Menurut hasil survey Oxfam International yang bermarkas di Inggris, pada februari 2017 dikatakan bahwa Indonesia menduduki peringkat ke enam dalam kategori ketimpangan distribusi kekayaan terburuk di dunia. Hal ini tentu sangat memprihatikan untuk bangsa Indonesia yang memiliki kekayaan alam yang sangat kaya, namun ternyata jumlah penduduk miskin tergolong sangat tinggi yakni 103,2 juta di tahun 2016 dan di tahun 2017 diproyeksikan sebesar 86,6 juta orang berdasarkan proyeksi Bank Dunia. Standard Bank Dunia dalam menentukan batas kemiskinan adalah penduduk yang berpendapatan dibawah 3,1 Dollar As atau setara dengan Rp41.230 perhari ( kurs Rp 13.300 ).
Ketimpangan ini memang menjadi permasalahan bukan hanya di Indonesia saja, bahkan diketahui bahwa tahun 2016 berdasarkan survey yang sama dilakukan oleh Oxfam dikatakan bahwa 49% kekayaan dunia hanya dikuasai oleh 1% orang kaya saja. Jika banyak orang berkata bahwa ini merupakan "Ketidak adilan", Saya sangat setuju atas pernyataan hal tersebut. Namun perlu kita cermati apa duduk persoalan yang menjadi penyebab terjadinya ketimpangan pendistribusian kekayaan yang pada akhirnya semua orang berteriak ketidak adilan telah terjadi. Bahkan ada pejabat tinggi negara, anggota DPR bahkan pemuka masyarakat yang memberikan banyak komentar yang tidak mendidik dengan menyatakan penguasaan kekayaan ini dengan mengaikatkan suku/etnis tertentu ataupun juga dengan agama tertentu, tanpa melihat akar permasalahan yang ada sehingga tidak memberikan solusi yang konstruktif.
 "Sumber Penyebab Ketimpangan".
Pertama, praktek KKN yang telah terjadi dari jaman orde lama sampai sekarang yang masih terjadi, yang telah menciptakan apa yang dinamakan "Crony-Capitalisme". Apakah ini salah Pengusaha semata ?. Tidak sepenuhnya merupakan kesalahan pengusaha saja, melainkan banyak pihak yang terlibat di dalam memberikan andil terbentuknya "Crony-Capitalisme" seperti oknum pejabat yang berkuasa mulai dari pejabat Eksekutif, Legislatif maupun Yudikatif.
Korupsi, Kolusi dan Nepotismelah yang menciptakan terjadinya "Crony-Capitalisme" ( suatu bentuk ekonomi pasar dimana hubungan impersonal pasar diganti oleh hubungan pribadi berdasarkan kedekatan para pebisnis dengan mereka yang memegang kekuatan pemerintah ). Dan yang paling parah adalah apabila ada yang penguasa pemerintahan yang keluarganya juga menjalankan bisnis sehingga akan melakukan "Abuse Power" dalam menekan pihak tertentu untuk memperbesar jaringan bisnis keluarga dan kroninya.
Kedua, budaya kerja atau etos kerja yang kurang bagus bangsa kita apabila dibandingkan dengan bangsa lain seperti bangsa Jepang, Korea, China atau Vietnam yang masih merupakan negara tetangga ASEAN kita. Slogan bapak presiden kita Pak Jokowi yang selalu berkata kerja, kerja, kerja diberbagai kesempatan yang ada, tidak lain, tidak bukan dalam mengingatkan kita agar dapat bekerja dengan baik, tekun, cermat, teliti, jujur, pantang menyerah, pelayanan yang baik, cepat, agresif, proaktif, berani,sabar, dan hidup sederhana.
Etos kerja atau budaya kerja yang tidak bagus menciptakan inefesiensi dan kurang produktif pekerja kita, penuntutan kenaikan upah minimal seharusnya diimbangi dengan peningkatan produktivitas.
Kita harus memperbaiki etos kerja bangsa ini sehingga secara perlahan bertahap dapat memperbaiki jarak tingkat kesenjangan melalui pemerataan penghasilan yang lebih baik.
Mungkin kita dapat meniru China pada tahun 2015 untuk mengurangi tingkat kesenjangan dengan mengeluarkan kebijakan upah minimum yang lebih tinggi 40% dari rata-rata upah diperkotaan bagi daerah perdesaan tertentu. Kebijakan ini juga dapat mengurangi migrasi penduduk desa ke kota. Penduduk desa yang miskin tidak perlu kekota untuk mencari nafkah dengan demikian target untuk menurunkan jumlah penduduk miskin 80 juta orang pada tahun 2015 di China dapat tercapai.
Ketiga, ketimpangan pembangunan infrastruktur yang diwariskan dari jaman orde lama sampai orde reformasi, dimana pembangunan infrastruktur di Indonesia hanya terfokus pada daerah perkotaan tertentu saja, yang menciptakan ketimpangan sosial antara  kota dan desa semakin besar.
Pada  masa pemerintahan era presiden Jokowi telah meletakan kebijakan pembangunan infrastruktur secara merata merupakan kebijakan yang sudah tepat arah. Dalam dua tahun terakhir pemerintah Jokowi telah mempercepat pembangunan jalan nasional sepanjang 2,225 kilometer, Jalan tol sepanjang 132 kilometer, 160 jembatan, pembangunan lintas jalur kereta api di pulau Sumatra, Kalimantan dan Sulawesi, MRT, LRT, Commuter Line, Program tol laut dengan menetapkan 24 pelabuhan, sebagai simpul jalur tol laut, pelabuhan serta bandara.