Ngainun Naim
Ibu adalah sosok yang sangat penting dalam kehidupan. Sosoknya mewarnai jejak-jejak hidup. Tentang seberapa besar warna itu mempengaruhi hidup kita, antara satu orang dengan orang yang lain tidak sama.
Rasanya tidak pernah habis bahan untuk menulis tentang sosok ibu. Selalu saja ada ruang-ruang kosong yang bisa kita telusuri, kita masuki, dan kita ulas menjadi sebuah tulisan. Ibu, dalam konteks ini, adalah sumur inspirasi yang tidak pernah kering.
Tetiba saya teringat sosok ibu saat membaca beberapa artikel di media sosial tentang sosok ibu. Sosok sederhana namun penuh kasih sayang terhadap kami anak-anaknya. Sosok yang setiap pagi mengingatkan kami untuk bangun sebelum subuh menjelang.
Januari 2021 terbit sebuah buku antologi dengan judul Sejuta Cerita tentang Ibu (Tulungagung: Akademia Pustaka). Buku ini lahir dari ketidaksengajaan. Awalnya adalah perbincangan sederhana dengan beberapa orang kawan. Sebenarnya topik perbincangan saat itu random saja. Di tengah perbincangan tetiba muncul keinginan untuk menulis buku antologi. Temanya tentang Ibu.
Perbincangan menjadi riuh. Saya pun merespon gagasan tersebut. Saya jelaskan bahwa saya mendukung gagasan tersebut dan siap membantu sampai buku terbit.
Kesibukan kerja tidak memungkinkan saya menangani secara intensif editing naskah. Saya pun menghubungi penulis muda Tulungagung yang ketika itu sedang studi pascasarjana di Yogyakarta. Namanya Ahmad Sugeng Riady.
Saya sampaikan kepada beliau tentang rencana membuat antologi. Saya meminta beliau menjadi editor. Gayung bersambut. Beliau siap menjadi editor.
Segera saya buatkan pengumuman untuk menulis buku antologi. Tidak butuh waktu lama, grup WA juga terbentuk. Lalu satu demi satu naskah masuk.
Sungguh di luar dugaan. Naskah yang masuk sangat banyak. Sampai batas akhir naskah terus saja datang. Ketika naskah ditata dan siap cetak, total tebal buku xiv+432 halaman. Sebuah ketebalan buku yang cukup lumayan.
Meluangkan Waktu
Menulis buku seorang diri bukan pekerjaan ringan. Bagi yang belum pernah menulis buku sama sekali, sangat mungkin buku tidak selesai-selesai. Bahkan mungkin sampai bertahun kemudian.
Ketika dulu belajar menulis buku, saya mengalaminya. Naskah itu rasanya tidak segera bertambah. Ada saja yang menjadi penghambatnya. Pada akhirnya memang naskah selesai ditulis dan terbit, namun itu membutuhkan waktu yang cukup panjang. Bukan hanya hitungan hari, minggu, atau bulan tetapi tahun.
Bagi yang sudah terbiasa menulis dan menerbitkan buku, tentu tidak terlalu banyak masalah yang dihadapi. Mereka yang sudah terbiasa menulis dan menerbitkan buku bisa menjalani aktivitas, meskipun mungkin kesibukannya padat merayap. Memang, menulis itu bukan persoalan sibuk atau menganggur tetapi persoalan kemauan untuk berkerya.
Banyak orang yang bermimpi untuk menulis saat nanti ada waktu senggang. Realitasnya kecil kemungkinan itu terjadi. Jika waktu senggang datang, biasanya akan dimanfaatkan untuk melakukan aktivitas lain yang lebih menarik. Tanpa disadari waktu luang telah habis dan belum satu kalimat pun yang dihasilkan.
Muncul lagi keinginan yang sama. Kali ini bukan waktu senggang, tetapi akhir pekan. Biasanya ada dua hari yang menjadi hak kita untuk istirahat setelah lima hari bekerja yang menyita energi. Wajar jika muncul keinginan untuk memanfaatkan akhir pekan dengan kegiatan menulis.
Realitasnya ternyata tidak juga seindah bayangan. Saat akhir pekan datang, waktu biasanya dimanfaatkan bersama dengan keluarga. Bisa rekreasi. Bisa juga dengan kegiatan bersama. Menulis? Biasanya sudah tidak masuk agenda lagi.
Begitulah yang biasanya terjadi. Jika dipahami secara baik, menulis itu bukan hanya soal waktu luang. Lebih tepatnya menulis itu soal bagaimana memiliki komitmen untuk menulis dengan meluangkan waktu. Jika ini yang menjadi dasar maka sesibuk apa pun akan tetap bisa menghasilkan tulisan. Mungkin sehari hanya satu paragraf saja. Namun ini dijalankan dengan penuh komitmen. Dalam sepuluh hari, sebuah artikel panjang akan mampu dihasilkan.
Menulis Bersama
Salah satu persoalan besar yang dihadapi oleh penulis pemula adalah percaya diri. Saat mulai menulis telah muncul aneka ragam ketakutan. Takut jika nanti tulisannya dibilang jelek. Takut jika dibaca oleh ahli dan dikritik. Takut jika tidak sesuai dengan harapan.
Ketakutan demi ketakutan itu akan terus datang dan menjadi tembok penghambat yang kokoh. Implikasinya, potensi menulis yang dimiliki tidak berkembang.
Takut ini harus dilawan. Jangan dibiarkan bercokol dalam diri. Jika tidak dilawan, seumur hidup kita tidak bisa menghasilkan tulisan demi tulisan.
Namun melawan ketakutan itu ternyata tidak selalu mudah. Ada yang tidak tahu cara melawannya. Namanya saja tidak tahu, ya tentu tidak bisa disalahkan. Namun ketidaktahuan ini akan terus menjadi tali yang melilit potensi diri.
Salah satu cara yang penting dipertimbangkan adalah bergabung dengan komunitas kepenulisan. Biasanya komunitas semacam ini, misalnya dalam grup WA, mengajak anggotanya untuk terus menulis. Ada penyajian data, berbagi tulisan, sampai ajakan menulis buku antologi.
Nah, antologi ini bisa menjadi momentum untuk belajar menulis buku. Saya menemukan banyak kawan yang menerbitkan buku solo setelah terlibat dalam penulisan buku antologi. Jadi antologi adalah media untuk mengasah keberanian menulis buku solo.
Tulungagung, 21-12-2022
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H