Berpulangnya Sang Kiai Literasi
Ngainun Naim
menulis buku sejak usia muda. Lulusan Pondok Pesantren Al-Anwar Sarang Rembang tersebut telah menulis lebih dari 100 judul buku, baik dalam bahasa Indonesia maupun dalam bahasa Arab.
Jarang ada kiai memiliki spirit menulis sebagaimana Dr. K.H. Muhammad Ma'shum Zein. Beliau aktifSaya ingat persis bagaimana dulu beliau mengajar saat saya duduk di bangku MAN Denanyar Jombang. Saat itu, tahun 1991-1994 saya menjadi siswa MAN Denanyar yang berada di Pondok Pesantren Mamba'ul Ma'arif Denanyar Jombang. Beliau mengajar---salah satunya---Ushul Fiqh. Cara mengajarnya enak. Persoalan Ushul Fiqh yang sesungguhnya cukup berat menjadi terasa ringan di tangan beliau.
Satu ciri khas beliau saat mengajar adalah memakai buku karya sendiri. Bagi saya ini unik. Selain beliau, guru yang juga mengajar memakai buku karya sendiri adalah KH. Abd. Aziz Masyhuri. Pengalaman ini menjadi inspirasi saya untuk suatu saat juga bisa menulis buku. Tentu saat itu belum tahu bagaimana mewujudkan cara menulis buku. Jangankan menulis buku, menulis artikel sederhana semacam ini saja belum mampu. Namun tanpa inspirasi dari guru-guru saya, jalan saya menekuni dunia literasi akan berbeda.
Kiai Ma'shum sangat perhatian terhadap para muridnya, termasuk pada saya. Intensitas pertemuan fisik yang terbatas tidak menghalangi komunikasi kami. Nyaris setiap hari beliau berkirim pesan WA. Biasanya pagi buta sebelum shubuh beliau mengingatkan pentingnya shalat tahajud, dzikir, dan berdoa. "Semua murid dan kenalan yang ada nomornya saya kirimi", jelas beliau saat saya sowan pada 8 Januari 2022.
Tidak terasa ternyata itu merupakan pertemuan terakhir saya dengan beliau. Hari ini, 21 November 2022 ada kabar menyedihkan. Pesan WA personal dan grup mengabarkan bahwa beliau telah berpulang. Saya secara pribadi sungguh sangat sedih. Semoga beliau husnul khatimah dan ditempatkan di Sorga-Nya. Amin.
Tradisi Membaca dan Menulis
Kiai Ma'shum adalah pembaca yang sangat kuat. Hari-harinya dihabiskan dengan melakukan telaah kitab dan buku. Waktu senggang adalah kesempatan emas yang memungkinkan beliau menelusuri halaman demi halaman buku.
Beliau bukan pembaca pasif. Membaca bukan sekadar untuk menambah ilmu pengetahuan semata, tetapi membaca sebagai modal untuk menulis. Hasil bacaan diolah secara kreatif sebagai bahan untuk menulis buku demi buku tanpa jeda. Ada saja buku baru yang terbit setiap kali kami berkomunikasi.
Saya sendiri heran dengan energinya menulis. Buku-buku yang beliau tulis rata-rata berangkat dari kebutuhan. Bisa kebutuhan bahan bacaan bagi mahasiswa yang tengah belajar untuk matakuliah tertentu. Bisa juga berupa respon atau jawaban atas persoalan yang tengah tumbuh dan berkembang di masyarakat. Lewat buku yang beliau tulis, kebutuhan itu mampu teratasi.
Interaksi dari ruang kuliah acapkali menjadi sumber inspirasi yang tidak bertepi. Beliau merupakan seorang pendengar yang produktif. Paparan mahasiswa, lontaran pertanyaan, dan berbagai argumentasi dalam ruang-ruang kuliah menjad sumber inspirasi dalam menulis. Demikian juga dengan diskusi di berbagai kesempatan.