Berlanjut ke medio 2010. Sejak lulus kuliah di tahun itu, sesekali aku melakukan perjalanan ke Jakarta. Selain mengunjungi kakak yang sudah terlebih dahulu bekerja di sana, aku beberapa kali mengikuti tes atau rekrutmen. Jadi jobseeker ceritanya. Hahaa.
Pada momen ini, aku mulai akrab dengan kendaraan umum di ibu kota. Ya, aku paling suka menggunakan Transjakarta atau busway. Kadang juga naik angkot atau metromini. Namun ternyata, rezekiku bukan di Jakarta. Aku diterima bekerja di Surabaya. Tak jadi menyusul jejak kakakku yang mencari nafkah di ibu kota.
Perjalanan hidup memang tak ada yang tahu. Pada akhir 2018 aku mencoba peruntungan mengikuti CPNS. Aku lolos dan harus hijrah ke Jakarta. Ya, akhirnya pada awal 2019 aku resmi menjadi salah satu perantau yang semakin menjejali Kota Jakarta.
Aku sempat hidup di kamar kost, yang ada di daerah arteri Pondok Indah, Jakarta Selatan. Pernah juga ngekost di daerah Sumur Batu, Kemayoran. Namun tidak berapa lama, instansiku memindahkanku ke Sumatera Barat. Kuakhiri petualanganku hidup di ibu kota.
Meski hanya sejenak, hidup di Jakarta amat berkesan bagiku. Bagaimana caranya survive di kota yang konon katanya keras ini. Aku masih ingat betul. Pernah di suatu malam, aku berjalan di daerah Stasiun Pasar Senen. Aku membawa tas punggung. Seingatku tidak ada barang berharga di dalamnya, karena dompet dan ponsel kusimpan di celana.
Aku berjalan santai dan menahan capek karena aktivitas seharian. Saat hendak menuju halte Transjakarta, ada orang yang tiba-tiba mengikuti langkahku. Aku abai, tak menghiraukannya. Rupanya orang ini berniat buruk. Ia memelankan langkahnya dan semakin mendekatiku. Rupanya ia berusaha membuka resleting tas yang menempel di punggungku.
Saat aku menyadari kejadian ini, aku berbalik dan menoleh ke belakang. Seorang pria paruh baya bertopi nampak gelagapan dan segera membuang mukanya serta berjalan menjauh dariku. Sontak aku melotot ke arah pria itu. Kuperiksa tas punggung dan benar, resleting kompartemen utamanya terbuka separuh. Astaghfirullah ...
Setelah menyadari momen ini, segera kugeser tasku dan kudekap di dada. Fiuhh, kejadian itu jujur menambah pengalamanku tatkala harus berjibaku hidup di belantara Jakarta. Ya, kota ini memang keras. Keras dan mungkin tidak berperasaan.
Bagaimana tidak? Saat aku berada di area Pasar Senen itu, ada sejumlah orang yang ada di sekitar tempat kejadian. Namun nyaris tak ada yang memberiku kode atau apalah, bahwa ada orang yang sedang berupaya membuka tasku. Ya inilah Jakarta. Kota yang individualis, barangkali.
Mungkin jika kamu membaca pengalamanku ini, kamu akan mencibirku. Cih, baru hendak kecopetan. Belum sampai kejadian kan ... ? Tetapi jujur, pengalaman nyaris kecopetan ini masih amat segar di ingatanku. Hikmahnya, kala aku berada di tempat ramai atau di dalam kendaraan umum, aku jadi lebih waspada. Bahkan tasku akan kuletakkan di depan, agar selalu terkontrol oleh mata.
Hidup di Jakarta rasanya tidak afdol jika belum merasakan berdesak-desakan di kendaraan umum. Namun "ritual" ini harus dijalani nyaris setiap hari. Menggunakan Transjakarta atau kereta komuter, adalah pilihan yang bijak untuk mengarungi belantara Jakarta. Tujuannya tentu saja untuk berhemat. Hahaa.