Berapa jauh pengalaman Anda naik sepeda motor? Saya tidak memiliki pengalaman istimewa dalam hal naik sepeda motor. Â Dulu pernah naik sepeda motor dari Tulungagung ke Yogyakarta. Juga dari Yogyakarta ke Tulungagung.
Sejauh yang saya ingat, pengalaman terjauh ya Yogyakarta-Tulungagung itu. Lainnya paling Tulungagung ke Malang atau Tulungagung ke kota-kota sekitarnya. Meskipun menyukai jalan-jalan namun saya tidak nekad bersepeda motor. Saya lebih sering naik kendaraan umum, khususnya bus.
Jika ada orang yang bersepeda motor lintas provinsi, saya hanya bisa geleng-geleng kepala. Ini pasti orang luar biasa yang memadukan antara keberanian dan ketangguhan. Mungkin juga kenekatan. Tidak semua orang mau dan mampu melakukannya. Nah, salah seorang yang memiliki perpaduan ini adalah Denik.
Saya mengetahui kisah perjalanan Denik lewat buku yang ditulisnya, A Female Rider's Diary (Cerita Solo Riding Tangerang-Surabaya) (Malang: Azizah Publishing, 2020). Buku ini sungguh unik dan memberikan banyak informasi kepada para pembacanya.
Penulis buku ini, Denik, melakukan perjalanan dengan sepeda motor yang disebutnya Cempe dari Tangerang menuju Surabaya. Ia melakukannya seorang diri. Bayangkan, seorang perempuan naik sepeda motor mulai 9 Juli 2016 dan sampai di Surabaya pada 13 Juli 2016. Saya kira Denik hanya sedikit orang yang mau melakukannya.
Aspek mendasar yang mendorongnya melakukan perjalanan penuh tantangan ini adalah spiritualitas. Ya, spiritualitas dalam keyakinan di bawah sinaran doa Ibu. Semasa hidup, ibunya memberi petuah kepada Denik untuk mendatangi tempat-tempat yang ingin dikunjungi. Hal ini penting dilakukan senyampang masih bisa. Selain itu ada keyakinan Denik bahwa melakukan perjalanan merupakan upaya menambah luas pengetahuan sekaligus mensyukuri anugerah hidup yang tak terperi.
Perjalanan jauh itu mesti dipersiapkan secara baik. Meskipun demikian sungguh sulit saya membayangkan bisa melakukannya. Tetapi itulah hidup. Ada saat kita harus mengorbankan ego demi kebersamaan, namun ada juga saat kita menikmati kesendirian demi kebahagiaan kita sendiri. Bagi Denik, mbolang melintasi beberapa kabupaten mulai Jawa Barat, Jakarta, Jawa Tengah, sampai di Jawa Timur merupakan kebahagiaan yang tidak bisa untuk dilukiskan.
Kalau saya baca keseluruhan isi buku ini, modal nekat tampaknya lebih keberanian. Tentu ada persiapan teknis yang juga dipersiapkan secara baik. Denik menulis bahwa ia menggunakan tas ransel besar agar bisa menampung bekalnya dalam perjalanan. Tas selempang ia gunakan untuk menyimpan dompet, ponsel, charger, dan yang acapkali diperlukan. Perlengkapan lainnya yang ia bawa termos air minum panas, buku catatan, Al-Qur'an kecil, dan perlengkapan lainnya.
Ia mengawali perjalanan dari rumahnya di Tangerang dengan motor matic yang disebutnya sebagai cempe. Â Ia menelusuri jalanan Jakarta lalu menuju Karawang, lalu Subang, Indramayu, hingga Cirebon.
Tentu setiap perjalanan menemukan kisahnya. Ada romantika, ada pelajaran, ada kisah, ada persaudaraan, dan nilai-nilai kemanusiaan. Mungkin naik sepeda motor bukan hal istimewa tetapi Denik mengubahnya menjadi sesuatu yang istimewa.
Setiap jejak perjalanan memuat kisah yang tidak sederhana. Bagaimana ia bisa bertemu sastrawan kondang Ahmad Tohari yang tidak pernah diduga sebelumnya. Ia juga bertemu banyak kawan di sebagian kota yang dijelajahinya. Di Pati ia bertemu sesame pegiat literasi, yaitu April Cahaya. Di Tuban ia tidak sekadar bertemu tetapi juga menginap di rumah Hiday Nur, seorang pembelajar yang pernah menerima beasiswa LPDP sekaligus seorang penulis Tangguh.
Di Mojokerto ia disambut dengan hangat oleh Agus Pramono dan keluarganya. Ia pun diajak mengunjungi beberapa tempat penting di Mojokerto, seperti mengunjungi Patung Budha Tidur dan Museum Trowulan. Saat di Surabaya ia dikunjungi Heru, seorang penulis asal Nganjuk.
Semua teman yang bertemu dengan Denik tersebut merupakan teman maya yang baru bertemu muka saat Denik berkunjung. Ini menunjukkan bahwa Denik adalah ahli silaturrahim yang mudah bergaul. Bayangkan, hanya bermodal relasi di dunia maya, ia mampu membangun pertemuan di dunia nyata.
Buku ini saya beli langsung ke penulisnya karena secara tidak sengaja saya menemukan ulasannya di Kompasiana. Saya menyukai kisah penuh perjuangan ini. Meskipun demikian buku ini menyisakan tanya yang tidak perlu dijawab. Misalnya, bagaimana Denik pulang dari Surabaya ke Tangerang? Ada juga beberapa tanya di buku ini yang saya kira itu menjadi rahasia penulisnya.
Trenggalek, 29-5-2022
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H