Kasus Pajak BCA kembali ramai diberitakan oleh beberapa media massa karena KPK menangkap Hadi Poernomo beberapa waktu lalu. Selain itu KPK dapat menjadikan kasus keberatan pajak BCA sebagai pintu masuk untuk membuka kembali kasus dugaan pengemplangan dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang pernah diselidik era Ketua KPK Antasari Azhar, karena terkait erat dengan kasus keberatan pajak BCA. Bahkan uniknya Wikileaks pun membuka kasus ini. Apakah KPK Menggunakan data Wikileaks ini?
Komisi Pemberantasan Korupsi tidak menggunakan informasi yang dirilis situs wikileaks.org dalam menyidik kasus dugaan korupsi pengajuan keberatan pajak PT Bank Central Asia yang menjerat Hadi Poernomo selaku mantan Direktur Jenderal Pajak. Situs tersebut mengklaim membocorkan dokumen kawat rahasia yang isinya menyebut Hadi sebagai pejabat terkotor di Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan.
Ini merupakan salah satu bagian dari dokumen diplomatik Amerika Serikat yang dibocorkan oleh Wikileaks terkait dengan perubahan lingkungan ekonomi dan bisnis di Indonesia pada tahun-tahun periode kedua masa pemerintahan Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono.
Berikut ini adalah artikel lengkap dari Wikileaks.
Laporan dengan kode 06JAKARTA5420_a itu dikirimkan ke kedutaan besar Amerika di Australia, Central Intelligence Agency (CIA), Kedutaan Besar Amerika di China, Jepang, Korea Selatan dan sejumlah departemen terkait.
Dalam laporan itu, Hadi Purnomo, mantan Dirjen Pajak dan mantan ketua Badan Pemeriksa Keuangan yang kini telah ditetapkan oleh KPK sebagai tersangka dalam kasus permohonan keberatan pajak BCA, digambarkan sebagai pejabat yang bereputasi buruk di kalangan bisnis kendati diakui cerdas dan cakap.
Menurut laporan itu, Hadi Purnomo menerapkan taktik tangan besi dalam menekan wajib pajak. Antara lain dengan menerbitkan pencekalan bagi eksekutif-eksekutif perusahaan yang yang sedang dalam proses pemeriksaaan bawahannya. Lebih jauh, digambarkan bahwa Hadi Purnomo juga ‘meneror’ wajib
pajak kaya dengan menunjukkan foto-foto satelit properti mereka di luar negeri.
“Di masa kepemimpinannya, disiplin aparat pajak terkikis dan surat ketetapan pajak menjadi norma, memaksa perusahaan untuk bernegosiasi (yaitu dengan membayar suap) untuk mendapatkan keputusan yang lebih masuk akal,” tulis laporan itu.
Di bagian lain laporannya, Heidt menulis bahwa akhirnya Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengganti Hadi Poernomo. Hal ini, menurut Heidt, merupakan cermin dari dukungan SBY kepada Menteri Keuangan kala itu, Sri Mulyani Indrawati, yang ingin melakukan reformasi di jajarannya.
Disebutkan pula bahwa penggantian Hadi Purnomo itu berlangsung hanya tiga hari sesudah Sri Mulyani bertemu dengan negara-negara donor dan mengumumkan bahwa dua tokoh penting Indonesia akan membantunya untuk melaksanakan reformasi di sektor pajak dan keuangan. Dua tokoh itu adalah
Darmin Nasution yang menggantikan Hadi Purnomo, dan Anwar Suprijadi menduduki Dirjen Bea dan Cukai.
Dikatakan, Sri Mulyani melantik para dirjen baru itu pada 26 April 2006, hanya dua hari sesudah ia tiba di Jakarta dari perjalanan ke Amerika Serikat. Anggito Abimanyu, yang kala itu menjadi salah satu pejabat Kemenkeu dibawah Sri Mulyani, mengatakan pergantian pejabat itu baru merupakan langkah
pertama dari serangkaian reformasi yang akan dijalankan.
Reformasi perpajakan itu merupakan salah satu desakan pengusaha Amerika Serikat kepada Sri Mulyani yang menganggap keberadaan Hadi Purnomo mengganggu bagi jalannya reformasi.
Menurut Johan Budi (Jubir KPK), KPK menyidik kasus dugaan korupsi yang menjerat Hadi berawal dari laporan masyarakat yang masuk ke Direktorat Pengaduan Masyarakat KPK. Tidak ada data maupun informasi yang diambil KPK dari Wikileaks ketika memulai penyelidikan kasus pajak yang menjerat Hadi tersebut karena tidak ada kaitannya.
Kita semua berharap KPK dapat menuntaskan kasus ini dengan berani dan tegas tanpa pandang bulu sehingga kasus BCA serta BLBI dapat segera diselesaikan sehingga masyarakat dan negara ini tidak terus menjadi korban para koruptor yang tidak bertanggung jawab. Mari kita tunggu kelanjutan kasus ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H