Mohon tunggu...
Dwi Suparno
Dwi Suparno Mohon Tunggu... Administrasi - Pejuang Receh

Kuli pabri..Bisa ditemui di nfkaafi@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Artikel Utama

Indahnya Cetho, Dieng serta Tari Legong Bali

5 November 2014   14:58 Diperbarui: 17 Juni 2015   18:35 93
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pintu Gerbang Candi Cetho (dok.pri)

Berbagai peninggalan situs purbakala peninggalan nenek moyang bangsa Indonesia hingga saat ini masih dapat kita saksikan kemegahannya.Disekitar tempat tinggal saya pun masih dengan mudah kita temui situs/candi yang masih berdiri dengan anggunnya.Ada Candi Borobudur di Magelang,Candi Kalasan,Candi Sambisari (candi agama Budha),Komplek Candi Sewu di Prambanan,Candi Sojiwan,Komplek Candi Boko,Candi Banyunibo,Candi Cepit serta Candi Ijo di selatan Prambanan (candi agama Hindu) serta masih banyak lagi di berbagai lokasi di Jawa Tengah dan Yogyakarta.Dengan lokasi berdirinya candi-candi tersebut tidak berjauhan satu sama lainnya membuktikan jaman dahulu kerukunan antar umat beragama sudah terjalin dengan mesra.

Sebagian besar candi candi yang berada di wilayah Yogyakarta ini berada di dataran rendah.Hal tersebut bisa dimaklumi karena di sekitar lokasi candi candi tersebut merupakan tanah subur yang cocok untuk pertanian,didukung dengan keberadaan Gunung Merapi disisi utara yang masih setia mengeluarkan abu vulkaniknya hingga saat ini.Berlimpahnya material batu vulkanik tentu menjadi keunggulan tersendiri kenapa banyak candi yang berdiri di wilayah selatan Gunung Merapi ini.

Menjadi menarik dan menjadi pengalaman yang berkesan bila kita mengunjungi candi yang berbeda dengan yang lainnya.Berbeda dalam arti candi tersebut berada di lokasi yang tak lazim,yaitu berada di dataran tinggi. Yang pertama adalah mengunjungi Candi Cetho di sisi barat Gunung Lawu disusul kemudian mengunjungi Candi Dieng di perbatasan Wonosobo-Banjarnegara,Jawa Tengah serta ditutup dengan melihat secara langsung kehidupan masyarakat beragama Hindu di Bali.

Romantisme Candi Cetho Yang Berselimut Kabut

Dalam bahasa Jawa,Cetho artinya jelas.Lokasi komplek candi Cetho ini berada di lereng Gunung Lawu tepatnya di desa Gumeng,Kecamatan Jenawi,Kabupaten Karanganyar,Jawa Tengah.Komplek Candi Cetho ini memiliki ukuran panjang 190 meter dan lebar 30 meter dan berada di ketinggian 1496 mdpl.Candi Cetho ini berlatar belakang agama Hindu dengan pola halamannya berteras dengan susunan 13 teras meninggi ke arah puncak.Bentuk bangunan ini mengingatkan kita akan kemiripan dari punden berundak masa prasejarah.

Tahun pendirian Candi Cetho ini didapat berdasarkan penemuan prasasti dengan huruf jawa kuno yang terdapat pada dinding gapura teras ke-7 yang berbunyi: "Pelling kadamel irikang buku tirtasunya hawakira ya hilang saka kalanya wiku goh anaut iku 1397",yang dapat ditafsirkan sebagai berikut: Peringatan pendirian tempat ruwatan atau tempat untuk membebaskan dari kutukan dan didirikan tahun 1397 Saka (1475M).

Fungsi Candi Cetho adalah sebagai tempat ruwatan dapat dilihat melalui simbol-simbol dan mitologi yang ditampilkan dalam arca-arcanya.Mitologi yang disampaikan tersebut berupa cerita Samudramanthana serta cerita Garudeya. Jadi cerita Samudramanthana ini mengisahkan tentang taruhan antara kedua istri Kasyapa yaitu Kadru dan Winata dalam pencarian air amarta (air kehidupan) pada lautan susu.Kadru menebak bahwa ekor kuda pembawa air amarta yang akan keluar dari lautan susu berwarna hitam,sedangkan Winata menebak ekor kuda itu berwarna putih.Ternyata ekor kuda yang keluar dan membawa air amarta tersebut berwarna putih.Tetapi anak-anak Kadru yang berwujud ular menyemburkan bisanya sehingga ekor kuda tersebut berubah menjadi hitam.Walaupun bertindak curang,Kadru tetap menang dalam taruhan tersebut.Sehingga Winata pun dijadikan budak oleh Kadru karena kalah taruhan.

Sedangkan cerita Garudeya mengisahkan tentang pembebasan Winata tersebut oleh anaknya, Garudeya. Ia menemui para ular meminta ibunya dibebaskan dari budak Kadru.Para ular terseut setuju dengan persyaratan Garudeya menukar ibunya dengan air amarta.Garudeya pun pergi tempat penyimpanan air amarta tersebut yang dijaga para dewa dan air amarta tersebut pun diserahkan kepada para ular dan akhirnya Winata pun dapat dibebaskan dari perbudakan Kadru.

Di hari Sabtu tanggal 14 Juni 2014,saya berkesempatan mengunjungi Candi Cetho ini bersama teman-teman kompasianer pemenang Kuldon Sariawan Blog Competition.Ada Mas R Fadli,Mas Dzulfikar,Mas Joshua,Pak Ben,Pak Thamrin Sonata,Pak Adian,Pak Encep,Bu Ngesti,Mb Vita.Ditemani juga Ibu Agatha,Mb Ika Pramono,Mas Pendi serta Mas Shulham.Dengan menumpang minibus,saya dan rombongan berangkat dari kota Solo jam 08.00 WIB melewati kota Palur yang saat itu sedang membangun jembatan fly over.Mungkin saat ini sudah mendekati selesai pembangunannya.

Selepas melewati Karangpandan,jalanan mulai menanjak.Kiri kanan jalan terhampar luas kebun teh serta kebun sayur milik penduduk sekitar.Sejuknya udara pegunungan mulai terasa...

Trek jalanan yang berliku-liku ditambah adanya tanjakan yang "menantang" menambah andrenalin perjalanan rombongan kompasinaer tersebut semakin bertambah menarik.Semakin mendekati ke lokasi Candi Cetho,jalanan semakin terjal dan semakin menanjak.Dibutuhkan kendaraan yang benar benar prima untuk menuju ke Candi Cetho.Jangan coba-coba menggunakan kendaraan ber-cc kecil atau bertransmisi automatis dengan penumpang banyak,dijamin tidak akan sampai di pelataran depan pintu masuk Candi Cetho.Contohnya saja ada salah satu mobil rombongan kami yang bertransmisi automatis yang harus berhenti di belokan awal tanjakan di depan gerbang Candi Cetho yang memang tanjakannya cukup tajam,para penumpangnya pun harus turun dan jalan kaki mendaki.

Tepat jam 10.00 WIB,saya dan rombongan tiba dengan selamat di Candi Cetho.Udara dingin segera menyergap siapa saja yang berada di Candi Cetho tersebut.Walaupun jarum jam menunjukkan pukul 10.00 WIB,serta masih berada di musim kemarau,suasana di Candi Cetho tiada hari tanpa adanya kabut.Silih berganti kabut datang menyambut kedatangan pengunjung di Candi Cetho ini. Sangat romantis dan eksotis sekali suasananya waktu itu....

Saat tiba di komplek Candi Cetho,kita akan disambut dengan gapura yang menjulang tinggi hingga ke awan yang identik dengan gapura yang ada di Pulau Dewata.

Setelah memasuki gapura pertama,kita akan disambut dengan arca memanjang yang "unik" dan tidak biasa.Arca burung garuda dan arca kura-kura yang diwujudkan dengan susunan batu membentang diatas tanah membentuk kontur burung yang sedang mengepakkan sayapnya.Yang unik di ujung arca Garuda tersebut,tepat didepan kita,terdapat arca phallus (kelamin laki-laki) yang bersentuhan dengan arca berbentuk kelamin perempuan.Eksotik sekali penggambarannya...

Maksud dari penggambaran simbol kedua alat kelamin tersebut adalah sebagai lambang penciptaan atau kelahiran kembali setelah dibebaskan dari kutukan.Masih ingat khan tentang cerita Garudeya diatas..

Dikanan kiri areal candi terdapat pendopo yang masih dipergunakan untuk upacara bagi penganut agama Hindu.Jadi tidak heran bila aroma dupa menyeruak di sekitar area Candi Cetho ini.

Pendopo di kanan kiri Candi Cetho (dok.pri)

Masih di sekitar komplek Candi Cetho ini masih ada candi lainnya yaitu Candi Kethek atau Candi Monyet yang letaknya 250 meter dari Candi Cetho.Selain itu di areal belakang Candi Cetho terdapat Puri Taman Saraswati yang didalamnya terdapat patung Dewi Saraswati,pura serta sebuah sendang yang airnya terasa nyesss dinginnya. Di komplek Candi Cetho inipun bila pas kondisi cuaca cerah, tidak ada kabut,kita bisa melihat pemandangan jejeran gunung di tanah Jawa mulai dari Gunung Merapi,Gunung Merbabu,Gunung Sindoro serta Gunung Sumbing.Selain itu sudut kota Solo serta kota Karanganyar kita bisa melihatnya.

Bagi yang mau mengunjungi Candi Cetho,datanglah pas musim kemarau walaupun tidak menjamin kabut tidak datang setidaknya kita bisa menikmati sepuasnya panorama serta keindahan alam di sekeliling Candi Cetho tanpa terhalang datangnya hujan.Gunakan kendaraan yang bermesin prima. Oh,ya harga tiket masuk ke Candi Cetho sangat murah sekali,hanya 3 ribu rupiah saja.

Mengunjungi komplek Candi Cetho terasa lain auranya dibandingkan bila kita mengunjungi candi-candi yang lebih terkenal dan lebih kondang seperti Candi Prambanan maupun Candi Borobudur.Keunikan dan eksotisme Candi Cetho menjadi kelebihan yang belum ada duanya ditambah ornamen penggambaran tentang awal proses kelahiran membuktikan nenek moyang kita dulu sudah menerapkan budaya dan etika yang adiluhung.Pemilihan lokasi di lereng Gunung Lawu yang suasananya sepi,berudara sejuk serta selalu berselimutkan kabut tentu mengandung makna mengapa Candi Cetho dibangun di tempat tersebut.Sangat disayangkan bila segala keunggulan Candi Cetho ini belum dikembangkan potensi pariwisatanya oleh Pemerintah Daerah setempat.Dengan konsep wisata alam dan budaya,Candi Cetho layak diangkat dan dipromosikan lebih gencar lagi ke segala penjuru dunia. Hanya ada di Indonesia...

Trip to Candi Dieng, Menguak Mahakarya Dinasti Sanjaya

Berlibur ke Dieng ini awalnya berasal dari tawaran istri saya bersama teman-teman sekantornya yang ingin sekali-kali mengajak berlibur bersama sekeluarga.Maklum sebagai pekerja pabrik waktu untuk berlibur hampir terabaikan karena tersita rutinitas pekerjaan di kantor.Setelah beberapa hari berembug mematangkan rencana piknik bersama tersebut,diputuskan untuk menghemat pengeluaran kami serombongan menyewa mobil dengan tanpa sopir. Segera mengontak beberapa rental mobil yang ada di kota Jogja,karena dirasa ongkos sewanya terlalu tinggi akhirnya hanya sekedar tanya harga saja.Mendekati hari H,Mas Adi memberi kabar kalau ada mbil saudaranya yang bisa dipinjam dengan ongkos yang dibawah harga pasar,harga teman katanya.Asyikkk...

Setelah mendapatkan kepastian mobil yang akan ditumpanginya serta besarnya iuran dana yang ditanggung,akhirnya tanggal 6 Sepetember 2014 di hari Sabtu,kami berombongan yang terdiri 5 penumpang dewasa serta 4 penumpang anak anak dengan menumpang minivan sejuta umat "Avanza" meluncurlah menuju ke Dieng.Saya dan keluarga yang kebetulan berdomisili di Timur,tepatnya di Piyungan (pasti pada tahu Piyungan khan,sudah terkenal lho jadi nama situs fenomenal di dunia maya),Kami sekeluarga harus bangun pagi-pagi sekali.Jam 06.00 WIB mobil sewaan tersebut sudah menghampiri di rumah dengan mas Adi sendiri sopirnya,dilanjutkan menuju ke daerah Minomartani menjemput Pak Andri sekeluarga.Walaupun diwarnai dengan insiden kesasar,akhirnya jam 06.30 sampai juga di kediaman Pak Andri ini.Dan sudah ditunggu di depan jalan masuk menuju ke rumahnya.

"Ini saya buatkan kentang goreng buat camilan di jalan" kata istrinya mas Andri.Asyik, pagi pagi langsung diberi camilan yang renyah,bathinku.

Setelah semua perbekalan dimasukkan ke mobil,segera kami serombongan menunju ke daerah Pakem. Dengan melewati daerah Plosokuning,terus menuju ke Ngaglik sampailah di jalan Kaliurang. Kondisi lalulintas pagi itu di jalan Kaliurang mulai dari km 10 hingga km 17 sangat lancar mungkin karena hari Sabtu.Sekitar 30 menit kemudian,sampailah kami serombongan di Pakem,menemui Pak Ganjar sekeluarga yang merupakan peserta terakhir Trip to Dieng ini sekaligus merangkap sebagai sopir rombongan.

Tepat jam 07.15 WIB,rombongan bergerak menuju Dieng.Menyusuri jalan Pakem-Turi hingga sampai di jalan Magelang dan bergerak menuju ke arah Magelang.Dengan mengambil rute Magelang kota-Secang-Temanggung dan eng ing eng..rutenya berubah melewati jalanan pedesaan yang masih cukup asing.Oh ya diantara semua penumpang ini semuanya belum pernah berwisata ke Dieng. Jadi rute perjalanan menuju Dieng ini hanya mengandalkan bantuan dari Google Maps. Bisa ditebak khan,bagaimana Google Maps memperkirakan rute ke Diengnya. Ya,aplikasi Google Maps akan menampilkan rute perjalanan terpendek menuju ke Dieng.Walaupun ada pilihan rute lainnya yang lebih panjang. Itu juga yang saya alami beserta rombongan dalam perjalanan menuju ke Dieng.Dan itu dibuktikan di perjalanan ada rombongan sekeluarga yang menaiki mobil LGCC yang tidak kuat menanjak.Sepertinya rombongan tersebut juga mengikuti petunjuk dari Google Maps.

Selepas kota Temanggung yang kanan kirinya berjejer tanaman tembakau,arah mobil berbelok menuju ke arah perbukitan dengan kondisi jalanan yang bergelombang.Kadang kadang harus berpapasan dengan mobil dari arah depan yang membawa berbagai macam panen sayur mayur.Tidak berapa lama kondisi jalan sudah menyempit dan mulai menanjak disertai dengan tikungan tajam.Beberapa kali mobil harus mengalah untuk memberi kesempatan mobil pembawa sayur mayur dari arah depan lewat terlebih dahulu.Dengan jalan yang sempit serta di bahu kanan jalan adalah jurang,denyut jantung penumpang mobil Avanza tersebut semakin berdenyut dengan kencang.Tidak ada celotehan bernada sendau gurau selama melewati jalan asing tersebut.Salah perhitungan bisa bisa mobil ambles terjun ke jurang.Untungnya pak sopir kita cukup terampil dan cekatan dalam mengendarai mobil Avanza tersebut.Trims pak Ganjar...

Setelah melewati rute jalan pintas yang membuat degup jantung berdebar debar akhirnya sampailah kita di jalan yang semestinya kita tempuh.Dengan kualitas jalan yang bagus perjalanan menuju ke Dieng terasa lebih nyaman dan tidak membuat deg degan lagi.Setelah melewati gapura selamat datang di Dieng Plateu,kami serombongan tiba di pintu masuk obyek wisata Dieng Plateu.Seorang bapak-bapak menghampiri kami dan menghitung berapa jumlah penumpangnya.Setelah itu beliau menyampaikan berapa ongkos tiket masuknya.Ada yang aneh sebenarnya pada ongkos masuk ke wisata Dieng Plateu ini.Sebenarnya ongkos masuknya untuk satu paket (tiket ke Dieng Theatre,Komplek candi Arjuna serta ke kawah Sikidang) adalah 18 ribu per orang.Dengan penumpang 7 orang dewasa kita membayar 126 ribu, harusnya kita mendapatkan 7 tiket tapi nyatanya kita hanya mendapatkan 5 tiket saja dengan embel embel tulisan di lembar tiket pertama untuk 7 orang.Modus baru nih....

Sayangnya bukti tiket tersebut tidak saya dokumentasikan sebagai barang bukti.

Tujuan pertama setelah lepas dari pintu masuk wisata Dieng adalah menuju ke Dieng Plateu Theater.Di pelataran Dieng Plateu Theater kita bisa menjumpai para pedagang yang menjajakan dagangannya.Ada jamur tiram krispy,kentang goreng,tempe kemul serta makanan instant.Sambil menunggu jadwal pemutaran filmnya,kita bisa menikmati kuliner camilan khas Dieng tersebut.

Sebelum menonton film tentang sejarah Dieng hingga terjadinya tragedi Gas Beracun di kawah Sinila,saya dan rombongan menyempatkan diri menaiki bukit yang berada persis di depan gedung Dieng Plateu Theater. Bukit Batu Pandang namanya.Untuk sampai di puncak bukit tersebut,kita harus melewati hutan pinus serta jalan setapak yang menanjak.Mendekati puncak Bukit Batu Pandang,kita harus membayar tiket masuknya,hanya 3 ribu saja per orang.Untuk menarik pengunjung pengelola Bukit Batu Pandang pun memutar lagu lagu tradisional jawa yang lagi ngetrend saat ini lewat pengeras suara yang diletakkan di atas bukit.

Dari atas bukit Batu Pandang terlihat 2 telaga yang airnya terlihat berbeda antara telaga satu dengan telaga lainnya.Itulah Telaga Warna yang menjadi iconnya wisata Dieng.

Telaga warna dari Bukit Batu Pandang (dok.pri)

Air dari kedua telaga tersebut yang berwarna warni terjadi karena adanya kandungan belerang yang terkena pantulan sinar matahari. Ya,kawasan Dieng merupakan kawasan dataran tinggi vulkanik yang masih aktif.Bisa dikatakan sebagai gunung berapi raksasa.Tidak heran bila Dieng ini memiliki beberapa kawah yang masih aktif yang tersebar dibeberapa tempat dengan jarak yang berjauhan.Dengan ketinggian diatas 2000 mdpl,suhu di Dieng terasa cukup dingin bagi kebanyakan orang Indonesia.Pada siang hari suhu udara berkisar pada 15-20 C,sedangkan pada malam hari berkisar pada 10 C.Bahkan pada bulan-bulan tertentu pada malam hari suhu udara bisa mendekati 0 C sehingga terjadi fenomena embun es,penduduk Dieng menyebutnya Embun Upas.

Selain Telaga Warna,dari atas bukit Batu Pandang kita bisa melihat para petani yang sedang mengairi lahannya dengan menggunakan pipa-pipa air yang terlihat mengular dari bawah bukit.Berbagai tanaman sayuran ditanam oleh petani Dieng,ada kentang,daun seledri,daun bawang,serta cabai.Khusus untuk cabai ini,bentuk cabai khas Dieng berbeda dengan cabai yang kita kenal.Bentuknya bongsor dengan isi didalamnya berwarna hitam.Rasa pedasnya standar hampir sama dengan cabai rawit. Dari Bukit Batu Pandang ini,pemandangannya sangat memanjakan kedua pasang mata kita. Jadi belum lengkap ke Dieng kalau belum naik ke Bukit Batu Pandang ini....

Gedung Megah Dieng Plateu Theater (Dok.tripadvisor.com)

Puas menikmati pemandangan dari bukit Batu Pandang,saya dan rombongan bergegas menuju ke gedung Dieng Plateu Theater.Bangunan gedung theater yang dibangun menyerupai rumah gadhang ini tentu menarik para pelancong untuk datang.Apalagi posisinya dilereng bukit Sikendil yang juga tidak kalah menawarkan pemadangan alam yang menawan.Sumur sumur geothermal dengan asap putih yang mengepul membumbung tinggi membentuk lukisan awan serta bukit putih di kejauhan yang tak lain kawah Sikidang dan tak ketinggalan Telaga Warna,semua itu dapat dilihat dari sisi belakang Gedung Dieng Palteu Theater.

Terlihat dikejauhan asap putih mengepul dari kawah Sikidang (dok.pri)

Film yang diputar di Dieng Plateu mengisahkan tentang sejarah terjadinya dataran Dieng,budaya masyarakat Dieng serta aktivitas vulkanologi yang terus dipantau oleh lembaga yang berwenang.Selain itu juga dikisahkan tentang peristiwa gas beracun yang terjadi di kawah Sinila yang mengakibatkan banyak korban jiwa karena menghirup gas CO2 yang dikeluarkan oleh Kawah Sinila tersebut.Berbeda dengan letusan kawah gunung berapi lainnya yang berupa lava pijar,letusan di kawah Dieng didominasi gas beracun terutama gas CO2.

Puas menikmati sajian pemutaran filmnya yang berdurasi sekitar 23 menit tersebut,saya dan rombongan segera melanjutkan perjalanan.Tujuan berikutnya menuju ke komplek Candi Dieng yang unik karena bentuknya yang mungil dan arsitekturnya sederhana.Selain itu sekumpulan candi-candi tersebut dinamai berdasarkan tokoh pewayangan seperti dalam kitab Mahabharata.

Candi-candi Dieng merupakan mahakarya dinasti Sanjaya sebagai candi beraliran hindu tertua di Jawa pada abad ke 7 yang masih tampak gagah di dataran tinggi Dieng. Bangunannya yang berukuran kecil rata-rata 4 m persegi terlihat cantik di tengah-tengah gunung Dieng.

Sebenarnya lokasi candi Dieng ini berada di kabupaten Banjarnegara bukan di kabupaten Wonosobo.Entah mengapa orang lebih senang menyebut candi Dieng ini berada di Wonosobo.

Nah,Candi Dieng ini sebenarnya sebuah komplek candi yang terdiri dari 3 kelompok candi serta sebuah candi yang berdiri sendiri. Yaitu komplek Candi Gatotkaca,komplek Candi Arjuna,komplek Candi Dwarawati serta Candi Bima yang berdiri sendiri.

Secara keseluruhan Candi Dieng menempati areal seluas 1,9 x 0.8 km2.Sejarah berdirinya Candi Dieng sampai saat ini tidak jelas kapan waktunya.Hanya ada satu prasasti yang ditemukan di kawasan itu yang memiliki angka tahun 808 M.

Karena terbatasnya waktu,saya dan rombongan hanya mengunjungi komplek Candi Arjuna saja. Selepas dari tempat parkir mobil,kami segera menuju ke komplek Candi Arjuna yang terletak di sebuah dataran yang lebih rendah dari tempat parkir mobil kami.Untuk tiketnya,kita hanya menyerahkan tiket "terusan" yang kita dapatkan waktu di pintu masuk kawasan wisata Dieng.Setelah menuruni anak tangga yang lumayan membuat kaki pegal juga,saya dan rombongan menyusuri jalanan berkonblok menuju ke komplek Candi Arjuna.

Rombongan trip ke Komplek Candi Arjuna (ki-ka)Mas Andri,Penulis,Mas Adhi,Mas Ganjar (posisi berdiri) Duduk = Istri mas Andri,Istri Penulis dan Istrinya Mas Ganjar (posisi duduk) (dok.pri)

Ada 5 bangunan candi di komplek Candi Arjuna ini yaitu Candi Arjuna,Candi Semar,Candi Puntadewa,Candi Sembadra dan candi Srikandi.Letak candi Arjuna berada di ujung selatan dan menghadap ke arah barat.Candi Arjuna ini merupakan candi yang masih utuh dan lengkap dibanding candi candi lainnya di komplek Candi Arjuna ini.Di depan Candi Arjuna ini terdapat Candi Semar.Letak Candi Semar ini memang sedikit "nyleneh" karena letaknya menantang matahari terbit,serta tidak dalam satu deret dengan candi lainnya.Mungkin dulunya Candi Semar ini berfungsi sebagai tempat untuk menyimpan alat-alat serta perlengkapan peribadahan.

Sewaktu saya dan rombongan berkunjung ke Candi Arjuna,ada sekelompok orang berjumlah 5 orang yang memakai kostum rampok yakso serta 1 orang berkostum hanoman putih.Cukup dengan membayar 10 rb untuk 3 kali sesi pemotretan,kita bisa berpose bersama dengan para warang-warang tersebut.Dan hanya di komplek Candi Arjuna ini daerah operasi dari para warang-warang tersebut.

Kapan lagi bisa berpose dengan Hanoman,si Kethek Putih ini,hanya ada di Dieng lho.

Bersama para warang-warang di depan Candi Arjuna (dok.pri)

Sebelah utaranya Candi Arjuna adalah candi Srikandi.Diantara candi candi lainnya hanya di Candi Srikandi ini relief Tri Murti dapat ditemukan.Relief dewa Wisnu terpahat di bagian utara sisi candi, di sisi selatan tergambar relief Dewa Brahma dan relief Dewa Siwa terlihat di sisi bagian timur Candi Srikandi.Disebelah Candi Srikandi berdiri candi Sembadra yang memiliki ukuran paling kecil dibanding ukuran candi candi lainnya.Dan candi ujung utara sendiri adalah Candi Puntadewa,candi yang terlihat paling ramping karena berdiri diatas batu setinggi 2.5 meter dengan ukuran 4.4x4.4 meter.Ada keistimewaan bagi penduduk Dieng yang selalu dilaksanakan di Candi Puntadewa ini,yaitu upacara buang sial bagi anak anak Dieng berambut Gimbal.Biasanya upacar besar seperti Dieng Culture Festival pun dilaksanakan di depan Candi Puntadewa ini.Sayangnya saya dan rombongan kelewatan dengan tradisi besar penduduk Dieng tersebut.Upacara tersebut sudah dilaksanakan 1 minggu sebelumnya.

Sebenarnya masih ada komplek Candi lagi yang berdekatan dengan komplek Candi Arjuna ini yaitu Candi Gatotkaca. Letaknya hanya ditepi jalan raya dan berada di dataran lebih tinggi dibanding komplek Candi Arjuna.Ada lagi komplek Candi yang menyendiri di atas bukit yaitu Candi Bima.Nah,Candi Bima ini merupakan candi terbesar yang ditemukan di Dieng.Dulunya Candi Bima digunakan untuk upacara Pradiksina yaitu mengelilingi candi Siwa searah putaran jarum jam sebanyak tiga kali putaran dengan melakukan Kirab Mendhak Tirta.Entah sekarang masih digunakan untuk upacara tersebut atau tidak,tiada keterangan pasti.

Lelah menelusuri kemegahan dan eksotisme komplek Candi Arjuna,jangan lupa mencoba menikmati kuliner khas Dieng yang rasanya mak yuss,mie Ongklok namanya.Di parkiran depan pintu masuk komplek Candi Arjuna bertebaran warung warung yang menjual mie Ongklok ini.

Sajian Mie ongklok (dok.pri)

Tidak menyesal kami makan mie Ongklok ini. Sempat merasa aneh dengan penyajiannya yang menggunakan sate ayam dan sambal kacang, tapi ternyata rasanya enak banget. Mie ongklok ini terdiri dari mie telur yang direbus dalam kuah berbumbu, tapi disajikan tanpa kuah, lalu diberi ajuran kanji. Kanji ini sudah diperlakukan sedemikian rupa hingga penampakannya jadi seperti lendir, tapi tenang saja enak kok dimakan, jadi jangan jijik dulu. Setelah itu penyajiannya masih ditambah bawang goreng dan irisan daun kucai. Mie Ongklok ini makin enak dimakan bareng sate ayam, hmmm.. enak banget, satu porsi gak akan cukup....

Jam sudah menunjukan pukul 16.00 WIB ketika saya dan rombongan meninggalkan komplek Candi Arjuna.Masih ada waktu sedikit,mobil diarahkan menuju ke arah Kawah Sikidang.Walaupun awal mulanya tidak ada niat mau menuju ke sana karena menurut penjaga warung di parkiran Komplek Candi Arjuna di sekitar kawah Sikidang bau belerang sangat menyengat.Disarankan untuk memakai masker.Padahal dalam rombongan ada 2 balita,tentu untuk memakai masker belum pada mau.

Akhirnya saya dan rombongan hanya mampir sejenak di parkiran Kawah Sikidang.Tidak mendekat sampai ke bibir kawah yang terlihat mengepul mengeluarkan asap putih membumbung di kejauhan.

Di kejauhan terlihat asap putih berbau belerang dari Kawah Sikidng (dok.pri)

Di kejauhan terlihat asap putih membumbung tinggi dari sumur geothermal (dok.pri)

Jam 5 sore lebih,saya dan rombongan meninggalkan kawah Sikidang dan melanjutkan perjalanan pulang ke Yogya.Rute menuju ke Yogya melalui rute yang "seharusnya" kami lalui waktu berangkat.Bagi yang ingin ke Dieng berombongan disarankan memakai kendaraan bus kecil,karena kondisi jalan lumayan sempit yang tidak dapat dilalui bus besar.Pemandangan di jalur menuju ke Dieng juga sayang kalau dilewatkan begitu saja.Selain itu bagi yang ingin menginap,tersedia banyak model penginapan disepanjang jalan menuju ke kawasan wisata Dieng.Dengan pilihan harga yang cukup terjangkau di kantong kita.

Menikmati kemegahan candi dan keindahan alam dataran tinggi Dieng yang tidak kalah dengan Candi Cetho di lereng Gunung Lawu membuktikan keahlian dan kehebatan teknologi masyarakat jaman dulu dalam membangun suatu komunitas di suatu tempat yang memang memiliki potensi untuk menjadi saksi kemajuan peradabannya.Sekali lagi hanya ada di Indonesia....

Menikmati Indahnya Tari Legong di Bali.

Tidak lengkap rasanya menelusuri berbagai peninggalan candi beragama HIndu di tanah Jawa tanpa melihat langsung kehidupan nyata para penganut agama Hindu di Pulau Bali.Alhamdulillah pada tanggal 10 Oktober 2014 kemarin,saya dan 9 teman-teman kompasianer lainnya berkesempatan mengunjungi Pulau Bali.Saya absen dulu pesertanya,ada Pak Syukri yang jauh dari Aceh,Pak Fadli,Mas Dzulfikar,Mas Ical,Mas Rizki,Mas Fandi,Mas Hendra,sama Mb Arifah serta ditemani Mb Nurhasah dan perwakilan dari Pertamina.Salah satu agenda acara yang sepertinya "mendadak",diluar jadwal resmi adalah mengunjungi Puri Agung di Peliatan,Ubud,Gianyar Bali.

Setelah lelah mendayung perahu di Sungai Ayung serta men"charge" kembali kekuatan tubuh di resto Bebek Bengil, saya dan rombongan dengan ditemani pemandu kita yang cantik,Mb Asri,diarahkan menuju kesalah satu situs budaya yang masih terjaga hingga saat ini.Puri Agung namanya.Mungkin kita mengira antara puri dan pura adalah sama.Ternyata Puri ini berbeda dengan Pura,Puri kalau di Bali dikhususkan sebagai tempat tinggal kalangan Raja dan Bangsawan, mungkin kalau di Jawa namanya Kraton.

Nah,di Puri Agung Peliatan ini berdasarkan brosur yang saya terima dari Mb Asri,memang sebagai tempat tinggal dari Raja yang bergelar Ida Dua Agung Peliatan.Terdapat 3 bangunan utama di dalam Puri yaitu bangunan Utama,Madya dan Jaba. Bangunan Utama yang disebut Merajan merupakan tempat ibadah pribadi sang Raja dan keluarganya.


Merajan dari brosur Puri Peliatan (dok.pri)


Sedangkan bangunan Madya yang berlokasi di sisi barat dan sisi timur serta area sekelilingnya merupakan tempat tinggal dari keluarga kerajaan raja.Sedangkan bangunan Jaba yang dikenal dengan sebutan Ancak Saji merupakan tempat tamu dari keluarga besar kerajaan.

Selain itu ada bangunan kecil yang didalamnya terdapat patung/arca yang disebut Semanggen (gambar disamping),dimana di tempat tersebut menjadi tempat untuk berkumpul seluruh keluarga kerajaan dan tempat melakukan upacara keagamaan seperti upacara Pitra Yadnya.Berbagai ornamen berwarna keemasan menghiasi berbagai sudut bangunan tersebut.

Selain itu masih ada bagian dari Puri yang berfungsi sebagai tempat bertahtanya sang Raja serta sebagai temapt sang Raja mengumumkan berbagai kejadian kepada rakyatnya,seperti pengumuman kelahiran anak,kematian serta pernikahan dan keadaan darurat.Gedong Suci nama tempat tersebut.

Bale Murda atau Bale Suci merupakan tempat untuk melakukan upacara keagamaan seperti upacara merapikan gigi bagi anak-anak yang mencapai usia menginjak dewasa.Selain itu di Bale Murda ini juga sebagai tempat peribadatan atau Ngastawa.Sayangnya waktu saya dan rombongan berkunjung ke Puri Agung ini hanya sampai di halaman pendopo saja.

Kembali ke pokok acara,seperti bangunan candi yang ada di tanah Jawa,kami dipintu masuknya disambut sebuah gapura yang didepannya terdapat 2 buah arca penjaga.Hanya bedanya kalau gapura candi yang ada di jawa terbuat dari batu hitam khas yang berasal dari muntahan gunung berapi,gapura di Bali terbuat dari batubata.Kearifan lokal dengan memanfaatkan sumber daya alam yang tersedia disekitarnya.

Setelah melewati gapura,terdapat halaman puri yang lumayan luas.Suasananya tidak begitu ramai,disebelah kanan terdapat bapak-bapak dibantu ibu ibu sedang membuat perlengkapan sepertinya untuk upacara keagamaan. Sedangkan disamping kiri terdapat 3 anak kecil yang sedang berlatih menari.Sementara di depan halaman puri terdapat sebuah pendopo yang sepertinya menjadi tempat penyambutan tamu yang berkunjung ke Puri Agung Peliatan ini.Sedangkan disamping pendopo kiri terdapat gapura lagi yang menjulang tinggi yang merupakan pintu masuk menuju ke kediaman dari raja Puri Agung ini.Di depan gapura tersebut terlihat beberapa wisatawan asing dari Asia nampak asyik mengambil gambar beberapa sudut Puri bersama pasangannya.

Pintu gerbang menuju ke Bagian dalam Puri serta Pemandu kita Mb Asri dengan welcome drink-nya(dok.pri)

Sesuai dengan tata krama/etika yang berlaku di Puri Agung ini bahwa setiap tamu yang berkunjung ke puri harus mengenakan busana adat Bali,saya dan rombongan pun harus mengenakan busana adat Bali." Kalau bukan kita yang melestarikan budaya kita sendiri,siapa lagi mas?",kata ibu yang membantu saya mengenakan busana adat Bali."Seperti di Jogja juga begitu ibu,kalau mau masuk ke lingkungan dalam Keraton Jogja juga harus memakai pakaian adat Jawa",jawabku.

Kursi kursi sudah dipersiapkan di pinggir halaman puri.Tak berapa lama minuman ucapan selamat datang mulai disuguhkan.Kalau ditempat lain minuman selamat datang ini biasanya teh panas atau air putih,di Puri Agung Peliatan ini minumannya adalah air kelapa gading berwarna kuning yang masih murni lengkap dengan batok kelapanya.Ternyata kelapa gading kuning ini bagi masyarakat Bali mengandung arti sebagai air kehidupan.Selain sebagai suguhan para tamu yang berkunjung ke Puri,kelapa gading kuning juga digunakan dalam upacara adat dan keagamaan.

Setelah semua anggota rombongan memakai pakaian adat Bali,kami dipersilahkan menuju ke dalam pendopo.Dengan beralaskan karpet warna hijau,serta telah disiapkan sajian jajanan kecil yang tersaji diatas nampan yang terbuat dari anyaman bambu,saya dan rombongan memilih sendiri tempat duduk yang disukai.Tak berapa lama,seorang ibu membawa teko berisi kopi dan teh dan menuangkannya ke dalam cangkir yang telah ada di nampan tersebut.Pengunjung bisa memilih minuman teh atau kopi yang akan dituangkan kedalam cangkir tersebut.

Akhirnya yang dinanti nanti datang juga.Seorang anak laki laki berumur sekitar 8 tahunan menaiki tangga dan segera menari dihadapan kami.Gerakannya lincah khas gerakan tarian Bali.Gerakan mata dan tangan mendominasi dari tari yang dimainkan oleh anak laki laki tersebut.Sekitar 5 menitan menari sendirian,bergabunglah 2 anak perempuan dengan menggunakan kebaya khas Bali.Kolaborasi 3 anak penari ini menghasilkan pertunjukan yang sedap dipandang mata.

Tari Legong (dok.pri)

Saya dan teman-teman yang duduk laksana tamu kerajaan tidak ada yang bergeming dalam menyaksikan pertunjukan tari Legong yang dibawakan 3 anak kecil tersebut.Seperti menghayati makna yang terkandung dalam tari Legong tersebut.Waktu 20 menit yang disediakan untuk menyaksikan pertunjukan tari tersebut terasa hanya sekedipan mata saja.Terlalu sebentar....

3 orang anak kecil tersebut ternyata merupakan anggota keluarga Puri Agung,keterangan ini saya dapatkan dari ibu yang melepas kembali pakaian adat Bali setelah kami serombongan selesai menonton pertunjukan tari tersebut. Sayangnya waktu pertunjukkan tersebut anak anak penari tidak memakai pakaian yang memang dikhususkan untuk menari tari Legong ini.Tapi tetap saja enak dipandang mata

Semoga saja suatu saat anak anak tersebut kala menginjak usai dewasa tetap mau dan mampu melestarikan budaya tari Bali yang eksotik.Proses regenerasi penari yang harus didukung semua pihak dikala jaman yang tergerus arus modernisasi.

Kesimpulan

Bangunan candi candi yang berada di tanah Jawa yang dulunya diseklilingnya dilengkapi dengan tempat tinggal atau komunitas masih dapat kita temui di masyarakat Bali.Puri yang berfungsi sebagai tempat tinggal keluarga bangsawan pun dilengkapi dengan tempat peribadatan serta tempat untuk menyimpan segala perlengkapan.Di komplek Candi Dieng serta Candi Cetho pun dapat kita temui hal hal tersebut.Sebelum memasuki komplek Candi Arjuna,terdapat Komplek Dharmasala namanya yang merupakan tempat para brahmana mengabdikan hidup mereka, juga sebagai tempat menyambut tamu.Saat ini fondasi fondasi yang merupakan tempat tinggal para brahmana tersebut masih dapat kita temukan di sana.Di Candi Cetho pun,sebelum menuju ke puncak candi terdapat bangunan bangunan yang fungsinya juga sebagai tempat tinggal para brahmana.Ada rentetan peristiwa sejarah yang menyambung antara Cetho,Dieng dan Bali.

Salah satu ciri budaya yang melekat dalam kehidupan masyarakat Bali adalah bunga dan dupa.Di Cetho dan Dieng pun masih bisa kita temukan kedua benda sakral tersebut.Begitu kaya negara Indonesia ini dengan budaya,sejarah,adat isitadat serta alamnya yang tiada duanya di dunia ini. Kewajiban kita sebagai generasi penerus untuk melestarikannya agar tidak punah di makan derasnya arus modernisasi maupun diklaim oleh pihak asing.

Menjadi pengalaman yang menarik bagi saya bisa mengunjungi 3 tempat yang sangat spesial dan menambah khasanah pengetahuan saya tentang sejarah masa lalu dari bangsa besar ini.Mari mengenal lebih dekat tempat tempat wisata di berbagai daerah di seluruh Indonesia.Jadi mengapa kita harus pergi ke luar negeri untuk berlibur, sedangkan di Indonesia sendiri banyak obyek wisata yang tidak kalah menarik,lebih bagus dan lebih indah panoramanya.Wonderful Indonesia.Semoga bermanfaat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun