Mohon tunggu...
Johar Dwiaji Putra
Johar Dwiaji Putra Mohon Tunggu... Administrasi - Pegawai

Alumni Ilmu Komunikasi. PNS dan staf Humas.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Jakarta dan Memori-memori yang Terselip

31 Januari 2024   00:28 Diperbarui: 31 Januari 2024   06:26 119
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Toko Merah di kawasan Kota Tua Jakarta. Pic source: dok. pribadi

Beberapa waktu terakhir, aku follow akun ikn_id di instagram. Ya, akun ini adalah akun resmi ibu kota negara yang baru: Nusantara. Yah, tujuanku mengikutinya di instagram agar tahu berbagai informasi terbaru soal kota ini. Kota yang diproyeksikan bakal menjadi ibu kota Negara Indonesia di masa mendatang.

Sebagai masyarakat Indonesia, kita semua mafhum bahwa pemerintah sedang membangun sebuah kota baru yang berlokasi di Provinsi Kalimantan Timur. Kota ini sudah diberi nama, yakni Nusantara. Secara geografis, Nusantara bertempat di sebagian wilayah Kabupaten Penajam Paser Utara dan sebagian wilayah Kabupaten Kutai Kartanegara.

Terkait ibu kota baru ini, aku jadi ingat pidato kenegaraan yang disampaikan Presiden Jokowi pada Sidang Tahunan MPR RI pada 16 Agustus 2019. Kala itu, Jokowi memohon izin untuk memindahkan ibu kota negara, dari Jakarta ke Kalimantan. Seiring berjalannya waktu, daerah yang dipilih sebagai lokasi baru ibu kota adalah Kalimantan Timur.

Tatkala mendengar kabar ini, aku takjub. Bisakah Jokowi dengan segala perangkat pemerintah mewujudkan rencana besar ini? Ya, bagiku memindahkan sebuah ibu kota negara bukanlah urusan sepele. Apalagi ibu kota Nusantara ini konon dibangun mulai dari nol. Sungguh luar biasa effort yang harus dilakukan untuk membangunnya.

Mengapa harus ada ibu kota negara yang baru? Alasan yang acap dilontarkan pemerintah adalah untuk pemerataan pembangunan. Ya, secara de facto Jakarta terletak di kawasan Indonesia bagian barat. Jakarta juga terletak di Pulau Jawa. Adanya ibu kota negara yang baru di luar Pulau Jawa, diharapkan menjadi trigger baru untuk meningkatkan perekonomian di kawasan tengah dan timur Indonesia.

Tidak hanya soal pemerataan pembangunan. Wacana lain yang berembus di sekitar pembangunan Nusantara adalah bahwa Jakarta sudah tidak laik lagi menjadi ibu kota negara. Ya, kota yang pernah bernama Batavia ini nampaknya sudah amat "payah". Seperti apa payahnya Jakarta? Aku ingin berbagi cerita.

Alhamdulillah, meski aku bukan penduduk Jakarta, aku cukup familiar dengan kota metropolitan yang satu ini. Pertama kali aku menjejakkan kaki di Jakarta adalah pada Januari 2005 silam. Kala itu aku berkesempatan liburan sekolah. Dari Malang, aku naik kereta Gajayana untuk sampai ke ibu kota.

Jujur, aku sungguh terpesona tatkala untuk pertama kalinya melihat gedung-gedung menjulang yang ada di sepanjang Jalan Sudirman. Pada momen itu, aku juga sempat mengunjungi Pantai Ancol. Kesan yang masih kuingat: pantai yang kotor. Hahaa.

Jakarta juga panas. Barangkali kesan inilah yang paling mencolok, lantaran aku adalah orang Malang yang sudah terbiasa dengan cuaca sejuk. Untuk hawa Jakarta yang panas ini aku bisa memakluminya, karena kota ini terletak di dataran rendah.

Kali kedua aku mengunjungi Jakarta adalah pada 2008. Kala itu aku mengikuti studi ekskursi yang diadakan jurusan tempatku berkuliah. Di momen ini, aku betul-betul merasakan macetnya Kota Jakarta.

Aku sebagai salah satu panitia di kegiatan studi ekskursi itu, sungguh dibuat speechless lantaran jadwal yang sudah kami susun agak amburadul karena traffic Jakarta yang tidak mendukung. Yah, momen ini semakin menambah pengalamanku bahwa eksekusi di lapangan kadang tidak akan semulus rencana yang sudah kita susun matang-matang.

Berlanjut ke medio 2010. Sejak lulus kuliah di tahun itu, sesekali aku melakukan perjalanan ke Jakarta. Selain mengunjungi kakak yang sudah terlebih dahulu bekerja di sana, aku beberapa kali mengikuti tes atau rekrutmen. Jadi jobseeker ceritanya. Hahaa.

Pada momen ini, aku mulai akrab dengan kendaraan umum di ibu kota. Ya, aku paling suka menggunakan Transjakarta atau busway. Kadang juga naik angkot atau metromini. Namun ternyata, rezekiku bukan di Jakarta. Aku diterima bekerja di Surabaya. Tak jadi menyusul jejak kakakku yang mencari nafkah di ibu kota.

Perjalanan hidup memang tak ada yang tahu. Pada akhir 2018 aku mencoba peruntungan mengikuti CPNS. Aku lolos dan harus hijrah ke Jakarta. Ya, akhirnya pada awal 2019 aku resmi menjadi salah satu perantau yang semakin menjejali Kota Jakarta.

Aku sempat hidup di kamar kost, yang ada di daerah arteri Pondok Indah, Jakarta Selatan. Pernah juga ngekost di daerah Sumur Batu, Kemayoran. Namun tidak berapa lama, instansiku memindahkanku ke Sumatera Barat. Kuakhiri petualanganku hidup di ibu kota.

Meski hanya sejenak, hidup di Jakarta amat berkesan bagiku. Bagaimana caranya survive di kota yang konon katanya keras ini. Aku masih ingat betul. Pernah di suatu malam, aku berjalan di daerah Stasiun Pasar Senen. Aku membawa tas punggung. Seingatku tidak ada barang berharga di dalamnya, karena dompet dan ponsel kusimpan di celana.

Aku berjalan santai dan menahan capek karena aktivitas seharian. Saat hendak menuju halte Transjakarta, ada orang yang tiba-tiba mengikuti langkahku. Aku abai, tak menghiraukannya. Rupanya orang ini berniat buruk. Ia memelankan langkahnya dan semakin mendekatiku. Rupanya ia berusaha membuka resleting tas yang menempel di punggungku.

Saat aku menyadari kejadian ini, aku berbalik dan menoleh ke belakang. Seorang pria paruh baya bertopi nampak gelagapan dan segera membuang mukanya serta berjalan menjauh dariku. Sontak aku melotot ke arah pria itu. Kuperiksa tas punggung dan benar, resleting kompartemen utamanya terbuka separuh. Astaghfirullah ...

Setelah menyadari momen ini, segera kugeser tasku dan kudekap di dada. Fiuhh, kejadian itu jujur menambah pengalamanku tatkala harus berjibaku hidup di belantara Jakarta. Ya, kota ini memang keras. Keras dan mungkin tidak berperasaan.

Bagaimana tidak? Saat aku berada di area Pasar Senen itu, ada sejumlah orang yang ada di sekitar tempat kejadian. Namun nyaris tak ada yang memberiku kode atau apalah, bahwa ada orang yang sedang berupaya membuka tasku. Ya inilah Jakarta. Kota yang individualis, barangkali.

Mungkin jika kamu membaca pengalamanku ini, kamu akan mencibirku. Cih, baru hendak kecopetan. Belum sampai kejadian kan ... ? Tetapi jujur, pengalaman nyaris kecopetan ini masih amat segar di ingatanku. Hikmahnya, kala aku berada di tempat ramai atau di dalam kendaraan umum, aku jadi lebih waspada. Bahkan tasku akan kuletakkan di depan, agar selalu terkontrol oleh mata.

Hidup di Jakarta rasanya tidak afdol jika belum merasakan berdesak-desakan di kendaraan umum. Namun "ritual" ini harus dijalani nyaris setiap hari. Menggunakan Transjakarta atau kereta komuter, adalah pilihan yang bijak untuk mengarungi belantara Jakarta. Tujuannya tentu saja untuk berhemat. Hahaa.

Hidup di Jakarta memang sepahit itu. Namun, tak selalu pahit kan? Jujur, kota ini juga menghadirkan sejuta pengalaman yang mengesankan. Walau aku tak begitu lama tinggal di Jakarta, namun banyak momen yang masih kurekam dengan baik. Momen-momen sederhana yang memiliki kesan mendalam.

Pameran lukisan di kompleks Taman Ismail Marzuki, Jakarta. Pic source: dok. pribadi
Pameran lukisan di kompleks Taman Ismail Marzuki, Jakarta. Pic source: dok. pribadi

Selama merantau di Jakarta, aku paling suka bersantap di warung tegal (warteg). Kujelajahi satu warteg ke warteg lainnya. Aku mencoba berbagai macam warteg. Tak lain tak bukan untuk membandingkan rasa makanannya. Juga variasi menunya. Dan tentu saja rentang harganya. Hahaa.

Bagiku, warteg tidak akan terpisahkan dari Jakarta. Aku sungguh menghaturkan terima kasih yang mendalam, kepada segenap warteg yang telah mengisi hari-hariku di masa lalu. Jakarta juga tidak kurang-kurang untuk hal berbau hiburan. Aku yang suka menonton film, amat dimanjakan dengan bertaburnya bioskop di kota metropolitan ini.

Sekarang, aku tak lagi berdomisili di Jakarta. Aku hanya sesekali bertandang ke Jakarta, kala dinas. Atau saat aku pulang ke Malang, aku pasti transit di Jakarta. Kota ini telah banyak berubah. Moda transportasinya pun lebih beragam. Objek wisatanya juga terus bertambah.

Jujur, Kota Jakarta memang istimewa. Kota ini adalah impian. Setidaknya impian bagi anak-anak daerah seperti diriku. Kota ini seakan mampu menjawab keinginan para perantau. Perantau yang ingin memperbaiki nasib.

Ya, tidak bisa dipungkiri, Jakarta adalah pusatnya Indonesia. Kota ini nyaris menyediakan berbagai macam kesempatan. Kesempatan untuk bertumbuh. Kesempatan untuk berkembang. Hampir segala informasi yang ada di negeri ini, berasal dari Jakarta. Karena Jakarta masih sah menjadi ibu kota negara.

Aku masih belum tahu. Apakah instansi tempatku bekerja akan turut boyongan ke Nusantara atau tidak. Namun jika aku boleh memilih, aku ingin tinggal di Jakarta saja. Kota ini memang pahit, tetapi Jakarta juga ada manis-manisnya. Hahaa. Hidup di Jakarta membuatku bersemangat. Bersemangat untuk bangun pagi. Bersemangat untuk berhemat. Bersemangat untuk berkembang.

Pic source: dok. pribadi
Pic source: dok. pribadi

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun