Mohon tunggu...
Roneva Sihombing
Roneva Sihombing Mohon Tunggu... Guru - pendidik

Penyuka kopi, gerimis juga aroma tanah yang menyertainya. Email: nev.sihombing@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Book Pilihan

I Want to Die but I Want to Eat Tteokpokki, Bertahan Menjadi Normal

7 Oktober 2023   23:23 Diperbarui: 7 Oktober 2023   23:24 131
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Semakin hari, kata 'depresi' bukan lagi hal baru untuk diperbincangkan. Seolah-olah, kata depresi sama biasanya dengan mempercakapkan makanan favorit dan kedai kopi langganan. Apa penyebabnya? Bagaimana mengatasinya? Siapakah yang akan menjadi support system terbaik jika mengalaminya?

I Want to Die but I Want to Eat Tteokpokki adalah buku yang berisi percakapan penulis, Baek Se Hee dengan psikiaternya, ketika Se Hee menjalani konsultasi-konsultasi teratur  akibat distimia. Distimia adalah keadaan depresi berkepanjangan.

I Want to Die but I Want to Eat Tteokpokki (2018) diterjemahkan ke bahasa Indonesia oleh Hyacinta Louisa dan diterbitkan oleh Penerbit Haru di tahun 2019. Dengan 236 halaman, buku ini menjadi bestseller di Korea Selatan.

***

Selama lebih 10 tahun, Baek Se Hee mengidap distimia dan gangguan kecemasan. Setelah mencoba mengunjungi banyak psikolog dan psikiater, tahun 2017 Se Hee menemukan rumah-sakit yang cocok dan menjalani pengobatan.

Se Hee menjalani rutinitas biasa sampai kemudian menyadari bahwa hatinya kosong. Kekosongan tersebut diisi dengan melihat diri sendiri rendah dan orang lain lebih hebat. Hal-hal yang kemudian berdampak ke relasi sosialnya.

Psikiaternya meresepkan obat penenang untuk Se Hee. Namun, dampak dari obat penenang itupun dialami Se Hee. Salah satunya adalah akathisia; akathisia adalah suatu gejala tidak bisa diam.

Beberapa hal yang jadi catatan penting untuk diri sendiri setelah membaca buku ini adalah:

Berhenti melihat diri sendiri dari perspektif orang ketiga. Awalnya mungkin sekedar membandingkan diri dengan orang lain. Hanya sekedar. Tapi, lama kelamaan, kita bisa melihat diri sendiri dari perspektif orang lain. Orang lain yang bisa jadi standarnya tidak bisa kita penuhi. Lama-kelamaan, kita bisa frustasi pada diri sendiri, frustasi sendirian dan tidak lagi mengenal diri sendiri. Akhirnya, apa yang menjadi perkataan, pendapat dan pikiran orang lain menjadi lebih dominan dalam pikiran sendiri.

Menikmati kebebasan diri sendiri untuk berpikir. Kesadaran bahwa kita memiliki kebebasan untuk berpikir untuk dan tentang diri sendiri adalah penghiburan yang menghangatkan. Seberapa bebaskah, aku melihat diriku sendiri? Seberapa sering aku berpikir untuk diriku sendiri tanpa peduli apa yang orang lain pikirkan tentang aku? Mana yang terutama untukku, pikiranku tentangku atau pikiran mereka tentangku?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Book Selengkapnya
Lihat Book Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun