Mohon tunggu...
Satya Hedipuspita
Satya Hedipuspita Mohon Tunggu... -

Nama saya Satya, diambil dari bahasa Sanskrit yang berarti kebenaran. Kebenaran sejati bukan saya, tetapi saya mengikuti Dia yang adalah kebenaran sejati dan kehidupan sejati. Karena nama ini diberikan orang tua saya bagi saya, maka saya akan berjuang sebagai pewarta kebenaran.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Otoritas Alkitab

4 April 2016   16:49 Diperbarui: 4 April 2016   17:22 890
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ukuran-ukuran inilah yang utama yang digunakan dalam menentukan suatu kitab termasuk dalam kanon atau tidak, termasuk untuk melihat keberadaan Apocrypha dalam kekristenan. Gereja Kristen Protestan tidak mengakui Apocrypha PL (pseudepigrapha) sebagai kanon dengan beberapa alasan antara lain:

  • Yesus, secara umum penulis-penulis dalam PB, tidak pernah mengutip tulisan-tulisan yang terdapat dalam Apocrypha secara nyata.
  • Perjanjian Lama versi bahasa Ibrani tidak memuatnya dalam kanon dan hanya pada bahasa Yunani yang memuat, itu pun baru terdapat pada abad 4 M sedangkan penterjamahannya dilakukan abad 3 SM.
  • Dalam konsili besar orang Yahudi di Jamnia pada tahun 90 M, dinyatakan bahwa Apocrypha tidak termasuk kanon PL (Elwell, 1995).

Namun demikian Apocrypha masih bermanfaat untuk mempelajari masa kekosongan wahyu Allah. Untuk dapat melihat budaya dan pengharapan umat pada waktu itu. Sehingga dapat mengungkapkan latar belakang cara pandang mereka terhadap kedatangan Yesus.

Penutupan Kanon
Kita ketahui bahwa PL telah rampung jauh sebelum kedatangan Yesus Kristus. Sepertinya jarang terjadi perselisihan paham di antara orang Yahudi mengenai isi kanon tersebut. Beberapa bukti yang menunjukkan penutupan Kanon Perjanjian Lama:

  • Pernyataan Yesus. Dalam Mat 5:17-18 dan Mat 11:13.
  • LXX, Septuaginta, terjemahan Perjanjian Lama dalam bahasa Latin dimulai pada abad 3 sebelum masehi.

Sehubungan dengan PB, usaha paling dini yang diketahui untuk membuat daftar kita-kitab kanonis adalah ‘Kanon Muratori’ sekitar tahun 175 M. Daftar lengkap yang paling dini, dibuat oleh Eusebius (meninggal tahun 340 M). Dan Kanon yang kita kenal sekarang merupakan daftar yang disusun oleh Athanasius pada tahun 367 M, yang disahkan oleh Konsili Carthage pada tahun 397 M (Packer at al, 1962).

Penyalinan dan Terjemahan
Penyalinan Kitab Suci yang secara pasti tidak dapat diketahui permulaannya. Pembuatan salinan yang pertama yang dapat dilihat dalam Alkitab adalah salinan kembali hukum Musa oleh Yosua dihadapan orang Israel (Yos 8:32, bnd. penulisan Kitab Ulangan) (Douglas, 1996). Kita percaya akurasi penyalinan Alkitab antara lain karena:

  • Yesus sendiri dalam pengajarannya menggunakan kitab-kitab Perjanjian Lama dan dengan demikian Yesus menyatakan bahwa Perjanjian Lama adalah benar dan tak bercacat, sempurna (bnd. Mat 5:17-19).
  • Untuk penyalinan setelah masa Yesus hingga sekarang kita juga dapat mempercayai kebenaran dan ketelitiannya. Hal ini disebabkan cara dan budaya penulisan ulang Kitab Suci memiliki aturan yang sangat ketat dengan ketelitian dan perhitungan yang sangat akurat. Penulisan salinan ini dilakukan oleh Kaum Masoretes, yakni orang-orang yang khusus diberi tugas untuk menyalin naskah-naskah Alkitab (Packer at al, 1962).

Alkitab dan penyalinannya ada dalam pemeliharaan Allah yang berdaulat. Dengan demikian tidak ada lagi alasan untuk tidak mempercayai penyalinan yang akurat.

Dalam hal penterjemahan sedikit berbeda dengan hal penyalinan. Dalam proses penterjemahan akan ditemui beberapa kendala yang akan menyebabkan suatu perbedaan, hal-hal itu antara lain:

  • Keterbatasan kosa kata pada bahasa tujuan
  • Penggunaan istilah yang berhubungkan dengan budaya

Dengan demikian perbedaan yang terjadi tidak bisa dianggap sebagai suatu kesalahan, tetapi hal itu terjadi karena adanya proses penafsiran pada saat penterjemahan (hermeneutik) (Packer at al, 1962). Namun demikian tetap bahwa semua penterjemahan terjadi dalam pemeliharaan Allah sehingga akan didapat suatu terjemahan yang sesuai dengan konteks nats dalam nuansa budaya setempat.

Otoritas dan Kekudusan Alkitab, mengacu pada pribadi Allah sendiri, bukan berdasarkan otoritas maupun kekudusan dari gereja atau bahkan nabi atau rasul-Nya. Keraguan atas otoritas Alkitab merupakan cerminan dari keraguan atas otoritas Allah. Pada penulisannya Alkitab tidak terdapat kesalahan. Penulisan ulang, penyalinan maupun penterjemahan dilaksanakan dalam pemeliharaan Allah sehingga juga tidak terdapat kesalahan yang mempengaruhi tujuan keselamatan di dalam Yesus Kristus. 

Segala tulisan lain yang adalah apocrypha, perlu diuji dan diperhatikan bahwa itu semua tidak dapat masuk dalam kanon. Walaupun demikian masih terdapat manfaat yang didapat daripadanya, secara khusus untuk memahami budaya dan keadaan masyarakat pada masa itu. Dengan memahami sifat otoritas, yaitu otoritas Allah dalam Alkitab, maka pengakuan atas otoritas ini menuntut ketertundukan, kepatuhan dari kita. Untuk dapat taat terhadap Alkitab sebagai Firman Tuhan, maka kita perlu mengenal dan mencintainya, memegang erat dalam kehidupan kita sebagai gereja.

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun