Mohon tunggu...
Satya Hedipuspita
Satya Hedipuspita Mohon Tunggu... -

Nama saya Satya, diambil dari bahasa Sanskrit yang berarti kebenaran. Kebenaran sejati bukan saya, tetapi saya mengikuti Dia yang adalah kebenaran sejati dan kehidupan sejati. Karena nama ini diberikan orang tua saya bagi saya, maka saya akan berjuang sebagai pewarta kebenaran.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Otoritas Alkitab

4 April 2016   16:49 Diperbarui: 4 April 2016   17:22 890
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption caption="http://milnrow.org"][/caption]
 

Otoritas Alkitab merupakan tema dasar teologis yang menghantar pada pembahasan mengenai penyataan, pewahyuan, ketidakbersalahan dan beberapa tema yang lain mengenai Alkitab. Dalam Tata Gereja GKI pasal 3 (BPMS GKI, 2003), mengenai Pengakuan Iman, pada ayat 2 berbunyi:

“GKI mengaku imannya bahwa Alkitab Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru adalah Firman Allah, yang menjadi dasar dan norma satu-satunya bagi kehidupan gereja.”

Dari pernyataan ini maka kita memahami beberapa hal mengenai pengakuan iman GKI terhadap keberadaan Alkitab:

  • Alkitab terdiri atas Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru.
  • Alkitab adalah Firman Allah
  • Alkitab adalah dasar dan norma tunggal kehidupan gereja.

Sebagai pedoman tunggal kehidupan gereja, maka kita perlu memegang Alkitab sebagai Firman Tuhan dengan sungguh-sungguh, sehingga kita memahami dan menghidupi serta tidak kehilangan Firman itu pada kita.

Saat ini kita memahami kata Alkitab sebagai nama dari Kitab Suci kita, orang Kristen. Kata Alkitab merupakan kata serapan dari bahasa Arab yang seharusnya ditulis Al Kitab. Kata ‘kitab’ memiliki makna buku pegangan atau ‘buku wajib’ dalam kegiatan belajar mengajar. Sementara ‘Al’ merupakan artikel, yang menunjuk hal tertentu yang ditunjukkan oleh kata berikutnya, hal ini dapat diartikan sama dengan kata the dalam bahasa Inggris.

Alkitab terdiri atas Perjanjian Lama (PL) dan Perjanjian Baru (PB), yang masing-masing perjanjian terdiri atas kitab-kitab yang bersifat kanonik. Keseluruhan kitab yang berjumlah 66 ini, 39 PL dan 27 PB, diterima sebagai kitab-kitab kanon, dan disatukan pada abad 2-4 masehi. Istilah kanon akan dibahas lebih lanjut dalam bagian berikutnya.

Secara keseluruhan Alkitab ditulis oleh lebih dari 40 penulis dari berbagai latar belakang. Pengilhaman isi Alkitab tidak menggunakan manusia sebagai robot yang menerima firman kata per kata. Isi Alkitab datang kepada kita dengan perantaraan manusia, dan tanpa mengurangi keberadaan manusia tersebut. Walaupun dituliskan, ditulis ulang dan diterjemahkan oleh manusia, kita percaya bahwa itu semua terjadi dalam kuasa dan bimbingan Roh Kudus. Penulisan seluruh Alkitab terjadi dalam kurun waktu lebih dari 1500 tahun, yaitu mulai jaman Musa hingga abad pertama masehi, namun demikian kita memahami Alkitab sebagai satu kesatuan yang utuh dan menyeluruh.

Alkitab berisikan kesaksian menyeluruh tentang Allah, selain itu Alkitab juga berisikan kesaksian mengenai tanggapan manusia terhadap pernyataan Allah. Kesaksian-kesaksian itu berpusat pada Kristus yang padanya kita terhisap dalam keselamatan yang disediakannya sehingga kita berikutnya akan mengalami penggenapan Kerajaan Allah.

Kanon Kitab Suci dapat diartikan secara sederhana sebagai susunan kitab yang terdapat dalam Kitab Suci. Daftar ini dikenali sebagai tulisan berharga yang digunakan dalam perkumpulan ibadah orang. Dalam konteks Kristen dapat dikatakan sebagai ‘daftar tulisan yang diterima Gereja sebagai dokumen-dokumen dari wahyu ilahi (Bruce, 1988; Hanson, 1954). Kata kanon berasal dari bahasa Yunani yaitu kanw`n atau kanon yang memiliki arti buluh atau batang, sebuah batang atau buluh yang lurus yang digunakan sebagai aturan. Dalam bahasa Inggris biasa digunakan sebagai ukuran atau standar. Yang kemudian pada bahasa-bahasa lain menunjuk pada karakter dan struktur buluh itu (Harrison, 1991).

Penggunaan istilah kanon ini pada masa kekristenan yang mula-mula adalah untuk menunjuk pada peraturan iman atau pada tulisan yang memenuhi standar, berotoritas. Dengan demikian kanon dapat diartikan sebagai tulisan yang diterima mencapai standar yang sebenarnya adalah Firman Tuhan.

Dari arti kata kanon yang dasar, kemudian berkembang dengan memiliki pengertian metafora. Yaitu, bahwa kanon berarti standar atau norma. Pada jaman Latin penggunaan istilah kanon ini telah mengacu pada pengertian metafora antara lain untuk mengambarkan standar dalam etika, seni, literatur dan pada bidang-bidang lain. Dalam pengertian teologis, pada masa kekristenan yang mula-mula, kata kanon ini dipakai untuk menyatakan standar iman atau Alkitab yang berotoritas, Firman Tuhan.

Standar
Otoritas dalam istilah Yunani menggunakan kata exousia berarti kuasa yang adil, sungguh, dan tak terhalangi bertindak, atau memiliki, mengontrol, memakai atau menguasai sesuatu atau seseorang. Otoritas ini menuntut ketertundukan, kepatuhan dari mereka yang ada dibawah otoritas tersebut (Douglas, 1996). Gereja dapat merasakan dan mengalami otoritas itu, tetapi otoritas Alkitab tidak didapat dari gereja walaupun gereja yang mengumpulkan, menyatukan kitab-kitab tersebut dan menggunakannya. Otoritas hanya didapat dari Dia, Allah yang mengilhamkan, yang adalah sumber penulisan itu sendiri. Seorang pengkhotbah pada masa penulis kuliah di STT Telkom pernah memberikan ilustrasi sebagai berikut:

Ada seorang bapak memiliki anak yang suka bermain dengan mainan yang menggunakan baterai. Si anak telah memiliki banyak baterai tapi banyak, sebagian besar, diantaranya sudah tidak memiliki daya. Kemudian sang bapak membelikan lagi banyak baterai baru, yang masih memiliki daya yang kuat. Kemudian oleh si anak, baterai yang masih ada dayanya dan yang sudah tidak berdaya dicampur. Untuk menentukan baterai mana yang masih memiliki daya maka perlu diuji. Namun demikian yang membuktikan apakah baterai itu masih memiliki daya atau tidak adalah baterai itu sendiri.

Diwahyukan oleh Allah sendiri, tanpa Allah menyatakan diri-Nya tidak mungkin manusia, umat-Nya, dapat mengenal diri-Nya. Dalam 2 Pet 1:21 “... oleh dorongan Roh Kudus orang-orang berbicara atas nama Allah.” Pada bagian kedua ini jelas sekali ditekankan bahwa Roh Kuduslah yang mendorong para nabi untuk berbicara dan atau menulis, menyampaikan, apa yang dikehendaki Allah kepada manusia. Para penulis kitab sendiri menuliskan sesuai apa yang dinyatakan Allah kepada mereka yaitu dengan segala kerterbatasan yang dimilikinya. Allah bertindak, seperti pengasuh terhadap bayi, Allah berbicara kepada kita, merendahkan diri-Nya agar dapat dipahami oleh umat manusia (Milne, 1996).

Yesus menghormati Firman Allah. Dalam Mat 5:17 tertulis, “Jangan kamu menyangka, bahwa Aku datang untuk meniadakan hukum Taurat atau kitab para nabi. Aku datang bukan untuk meniadakan, melainkan untuk menggenapinya.” Pada bagian ini jelas bahwa Yesus menghormati otoritas Firman Tuhan yang datang melalui para nabi dan kemudian menunjukkan bahwa dirinya adalah penggenapan dari Firman Tuhan (Milne, 1996).

Kudus dan Dinamis
Dalam suratnya yang kedua kepada Timotius Rasul Paulus menuliskan, “Segala tulisan yang diilhamkan Allah memang bermanfaat untuk mengajar, untuk menyatakan kesalahan, untuk memperbaiki kelakuan dan untuk mendidik orang dalam kebenaran. dengan demikian tiap-tiap manusia kepunyaan Allah diperlengkapi untuk setiap perbuatan baik.” (2 Tim 3:16-17). Hal pertama yang dapat kita pelajari adalah bahwa Alkitab diilhamkan oleh Allah. Kemudian dapat kita lihat bahwa kata ‘diilhamkan’ dalam bahasa Inggris terjemahan NIV digunakan kata ‘God breathed’, dinafaskan Allah, hal ini menunjukkan bahwa Alkitab adalah penyataan diri-Nya. yaitu Allah sendiri.

 Hal kedua yang dapat kita pelajari adalah peranannya dalam membentuk orang kepunyaan-Nya. Firman-Nya bukanlah tulisan yang mati yang tidak mempengaruhi kehidupan para pembacanya, namun ia aktif dan dinamis mengubah orang ke arah yang dikehendaki oleh Allah. Firman Allah dinamis, mampu memberikan pencerahan dan mengubah karakter dan hidup manusia. Sangat penting sehingga tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia pada semua generasi dan waktu (Stott, 1989).

Orisinalitas
Kita mempercayai bahwa pada penulisannya, Alkitab tidak memuat kesalahan. Dan dalam penyalinannya ada pemeliharaan Allah yang nyata dengan suatu aturan penyalinan yang ketat. Tulisan-tulisan Alkitab dapat ditelusuri hingga pada tulisan yang mendekati asli. Penemuan arkeologi sangat membantu dalam membuktikan kebenaran tulisan Alkitab. Salah satu penemuan yang menonjol adalah Dead Sea scrolls, yang kemungkinan digunakan oleh kaum Essenes (Milne, 1996; Harrison, 1991; Elwell, 1995; Packer at al, 1962).

Satu Kesatuan dan Menyeluruh
Ada banyak teolog menyatakan bahwa Alkitab mengandung Firman Allah, ada juga orang yang mengatakan bahwa dalam Alkitab banyak terdapat kesalahan dan pertentangan ayat. Namun demikian kita, penulis percaya seperti keyakinan Iman GKI mengakui Alkitab sebagai Firman Tuhan yang utuh dan menyeluruh. Kitab-kitab yang dikumpulkan untuk dijadikan kanon tidak saling bertentangan, bahkan saling melengkapi.

Pandangan bahwa terjadi kontradiksi dalam Alkitab dapat dijelaskan sebagai berikut (Sproul, 1998):

  • Pertentangan dalam Alkitab yang dilihat merupakan kontradiksi adalah paradoks, dimana hal ini menunjukkan bahwa penyalin dan pembaca tidak memiliki proses berpikir yang cukup teliti. Seakan-akan bertentangan, walaupun sesungguhnya tidak.
  • Banyak hal yang tidak dapat dimengerti sehubungan dengan keberadaan Allah. Namun demikian ketidak mengertian tersebut tidak berarti bahwa hal tentang Allah, tidak rasional, lebih tepat hal-hal yang berhubungan dengan Allah dikatakan sebagai sebuah misteri.

Setiap kitab yang diakui dan termasuk dalam kanon memiliki pola pikir yang menyeluruh dalam rangkaian janji dan penggenapan keselamatan dari Allah dalam diri Yesus Kristus.

Ukuran-ukuran inilah yang utama yang digunakan dalam menentukan suatu kitab termasuk dalam kanon atau tidak, termasuk untuk melihat keberadaan Apocrypha dalam kekristenan. Gereja Kristen Protestan tidak mengakui Apocrypha PL (pseudepigrapha) sebagai kanon dengan beberapa alasan antara lain:

  • Yesus, secara umum penulis-penulis dalam PB, tidak pernah mengutip tulisan-tulisan yang terdapat dalam Apocrypha secara nyata.
  • Perjanjian Lama versi bahasa Ibrani tidak memuatnya dalam kanon dan hanya pada bahasa Yunani yang memuat, itu pun baru terdapat pada abad 4 M sedangkan penterjamahannya dilakukan abad 3 SM.
  • Dalam konsili besar orang Yahudi di Jamnia pada tahun 90 M, dinyatakan bahwa Apocrypha tidak termasuk kanon PL (Elwell, 1995).

Namun demikian Apocrypha masih bermanfaat untuk mempelajari masa kekosongan wahyu Allah. Untuk dapat melihat budaya dan pengharapan umat pada waktu itu. Sehingga dapat mengungkapkan latar belakang cara pandang mereka terhadap kedatangan Yesus.

Penutupan Kanon
Kita ketahui bahwa PL telah rampung jauh sebelum kedatangan Yesus Kristus. Sepertinya jarang terjadi perselisihan paham di antara orang Yahudi mengenai isi kanon tersebut. Beberapa bukti yang menunjukkan penutupan Kanon Perjanjian Lama:

  • Pernyataan Yesus. Dalam Mat 5:17-18 dan Mat 11:13.
  • LXX, Septuaginta, terjemahan Perjanjian Lama dalam bahasa Latin dimulai pada abad 3 sebelum masehi.

Sehubungan dengan PB, usaha paling dini yang diketahui untuk membuat daftar kita-kitab kanonis adalah ‘Kanon Muratori’ sekitar tahun 175 M. Daftar lengkap yang paling dini, dibuat oleh Eusebius (meninggal tahun 340 M). Dan Kanon yang kita kenal sekarang merupakan daftar yang disusun oleh Athanasius pada tahun 367 M, yang disahkan oleh Konsili Carthage pada tahun 397 M (Packer at al, 1962).

Penyalinan dan Terjemahan
Penyalinan Kitab Suci yang secara pasti tidak dapat diketahui permulaannya. Pembuatan salinan yang pertama yang dapat dilihat dalam Alkitab adalah salinan kembali hukum Musa oleh Yosua dihadapan orang Israel (Yos 8:32, bnd. penulisan Kitab Ulangan) (Douglas, 1996). Kita percaya akurasi penyalinan Alkitab antara lain karena:

  • Yesus sendiri dalam pengajarannya menggunakan kitab-kitab Perjanjian Lama dan dengan demikian Yesus menyatakan bahwa Perjanjian Lama adalah benar dan tak bercacat, sempurna (bnd. Mat 5:17-19).
  • Untuk penyalinan setelah masa Yesus hingga sekarang kita juga dapat mempercayai kebenaran dan ketelitiannya. Hal ini disebabkan cara dan budaya penulisan ulang Kitab Suci memiliki aturan yang sangat ketat dengan ketelitian dan perhitungan yang sangat akurat. Penulisan salinan ini dilakukan oleh Kaum Masoretes, yakni orang-orang yang khusus diberi tugas untuk menyalin naskah-naskah Alkitab (Packer at al, 1962).

Alkitab dan penyalinannya ada dalam pemeliharaan Allah yang berdaulat. Dengan demikian tidak ada lagi alasan untuk tidak mempercayai penyalinan yang akurat.

Dalam hal penterjemahan sedikit berbeda dengan hal penyalinan. Dalam proses penterjemahan akan ditemui beberapa kendala yang akan menyebabkan suatu perbedaan, hal-hal itu antara lain:

  • Keterbatasan kosa kata pada bahasa tujuan
  • Penggunaan istilah yang berhubungkan dengan budaya

Dengan demikian perbedaan yang terjadi tidak bisa dianggap sebagai suatu kesalahan, tetapi hal itu terjadi karena adanya proses penafsiran pada saat penterjemahan (hermeneutik) (Packer at al, 1962). Namun demikian tetap bahwa semua penterjemahan terjadi dalam pemeliharaan Allah sehingga akan didapat suatu terjemahan yang sesuai dengan konteks nats dalam nuansa budaya setempat.

Otoritas dan Kekudusan Alkitab, mengacu pada pribadi Allah sendiri, bukan berdasarkan otoritas maupun kekudusan dari gereja atau bahkan nabi atau rasul-Nya. Keraguan atas otoritas Alkitab merupakan cerminan dari keraguan atas otoritas Allah. Pada penulisannya Alkitab tidak terdapat kesalahan. Penulisan ulang, penyalinan maupun penterjemahan dilaksanakan dalam pemeliharaan Allah sehingga juga tidak terdapat kesalahan yang mempengaruhi tujuan keselamatan di dalam Yesus Kristus. 

Segala tulisan lain yang adalah apocrypha, perlu diuji dan diperhatikan bahwa itu semua tidak dapat masuk dalam kanon. Walaupun demikian masih terdapat manfaat yang didapat daripadanya, secara khusus untuk memahami budaya dan keadaan masyarakat pada masa itu. Dengan memahami sifat otoritas, yaitu otoritas Allah dalam Alkitab, maka pengakuan atas otoritas ini menuntut ketertundukan, kepatuhan dari kita. Untuk dapat taat terhadap Alkitab sebagai Firman Tuhan, maka kita perlu mengenal dan mencintainya, memegang erat dalam kehidupan kita sebagai gereja.

 

Daftar Pustaka
Badan Pekerja Majelis Sinode Gereja Kristen Indonesia, Tata Gereja: Gereja Kristen Indonesia, Cetakan Pertama, Jakarta: BPMS GKI, 2003

F.F. Bruce, The Canon of Scripture, Glasgow: Chapter House, 1988.

R.P.C. Hanson, Origen’s Doctrine of Tradition, London, 1954

Harrison, R.K. Introduction to The Old Testament, Grand Rapids: Eerdmans, 1991

J.D. Douglas, ed.; Ensiklopedi Alkitab Masa Kini, ‘Otoritas Alkitab’ Jilid 2; Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina Kasih / OMF, 1996

Bruce Milne, Mengenali Kebenaran: Panduan Iman Kristen, terj. Connie Item-Corputty, Jakarta: Gunung Mulia, 1996

John R.W. Stott, II Timotius: Pelihara harta yang indah itu, terj. Dr. R. Soedarmo, Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina Kasih, 1989

Walter A. Elwell, ed, Student Bible Handbook: A Guide to the Best Book in the World, London: Candle Books, 1995

J. I. Packer, D. J. Wiseman, F. F. Bruce and Donald Guthrie, The New Bible Dictionary, Wheaton, Illinois: Tyndale House Publishers, Inc. 1962.

R.C. Sproul, Kebenaran-kebenaran Dasar Iman Kristen, Terj. Dr. Rahmiati Tanudjaja, Malang: Seminari Alkitab Asia Tenggara, 1998

 

 

Bandung, Agustus 2006 (Diedit di Barito Timur, 23 Maret 2016)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun