Oleh Ngainun Naim
Jarak antara rumah ke tempat kerja yang cukup jauh membuat saya lebih sering memilih naik bus untuk moda angkutan. Dibandingkan naik kendaraan sendiri, naik bus punya beberapa kelebihan. Selain lebih murah dan tidak capek, naik bus bisa memberikan banyak pelajaran berharga dalam hidup.
Dalam perjalanan, saya sering menemui beberapa siswa SMP dan SMA. Satu hal menarik yang saya amati adalah semangat belajar mereka. Ya, saat di bus pun saya sering melihat mereka masih membaca buku pelajaran. Ini merupakan sebuah pemandangan yang membuat saya senang dan optimis. Senang karena ada pelajar yang sedemikian tekun belajar. Dan optimis karena semakin banyak pelajar yang gigih belajar maka kemajuan masyarakat lebih cepat dapat diwujudkan.
Apakah mereka belajar karena malamnya tidak belajar? Ataukah mereka belajar karena akan ujian?
Saya lebih suka menggunakan sudut pandang positif. Mereka mau belajar saja sudah merupakan sesuatu yang positif. Soal mereka belajar karena alasan tertentu, itu bukan persoalan.
Belajar sesungguhnya berkaitan dengan tradisi. Membangun tradisi belajar itu tidak mudah. Dibutuhkan pembiasaan sedini mungkin agar belajar bisa menjadi bagian tidak terpisah dari aktivitas sehari-hari seorang pelajar.
Koran Jawa Pos edisi Jumat, 1 Mei 2015, memuat artikel Prof. Daniel M. Rosyid, Ph.D., guru besar ITS Surabaya. Artikel Prof. Daniel berjudul ”Merayakan Belajar”. Artikel Prof. Daniel menarik diulas dalam konteks membudayakan belajar.
Pada artikel tersebut, ada beberapa hal menarik yang diulas Prof. Daniel. Pertama, kita seharusnya fokus pada belajar. Belajar itu merupakan sarana menambah pengetahuan, memberdayakan potensi diri dan membuka pintu-pintu pengembangan diri. Dominasi persekolahan seyogyanya dikurangi. Belajar dapat dioptimalkan dengan memanfaatkan sumber-sumber belajar yang sekarang ini sudah tersedia luas. Belajar jangan hanya bergantung pada sekolah.
Kedua, memperkuat keluarga dan masyarakat dalam sistem persekolahan. Teladan orang tua, asupan gizi cukup, serta tunjangan ibu hamil dan menyusui akan menjadi pendidikan yang jauh lebih efektif daripada program pendidikan anak usia dini (PAUD).
Tentang semangat belajar, kita dapat belajar kepada Enong. Siapa dia? Dia seorang gadis desa, lugu, perempuan pertama yang memilih resiko menjadi buruh kuli timah di Tanjung Pandan, Bangka Belitung. Dia mungkin nyata, mungkin fiktif, mungkin perpaduan keduanya. Ya, dia adalah tokoh dalam novel Padang Bulan dan Cinta di Dalam Gelas karya Andrea Hirata.
Semangat belajar Enong tak tertandingi, khususnya belajar bahasa Inggris. Setiap ada kesempatan, setelah lelah menambang timah, ia membuka Kamus Bahasa Inggris Satu Miliar Kata peninggalan ayahnya. Ia selalu menemukan semangat luar biasa setiap membuka kamus itu. Ia menandai setiap kata asing yang belum diajarkan gurunya bahasa Inggris saat sekolah, Bu Nizam. Ia memang sudah lama tidak sekolah, tetapi kerinduannya akan pelajaran bahasa Inggris tidak berkurang seinci pun.
Enong—yang kemudian lebih dikenal sebagai Maryamah Karpov—adalah pribadi istimewa yang tidak pernah mengasihani diri. Semangat belajar bahasa Inggris ia wujudkan dengan mengambil kursus ke kota yang jarak tempuhnya berjam-jam. Ia menjalaninya dengan penuh kegembiraan tanpa keluhan. Padahal, untuk itu seluruh penghasilannya nyaris habis tak tersisa. Tetapi ia tidak patah arang.
Hirata melukiskan secara menarik tentang Enong. ”Darinya Aku mengambil filosofi bahwa belajar adalah sikap berani melawan segala ketidakmungkinan; bahwa ilmu yang tak dikuasai akan menjelma di dalam diri manusia menjadi sebuah ketakutan. Belajar dengan keras hanya bisa dilakukan oleh seseorang yang bukan penakut” (Cinta di Dalam Gelas, h. 103).
Novel karya Hirata mengajarkan banyak hal kepada saya. Tentu bukan semua novel. Hanya novel-novel tertentu saja yang sudah saya seleksi. Salah satunya adalah novel-novel karya Andrea Hirata.
Pada sosok Enong, Hirata mengajarkan bahwa belajar itu berarti melawan pandangan sinis banyak orang. Harapan Enong untuk menguasai bahasa Inggris dianggap khalayak sebagai sudah terlambat dan tidak ada gunanya. Pada titik ini Hirata mengajak pembacanya untuk memahami bahwa belajar itu tidak melulu berkaitan dengan tujuan dan capaian tertentu. ”Belajar itu sendiri adalah perayaan dan penghargaan pada diri sendiri” (Padang Bulan, h. 197).
Hirata juga mengajarkan tentang pentingnya usaha dan kerja keras. Kunci sukses dalam bidang apa pun, termasuk dalam belajar, adalah dengan usaha dan kerja keras. Secara jenaka Hirata menulis, ”Jika kita selalu mendapatkan apa yang kita inginkan, seseorang akan naik bukit lalu meniup sangkakala, dunia kiamat” (Padang Bulan, h. 202).
Jadi, ayo tetap tradisikan belajar karena itulah cara kita menghargai diri kita sendiri.
Spirit belajar Enong sungguh mengagumkan. Membaca ceritanya dalam memenuhi hasratnya belajar sungguh membuat hati berdecak sekaligus malu. Berdecak karena ia memiliki tekad yang sedemikian gigih. Malu karena rasanya spirit itu teramat jauh dari diri ini.
Secara heroik Hirata menulis, "Minatnya pada bahasa Inggris tak lekang-lekang. Ia bahkan meningkatkan kelas kursusnya dan tetap naik bus dua kali seminggu untuk kursus di Tanjung Pandan, dan tidak pernah membolos" (Cinta di dalam Gelas, h. 16).
Coba simak kutipan yang penuh energi tersebut. Semangat atau minat besar menjadi motivasi besar dalam studi. Motivasi itu kemudian diwujudkan dalam aksi yang sering tidak sejalan dengan dominasi nalar pragmatis. Pada diri Enong, kita dapat belajar untuk tidak mudah menyerah.
Konsep 'learning society' (masyarakat pembelajar) yang dulu pernah dikampanyekan kini kian redup. Semakin jarang warga masyarakat yang mengetahui dengan baik terhadap konsep tersebut. Hal ini berimplikasi pada semakin kurangnya gairah untuk belajar secara luas.
Saat dulu kuliah di Yogyakarta ada pamflet dan berbagai pengumuman yang menyebutkan bahwa pukul 19.00-21.00 adalah jam belajar masyarakat. Pada dua jam tersebut diharapkan masyarakat memanfaatkannya menambah ceruk pengetahuannya dengan belajar.
Bagaimana dengan daerah yang lainnya? Jika belum ada saya kira spirit ini perlu disosialisasikan secara luas. Semakin banyak warga masyarakat yang belajar, semakin bagus bagi kemajuan.
Spirit belajar yang dimiliki Enong atau Maryamah Karpov dalam novel besutan Andrea Hirata dapat dijadikan sebagai salah satu model untuk memupuk semangat belajar. Jika Enong yang sarat dengan keterbatasan saja memiliki semangat belajar yang besar, mengapa kita yang memiliki kondisi lebih beruntung tidak memanfaatkan kesempatan yang ada?
Saya tertarik kepada filosofi belajar yang dimiliki Enong, yaitu: "menantang semua ketidakmungkinan. Ia tidak pernah gamang, tak pernah tanggung-tanggung. Maryamah mencoba, gagal, dan mencoba lagi. Dia tidak pernah jemu. Ketekunannya mengagumkan" (Cinta di dalam Gelas, h. 72).
Coba Anda cermati kutipan yang penuh energi tersebut. Saya merasakan adanya ajakan yang kuat dari Andrea kepada para pembacanya untuk tidak mudah menyerah dalam belajar. Belajar membutuhkan ketekunan. Itulah salah satu kunci pentingnya. Pada Maryamah Karpov kita selayaknya belajar pada mentalnya yang tahan banting.
Hidup yang terus tumbuh dan berkembang adalah hidup yang sarat makna. Hal itu akan diperoleh dari aktivitas belajar. Sebagaimana dikatakan Prof. Daniel M. Rasyid, belajar tidak hanya dari bangku sekolah. Justru belajar di luar bangku sekolah itu yang seharusnya dioptimalkan karena ia tidak dibatasi oleh aturan formal. Salam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H