Mohon tunggu...
Naufal Umam
Naufal Umam Mohon Tunggu... Penulis lepas -

Dididik > 7 tahun oleh psikologi, seorang petualang kejiwaan.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Obrolan dengan Teman yang Kesepian

9 Desember 2015   21:58 Diperbarui: 9 Desember 2015   22:51 205
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Fiksiana. Sumber ilustrasi: PEXELS/Dzenina Lukac

Sebagai seorang teman, ada rasa janggal ketika melihatnya selalu gelisah seakan-akan ingin mengatakan sesuatu tapi selalu mengurungkan niatnya. Hingga pada suatu saat, aku beranikan diri untuk menggali pikirannya,

"Kau lagi ada masalah bro? Wajah murungmu sudah berlangsung sebulan ini."

"Haha, kelihatan ya?" dan ia masih meneruskan wajah murungnya.

"Bukannya belakangan ini lagi banyak kabar gembira? Katanya ada orderan baru, lumayan tuh buat nyenegin bini"

"Iya, dapet orderan baru. Doakan lancar lah ya," ucapnya sambil memandangi cangkir kopinya.

Mungkin ia enggan menceritakan isi kepalanya. Kualihkan pembicaraan ke nostalgia masa lalu ketika kami menjelajah alam bersama, ternyata ia sudah jarang berpetualang lagi.

Kubayangkan hidupnya kini hanya serangkaian rutinitas, menunggu datangnya sesuatu hal yang baru secara pasif. Sejak lulus kuliah ia seperti linglung tidak tahu harus melakukan apa dalam hidup. Pernah ia mengatakan bahwa hidup ini adalah tentang terus bernafas sampai waktunya dipanggil tiba. Benar-benar suram, entah apa yang bisa menghadirkan warna lagi dalam hidupnya.

Ketika bernostalgia tentang masa lalu akhirnya ia mulai membuka diri dengan komentarnya,

"Teman-teman kita itu pada sukses semua ya. Aku lihat mereka di sosmed keren-keren semua update-nya. Pada ke luar negeri, bisnis lancar, keluarga bahagia."

"Ah kau juga kan? Coba lihat ini pengusaha muda yang tangguh!" kutepuk keras pundaknya karena gemas dengan kerendahan dirinya.

Dia makin merenung, setelah angin sore berhembus dua kali baru ia kembali berbicara dengan ekspresi kosong, "Semua yang gua lakukan itu ngga signifikan sob. Cuma hal-hal kecil yang semua orang juga bisa lakukan." Kemudian dia memandangku seakan menantang, "Coba lihat, Roy bikin lembaga konsultan yang tenar, Jay dapet beasiswa di Inggris, Anto meneruskan bisnis orang tuanya dan resmi jadi orang kaya. Lah gua yang dulu sesama teman main mereka sekarang gini-gini aja, padahal kita dulu kan sama sob, berarti gua itu apa coba kalo bukan kegagalan hidup?"

Aku merasa miris bercampur bahagia mendengarnya. Miris karena melihat aura negatif jiwanya saat ini, tapi bahagia akhirnya aku tahu apa yang mengganggu pikirannya, "Ya itulah kehidupan dewasa bro. Kita hidup di jalan masing-masing."

"Buat gua, jalan kegagalan."

"Itu... itu yang buat kau murung akhir-akhir ini!"

"Apa? Sadar kalo gua gagal dan bakal hidup kaya gini aja selamanya?"

"Bukan, kau terlalu sibuk memperhatikan hidup orang lain dan lupa sama hidup sendiri"

"Habis bosan gua liat diri sendiri. Kadang seneng aja liat teman bisa sukses ngga stagnan kayak gua," bibirnya gemetar, saat itu aku tahu jika sedikit lagi ia meneruskan kata-katanya, air matanya akan jatuh. Dan aku pun tahu dia sangat tidak suka kelihatan lemah. Kemudian kami pun terjebak sepi sesaat di depan senja yang semakin memerah.

"Mungkin ada bagusnya kau ubah pikiran tentang 'sukses' itu. kalau kau berpikir seperti itu terus tak ada habisnya angan-angan kita."

"Maksudnya sob?"

"Coba pikir seperti ini, sukses itu adalah pertanyaan yang diberikan hidup untuk kita agar kita jawab sendiri tanpa mencontek orang di sekitar kita. Cara menjawab pertanyaan itu adalah dengan memberikan usaha terbaik untuk tantangan apapun yang ada dalam hidup kita sendiri. Setiap kita berusaha maksimal, berarti kita sukses, dan setiap kita berdiam diri berarti sukses itu belum terjadi."

Dia tertawa kecil, mungkin karena kalimatku terlalu filosofis, dia selalu menertawakan aku ketika aku berbicara tentang falsafah hidup sejak remaja karena dipikirnya aku aneh. "Lu tau ngga? Baru pertama kali ini gua rasa kalimat lu make sense selama lu berfilsafat sejauh ini!" ia meminum lagi kopinya sambil tersenyum geli.

"Ya baguslah, akhirnya berguna juga kan kebanyakan mikir," terasa ada beban berat yang terlepas dari diri ini, aku pikir dia akan tersinggung atau merasa digurui.

"Mungkin gua belum terbiasa berjuang hidup sob. Dengan segala macem hal barunya yang ngga gua kenal. Kayak dunia ini berbeda dari apa yang pernah gua hidupin dulu-dulu."

"Dan kau cari jawaban kehidupan ini dari orang lain, padahal bisa kau jawab sendiri."

"Hehehe, iya bener lu," meski raut wajahnya masih kosong, setidaknya aku senang dia bisa nyengir sesesaat. "Sering-seringlah ngobrol lagi kita nih, kayaknya sekarang gua malah jadi butuh wejangan filsafat hidup lu!"

"Hayuk lah bro. Anytime!"

 

Ketika hari semakin sore dan langit mulai gelap, kutinggalkan bayangan diriku di cermin itu agar dia melanjutkan hidupnya lagi dengan lebih menyadari kebahagiaan yang dia punya. Mungkin dia akan datang lagi dengan segudang masalah seperti biasanya, dan mungkin, mungkin bisa kutenangkan dia lagi dengan filsafat kehidupanku yang apa adanya ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun