyalakan dan turut mengitari rumah baru agar selalu mendapatkan pencerahan dalam hidup. Sedangkan air panguripan yang disiramkan pada keliling bangunan agar rumah yang hendak ditempati memiliki rasa aman dan nyaman, adem (sejuk), ayem (senang) dan tenteram.
Selanjutnya, juga ada ubarampe berupa seikat padi, batang tebu, kelapa dan kain merah putih. Ubarampe tersebut biasanya dipasang pada atap rumah baru. Makna dari pemasangan ubarampe seikat padi, batang tebu, kelapa dan kain merah putih  tersebut agar pemilik rumah baru mendapatkan kehidupan yang baik dan terjamin.
Sementara ada kain warna merah putih yang dipasang tepat di tengah atas atap rumah. Warna gula kelapa tersebut memiliki makna perjuangan. Pasalnya, pada pemerintahan Belanda pemasangan bendera merah putih secara terang-teranga adalah dilarang. Namun memasang bendera merah putih bersama seikat padi, batang tebu, dan kelapa pada tradisi slup-slupan tidak dicurigai.
Jadi, tradisi boyongan tidak hanya mengajarkan rasa syukur atas nikmat yang dilimpahkan oleh Tuhan Yang Maha Esa berupa rumah baru dan keluarga yang menempati agar dijauhkan dari segala celaka dan mendapat keselamatan, juga secara implisit memiliki nilai nasionalisme agar tetap terjaga.
Sementara  pada tradisi Boyong Natapraja Berbek ke Nganjuk ini terdapat adegan slup-slupan sebagai berikut:
Nenek: Kulanuwun... kulanuwun... kulanuwun
Kakek: Inggih, sinten niki ?
Nenek: Kula tiyang ngumbara
Kakek: Panjenengan niki sejatose saking pundi lan bade tindak pundi? (Sang kakek sambil membukakan pintu)
Nenek: Kula niki saking tlatah Berbek. Menapa leres niki tlatah Nganjuk?