Alhamdulillah, tahun ini pandemi covid-19 sudah semakin mereda. Setelah dua kali lebaran terkungkung tidak bisa mudik yakni pada 2020 dan 2021, akhirnya sejak tahun 2022 pemerintah kembali memperbolehkan mobilitas untuk merayakan Idul Fitri. Jadi, semenjak aku merantau ke Sumatera Barat, sudah dua kali ini aku bisa merasakan pulang kampung secara normal pascapandemi.
Ya, aktivitas mudik tahun ini patut disyukuri. Nyaris tak ada lagi kewajiban untuk bermasker. Sekarang, jika berada di tempat terbuka, kita tak perlu lagi mengenakan masker. Namun, apabila ingin tetap melakukan tindakan preventif untuk menghindari penularan virus penyakit apapun, silakan tetap mengenakan masker.
Detik ini, aku masih bersuka ria di kampung halamanku di Blitar. Kuikuti anjuran pemerintah untuk tidak kembali ke perantauan pada 25 April hari ini. Ya, semata untuk menghindari penumpukan dan kemacetan di mana-mana. Oleh sebab itu, dengan senang hati kutambah durasi cutiku. Supaya aku bisa lebih puas berlibur di kampung halaman.
Hhmm, mencari nafkah di perantauan membuatku belajar banyak hal. At least, aku bisa mempelajari kultur baru di tempat perantauan tersebut. Budaya dan kebiasaan, yang kadang amat berbeda dengan budaya yang ada di kampung halamanku.
Alhamdulillah, kesempatan ini patut disyukuri. Karena kupikir tidak semua orang, diberi kesempatan oleh Tuhan untuk merasakan pengalaman merantau. Aku jadi bisa melatih kadar kesabaranku. Aku jadi bisa berlaku hidup berhemat. Supaya aku mempunyai uang lebih untuk sekadar pulang ke Jawa Timur.
Pulang ke Jawa Timur, adalah hal yang amat membahagiakan bagiku. Setelah berbulan-bulan aku tenggelam dalam rutinitas bekerja, ada kalanya aku harus beristirahat. Ada kalanya aku ingin sejenak pulang ke "rumah". Rumah yang menjadi asal-usulku. Rumah yang telah membentuk jati diriku.
Dengan bertambahnya durasi liburku, aku jadi punya waktu lebih banyak untuk memuaskan dahagaku atas berbagai hal. Hal-hal atau sesuatu yang tidak bisa aku temukan di tempat perantauanku. Salah satu yang simpel adalah perihal makanan.
Harus kuakui, makanan yang selalu kucari kala mudik adalah pecel. Nasi pecel, adalah kebahagiaan tersendiri buatku. Jujur, tidak ada nasi pecel khas Jawa Timur, yang bisa aku temukan di Bukittinggi, Sumatera Barat. Oleh karenanya, tatkala pulang kampung aku bisa setiap hari sarapan nasi pecel. Hahaa.
Ya, sesimpel inilah kebahagiaanku. Coba buktikan sendiri. Jika kamu berkesempatan berkunjung ke Jawa Timur, khususnya ke Malang dan Blitar, di pagi hari kamu akan dengan mudah menemukan para penjaja nasi pecel.
Wuenak sumpah...!
Sarapan nasi pecel adalah kebahagiaan hakiki buatku. Dan jujur, hal itu tak bisa kutemukan di ranah Minang. By the way, aku amat doyan dengan masakan khas Minang. Rendang, nasi kapau, telur barendo, semua aku suka. Namun, nasi pecel memiliki tempat tersendiri buatku.
Di Jawa sendiri, setiap daerah mempunyai varian pecelnya masing-masing. Nasi pecel di Madiun, tentu berbeda dengan nasi pecel di Malang. Namun di luar itu, aku sangat menggemari nasi pecel khas Blitar. Bagaimana tidak? Lha wong kedua orangtuaku asli dari sana. Hahaa.
Nasi pecel Blitar, one and only. Apabila kamu berkesempatan ke Blitar, jangan hanya ke Candi Penataran atau ke makam Bung Karno. Nikmati nasi pecelnya, dengan harga yang amat terjangkau. Monggo! Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H